Ada masa ketika subuh di pesantren lebih terang daripada siang di kota. Ketika suara ngaji di sela embun menjadi lagu pertama yang membangunkan bumi, dan langkah-langkah kecil menuju masjid menjadi prosesi sakral yang tak pernah tercatat di berita.
Pesantren — tempat di mana ilmu tak sekadar diajarkan, tapi dihidupkan, tempat di mana adab diajarkan lebih dulu sebelum bicara tentang kitab.
Pesantren — tempat sederhana yang melahirkan orang-orang besar, tempat diam yang menggemakan revolusi moral, tempat sunyi yang menanam benih peradaban.
Dulu, di antara tembok yang retak dan kitab kuning yang lusuh, santri belajar tentang makna keteguhan, kesabaran, dan cinta kepada ilmu.
Mereka mungkin tak mengenal kecerdasan buatan, tapi mereka adalah kecerdasan yang diajarkan langsung oleh kehidupan. Mereka tak berdebat soal algoritma, tapi memahami dengan mendalam algoritma hati bagaimana ikhlas bekerja, bagaimana doa berbuah, dan bagaimana adab menjadi akar dari segala pengetahuan.
Di sanalah para santri tumbuh, bukan hanya untuk pandai berbicara, tetapi untuk belajar diam di hadapan ilmu.
Mereka diajarkan untuk menundukkan hati sebelum menegakkan dalil, menjaga akhlak sebelum menjaga logika.
Pesantren adalah ladang tempat kesederhanaan menjadi benih kebijaksanaan, dan keikhlasan menjadi pupuk yang menumbuhkan kemuliaan.
Namun hari ini, kita dikejutkan oleh kabar getir: runtuhnya Pesantren Al-Khoziny, tempat di mana ilmu dan keikhlasan pernah tumbuh subur.
Temboknya mungkin roboh, tapi yang sebenarnya runtuh bukanlah bata dan semen, melainkan simbol — bahwa nilai luhur pesantren kini terancam oleh gelombang zaman yang melupakan akar.
Runtuhnya pesantren bukan semata berita lokal, tetapi alarm spiritual bagi kita, alumni, yang pernah hidup dari kesederhanaannya.
Belum reda rasa pedih itu, layar kaca menampilkan berita dari Trans7 tentang Pesantren Lirboyo.
Dalam tayangan itu, tersaji potret getir: santri-santri yang dulu dikenal dengan adab, kini diuji dengan perubahan zaman, perbedaan pandangan, dan tekanan modernitas.
Ada cerita tentang konflik batin antara menjaga tradisi dan menyesuaikan diri, tentang bagaimana pesantren besar pun harus meniti keseimbangan di antara arus globalisasi dan guncangan internal.
Ada tantangan moral, disorientasi nilai, bahkan gesekan antara ideal dan realitas. Lirboyo, yang dahulu tegak dengan kharisma keilmuan, kini diuji oleh masa —bukan karena lemahnya ajaran, tapi karena dunia di luar pesantren bergerak terlalu cepat.
Bukan untuk menyesali masa lalu, tapi untuk menyalakan kembali api yang nyaris padam. Dua kisah itu — runtuhnya Al-Khoziny dan guncangnya Lirboyo — adalah cermin bagi kita, para alumni kini.
Kita yang dulu berlarian menjemur sarung di bawah matahari, kini berlarian mengejar karier di bawah lampu kota.
Namun pertanyaannya: apakah cahaya yang kita kejar masih sama? Apakah sinar layar lebih memukau daripada sinar nurani yang dulu kita pelajari di serambi masjid?
Menjadi alumni pesantren bukan sekadar identitas, tetapi janji: bahwa di mana pun kita berada, nilai-nilai itu harus tetap menyala.
Kita mungkin tidak lagi tinggal di asrama, tetapi dunia kini adalah pesantren besar — dengan ujian yang tak tertulis di kitab kuning, dan godaan yang tak diajarkan dalam fiqih muamalah.
Zaman telah berubah, tapi ruh pesantren tidak boleh pudar. Ruh itu hidup dalam setiap tindakan yang berlandaskan adab, dalam keputusan yang diwarnai keikhlasan, dalam ilmu yang diiringi ketawadhuan.
Kalau dulu kita belajar menjadi santri, kini kita ditantang menjadi santri kehidupan —yang mengajarkan Islam bukan hanya dengan lisan, tapi dengan keteladanan.
Peradaban nanti akan menulis sejarah tentang kita, para alumni pesantren. Apakah kita hanya pandai mengenang masa lalu, atau benar-benar menjadi penerus nilai yang pernah menegakkan bangsa ini?
Karena pesantren bukan hanya lembaga pendidikan; ia adalah peradaban yang hidup — dan alumninya adalah penjaga api yang tak boleh padam.
Peradaban nanti akan menilai kita bukan dari gelar yang panjang, tapi dari jejak keikhlasan yang kita tinggalkan.
Kita boleh berbeda profesi, tapi harus satu misi: menjadi pembawa cahaya di tengah kabut zaman yang kian pekat.
Pesantren tak pernah benar-benar runtuh, selama nilai-nilainya hidup dalam diri alumninya.
Ruh pesantren tidak menempel pada bangunan, tapi bersemayam dalam karakter: dalam kesantunan berbicara, dalam kejujuran bekerja, dalam kerendahan hati ketika berilmu.
Selama itu ada — maka pesantren akan selalu hidup, Maka, di Hari Santri Nasional ini, mari kita berjanji dalam diam: bahwa setiap langkah kita adalah bentuk syukur kepada kiai dan guru, bahwa setiap amal kita adalah doa untuk pesantren, dan setiap ilmu kita adalah warisan untuk peradaban nanti.
Selama masih ada alumni yang berfikir dengan adab, berbicara dengan hikmah, dan bekerja dengan keikhlasan, maka pesantren tidak pernah benar-benar runtuh.
Ia hanya bertransformasi dari bangunan menjadi nilai, dari tempat menjadi kesadaran, dari masa lalu menjadi arah masa depan.
Pesantren dulu membentuk jiwa kita. Alumni kini menyalakan kembali nyalanya. Dan peradaban nanti akan bersaksi: bahwa dari kesunyian pesantren, lahir cahaya yang menerangi dunia.

