Socrates dikenal sebagai bapak dari filsafat barat. Ia hidup sekitar 470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki cara berfilsafat yang unik. Ia tidak berfilsafat di kelas atau ruang-ruang tertutup lainnya, melainkan di pasar di kota Athena.
Ia berjalan berkeliling di pasar. Ia pun berteriak kepada banyak orang, ”Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus mengenal dirimu sendiri!” Ketika ada orang bertanya kepadanya, ”Hai Socrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Socrates hanya menjawab, ”Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!”.
Pertanyaannya Apa maksud dari jawaban Socrates ini? Apakah ini sungguh ketidaktahuan, ataukah ada maksud lain yang ingin mereka sampaikan? Mari coba kita cari tahu.
Kita hidup di era dimana semua orang merasa tahu. Ilmu pengetahuan dan filsafat merasa bisa menjelaskan tentang hakekat dari kenyataan dan kehidupan. Berbagai agama merasa bisa menjelaskan tentang hakekat Tuhan dan apa yang terjadi setelah mati.
Namun, sesungguhnya, apakah mereka sungguh tahu, atau hanya mengira-ngira saja?. Ilmu pengetahuan, filsafat dan agama mengandalkan satu hal, yakni bahasa. Mereka menjelaskan segala hal dengan bahasa. Pengetahuan dan pikiran mereka dirumuskan dan disebarkan dengan menggunakan bahasa sebagai alat utamanya.
Namun, mampukah bahasa menggambarkan kerumitan dari segala kenyataan yang ada? Mampukah bahasa menggambarkan pikiran manusia? Coba kita lakukan sedikit eksperimen.
Bisakah anda melukiskan dengan jelas tindakan membuka kepalan tangan? Sulit bukan? Jika untuk kegiatan sesederhana ini, bahasa sudah mengalami kesulitan, bagaimana mungkin bahasa mampu menggambarkan segala kenyataan yang ada? Bagaimana mungkin, bahasa mampu menggambarkan secara tepat isi dari pikiran manusia?
Dengan demikian, bisa dikatakan, setiap teori ilmu pengetahuan dan filsafat selalu bersifat terbatas. Keduanya tak mampu menjelaskan secara utuh apa yang ingin mereka jelaskan. Agama-agama juga tidak mampu menggambarkan secara utuh apa yang ingin mereka gambarkan. Semua penjelasan selalu bersifat terbatas, dan, pada akhirnya, salah.
Kita semua harus jujur, bahwa kita tidak tahu. Sama seperti Socrates, kita harus belajar untuk sadar, bahwa kita tidak tahu. Pengetahuan yang tertinggi, dalam arti ini, adalah ketidaktahuan. Jika sama-sama tidak tahu, kenapa kita bertengkar satu sama lain, dan merasa lebih benar dari orang lain? Arogansi? Kebodohan? Ketidaktahuan, adalah kondisi asali manusia.
Artinya, manusia sejatinya adalah makhluk yang tidak tahu. Ketika lahir ke dunia, ia tidak tahu. Maka, ia lalu mencoba untuk melakukan segalanya. Kita sering lihat, bagaimana anak kecil dengan ringannya mengambil kotoran di tanah, dan kemudian menjilatnya bukan? Itu karena apa? Karena tidak tahu kah?!
Pikiran Tidak Tahu
Ketika kita hidup dengan pikiran tidak tahu semacam ini, kita akan menjadi terbuka pada segala kenyataan yang ada. Kita akan juga terbuka pada segala kemungkinan yang ada. Kita tidak terjebak pada kepastian-kepastian palsu.
Kita juga tidak terjebak pada segala bentuk ilusi yang diajarkan oleh tradisi yang ada sebelum kita. Ketika kita hidup dengan pikiran tidak tahu, kita akan menghadapi setiap keadaan apa adanya. Kita tidak dibebani dengan masa lalu yang kerap kali memberikan pengetahuan palsu.
Kita juga tidak dibebani oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian semu dan halusinasi belaka. Setiap detik adalah suatu keadaan baru dalam hidup kita.
Bagaimana supaya kita bisa mewujudkan pikiran tidak tahu semacam ini dalam hidup kita? Hanya ada satu cara yang mungkin, yakni berhenti berpikir. Ketika orang berpikir, ia mulai membuat pembedaan. Ia membuat kategori antara aku dan kamu, kami dan mereka.
Dari pikiran, lahirlah perbedaan, dan dari pembedaan lahirlah segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan. Coba kita Perhatikan corak masyarakat modern sekarang, orang hidup dalam kotaknya masing-masing. Mereka merasa dirinya berbeda dengan komunitas mereka.
Mereka hidup dalam kesendirian, kesepian, keterasingan dan akhirnya penderitaan. Hasilnya adalah individualisme dan egoisme ekstrim. Orang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka hanya sibuk untuk memenuhi kepentingan dan kenikmatan mereka.
Solidaritas dan komunitas hanya menjadi slogan papan iklan yang hampir tak memiliki makna. Ini semua adalah hasil dari pikiran yang memisahkan manusia yang satu dengan manusia yang lain, dan memisahkan manusia dari alam sekitarnya. Ketika pikiran yang memisahkan ini hilang, maka perbedaan akan hilang.
Jarak akan hilang. Kita pun akan merasa satu tidak hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan seluruh alam. Kita tidak akan menyakiti orang lain, jika kita sadar, bahwa mereka dan kita adalah satu dan sama. Perasaan kesatuan ini adalah inti utama dari cinta.
Dalam arti ini, cinta bukanlah emosi atau tindakan belaka, melainkan inti dari diri seseorang. Ketika orang sudah menjadi cinta itu sendiri, semua tindakannya akan mencerminkan cinta secara otomatis.
Bagaimana mungkin kita hidup, jika tidak berpikir? Pikiran adalah alat. Ia harus diatur dan ditata oleh manusia, dan bukan sebaliknya. Pikiran yang sebaiknya digunakan adalah pikiran ala Socrates yakni pikiran tidak tahu.
Pikiran tidak tahu memecahkan masalah dengan berpijak pada masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun harapan palsu. Pikiran tidak tahu bergerak dari saat ke saat, dan tidak dibebani dengan pengetahuan palsu yang berasal dari masa lampau. Ia bersifat spontan dan alamiah. Ia melampaui bahasa dan rumusan.
Namun, pikiran tidak tahu tidak boleh menjadi ajaran mutlak yang baru. Ketidaktahuan bukanlah suatu keadaan mutlak, melainkan cair dan dinamis. Ia tidak boleh jatuh hanya pada pengetahuan intelektual belaka, melainkan harus menjadi cara hidup yang menetap menjadi kebiasaan. Yaps, mari belajar untuk menjadi tidak tahu! Fastabiqul Khoirot.

