Kuliahalislam.Bani Buwaihi adalah dinasti dari golongan Syiah yang muncul dalam panggung kekuasaan Islam pada permulaan abad ke-10 atau tepatnya pada tahun 945-1055 M, di bagian barat laut Iran. Dinasti ini dibangun melalui usaha-usaha bersama tiga bersaudara yang berhasil berkuasa secara berdampingan dengan damai satu sama lain.
Mereka adalah Ali bin Buwaihi (yang tertua) yang berkuasa di Isfahan, Hasan bin Buwaihi yang menguasai Rayy dan Jabal di wilayah Iran dan Ahmad bin Buwaihi ( yang termuda) berada di Khuzistan dan al-Ahwaz, yang berbatasan dengan daerah sebelah timur Basra dan Wasit.
Tiga saudara yang Meletakkan dasar dinasti adalah putra-putra Buwaih atau Buyeh. Mereka berasal dari suku Dailami, yaitu suku bangsa pegunungan dari daerah sebelah barat daya laut Kaspia. Tiga bersaudara ini memulai kariernya dengan mengabdi pada Bani Samaniyah ( runtuh pada tahun 1005 M) dan kemudian pindah ke Mardawij di wilayah Iran.
Mereka giat menyebarkan Syiah di kalangan penduduk setempat dan mendapat dukungan dari bangsa Iran. Ketika kekuatan mereka bertambah besar dan kemunduran yang dialami Daulah Abbasiyah, masyarakat sepenuhnya dikendalikan oleh Bani Buwaihi.
Orang-orang terkemuka di Baghdad mempersilahkan mereka ke Baghdad, dan Khalifah al-Muktakfi (334-335 H) tidak dapat berbuat apa-apa. Pada tanggal 11 Jumadilawal 334 H, mereka masuk ke Baghdad dan sambut oleh penduduknya dengan gembira karena mereka merasa lepas dari tekanan- tekanan keturunan Turki dan budak-budak yang menguasai istana.
Khalifah ketika itu turut menyambut dengan segala kehormatan. Perjanjian diadakan untuk mengakui keturunan Bani Buwaihi sebagai Sultan dan sebaliknya Bani Buwaihi mengakui pula kedudukan Khalifah. Nama mereka disebutkan bersama-sama dan khalifah dalam khotbah-khotbah Jumat dan diukilkan pula pada mata uang logam sehingga pada dasarnya mereka telah menjadi penguasa Irak.
Khalifah al-Muktakfi menerima Ahmad bin Buwaihi sebagai Amir al Umara’ (Pemimpin Para Pemimpin) dan memberi gelar kehormatan Mu’izz ad-Daulah (Penegak Negara). Kemudian Ali dan Hasan secara berturut-turut menerima gelar ‘Imad ad Daulah (Tiang Negara), dan Rukn ad-Daulah ( penopang atau tiang negara). Mu’izz ad-Daulah memerintah di Baghdad sampai lebih 20 tahun sedangkan di timur saudara-saudaranya memperluas daerah kekuasaan.
Pada masa itu peperangan melawan golongan Hamdani dari Mosul terus berlanjut. Pada tahun 952,Mu’izz ad-Daulah harus berhadapan dengan kaum Qaramitah dan Oman, yang berusaha merebut Basra, tetapi mereka berhasil dipukul mundur. Perlawanan terhadap Hamdani juga masih berlanjut hingga masa kekuasaan Izz ad-Daulah, putranya yang dikenal dengan sebutan Bakhtiar.
Sejak tahun 967 kemudian menggantikan Mu’izz ad-Daulah. Ketika ancaman Bani Fatimiyah semakin gencar, dia mencoba mengadakan persetujuan dengan kaum Qaramitah. Tetapi, Imran bin Sahih yang menjadi Wali negeri di Bataih (Selatan Irak) yang dapat menyusun kekuatan sehingga dapat berdiri sendiri (329-369 H).
Secara turun temurun, anak cucunya mampu berdiri sendiri sampai tahun 408 H. Sementara itu, di sebelah tenggara, Adud ad-Daulah semakin berkuasa dengan menambahkan Oman di dalam kekuasaannya di provinsi Fars, kemudian juga Kirman dan Makran ( di pantai utara Teluk Persia). Dan menjadi penguasa di Sijistan dan dia untuk sementara berhasil menunjukkan suku-suku Baluchi.
Situasi kerukunan antara Baktiar dan Adud Ad-Daulah mengalami pasang surut. Buktinya, ketika Baghdad berhasil direbut oleh seorang jenderal Turki pada tahun 947 mereka sama-sama saling membantu melakukan perlawanan dan berhasil mengalahkannya pada tahun 975.
Tetapi setelah kemenangan yang dicapai mereka saling merebutkan dan hendak menguasai Baghdad. Adud ad-Daulah dapat mengalahkan Bakhtiar di al-Ahwaz (Juli 977). Kemenangannya dicapai setelah menjalin persekutuan dengan bekas musuhnya yakni Pangeran Hamdani dari Mosul.
Adud ad-Daulah yang duduk dalam Singgasana kekhalifahan di Baghdad pada tahun 978, pada gilirannya dipaksa merasa gusar dengan saudara kandungnya yaitu Fakhr ad-Daulah, mencoba mencari bantuan dari Qabus bin Wasmgir, pangeran Jurjan dan Tabaristan.
Setelah Jurjan dan Tabaristan berhasil dikuasai, dia memerintahkan Mu’ayyid ad-Daulah ( saudara kandung yang lain, Gubernur Hamadan untuk memerintahnya. Adapun Pangeran Qabus dan Fakhr ad-Daulah dipaksa keluar daerah itu.
Baik Qabus maupun Fakr ad-Daulah harus mengungsi ke Istana Samaniyah (ketika itu sudah berhasil direbut sebelumnya dari tangan Bani Saman). Daya tarik Baghadad, sebagai singgasana pemerintahan masih tetap dijadikan ajang perebutan yang datang dari keluarga Bani Buwaihi dan para pemimpin militer dalam Dinasti Buwaihi yang bersaingan.
Di samping itu, mereka harus pula berhadapan dengan gigih dari golongan Dinasti Fatimiyah, Dinasti Gaznawi dan Bani Seljuk. Perebutan dalam keluarga Bani Buwaihi dapat juga dilihat dari niat Mu’ayyid ad-Daulah hendak mengambil alih kedudukan Adud ad-Daulah yang sejak 983 M, telah digantikan oleh putranya, Samsan ad-Daulah.
Niat tersebut tidak dikabulkan bahkan dia meninggal lebih dahulu. Oleh karena itu, wilayah yang dikuasainya diambil alih oleh adiknya sendiri yaitu Fakhr ad-Daulah. Kedudukan Samsan ad-Daulah, sebagai khalifah harus diserahkan kepada kakaknya yaitu Syaraf ad-Daulah tahun 987 M dan ia sendiri dipaksa masuk penjara di Siraf, di tepi Teluk Persia sebelah selatan Syiraz.
Dua tahun kemudian kekuasaan utama diambil oleh adiknya, Baha ad-Daulah tahun 989 M. Ia berkuasa hingga meninggal pada tahun 1012 M, tetapi kekuasaannya mengalami pasang surut berkali-kali. Tiga putranya dan cucunya dari putra pertamanya kemudian memegang kekuasaan hingga masa kemunduran Bani Buwaihi.
Meskipun demikian, banyak tenaga yang terkuras dihabiskan untuk saling bertempur sesama anggota keluarga. Sultan ad-Daulah yang memerintah Irak sejak tahun 1012 M ( menggantikan ayahnya, Baha ad-Daulah) harus bertekuk lutut di tangan adiknya sendiri yaitu Musyrif ad-Daulah yang menyebut dirinya Syahansyah (raja di raja), digantikan oleh adiknya yaitu Jalal ad Daulah pada tahun 1025 M.
Masa kekuasaannya lebih banyak terkuras untuk melakukan peperangan terhadap kemenakannya sendiri yaitu Abu Khalijar ( Putra pertama Sultan Musyarif ad-Daulah) yang diakhiri dengan suatu perdamaian tahun 1037 M. Pada Tahun 1948 M, dia digantikan oleh putranya yang pertama, bergelar Malik ar-Rahim. Dia merupakan kekhalifahan terakhir dari Bani Buwaihi Bin haus menjalani hidup dalam penjara hingga wafatnya di bawah pemerintahan Dinasti Bani Seljuk pada tahun 1055 M.
Kaum dinasti Bani saljuk dari suku bangsa Turki pada periode Bani Buwaihi banyak menduduki posisi pemimpin tentara. Mereka adalah pendukung awal kekuatan Bani Buwaihi. Orang-orang Turki banyak memanfaatkan situasi krisis dalam keluarga Bani Buwaihi.
Bahkan seorang jenderal Turki berhasil merebut kekuasaan di Baghdad pada masa Khalifah Bakhtiar tahun 967 M. Sejak saat itu Bani Buwaihi tidak bisa mempertahankan keunggulan militernya dan karenanya makin bersandar pada tentara bayaran yang berasal dari orang-orang Turki.
Dinasti Buwaihi di Irak mengalami kemunduran dalam perdagangan dan untuk pemecahannya mereka antara lain merealisasikan gagasan Iqta yaitu mengganti pembayaran gaji bagi setiap perwira dengan hak memungut pajak di suatu distrik tertentu.
Pelaksanaan Iqta pada masa berikutnya telah mengurangi tingkat pengawasan atas keuangan yang dijalankan oleh pejabat-pejabat resmi dan akhirnya tidak berjalan dengan baik. Pada masa kepemimpinan Jalal ad-Daulah pada tahun 1025 M, selalu saja tentara Turki menimbulkan persoalan dengan menuntut lebih banyak uang imbalan.
Ketika tahun 1030 M, golongan Ini meningkatkan aksinya di bagian timur, Khalifah Abu Khalijar terpaksa menghadapinya dengan mengadakan persekutuan dengan Tugril Beq, pemimpin Bani Seljuk. Akibatnya, 8 tahun kemudian, Tugril Beq memasuki kawasan Khurasan dan menyatakan diri sebagai Sultan di Nisabur.
Selanjutnya mereka secara beruntun merebut daerah-daerah kekuasaan Bani Buwaihi seperti Jurjan dan Tabaristan tahun 1041 M, Hamadan serta ar-Rayy tahun 1042 M, Mosul tahun 1043 M, Isfahan tahun 1050, dan Azerbaijan tahun 1054 M.
Dari kenyataan ini tidak mengherankan bahwa dinasti Bani Buwaihi makin tidak bisa menentramkan kerajaan mereka yang makin menyusut. Karenanya rakyat mereka beralih kepada Tugril Beq. Kondisi ini tidak-tidaknya melebarkan jalan bagi Tugril Beq memasuki Baghdad pada tanggal 19 Desember 1055 M. Setelah suatu kerusuhan dalam kota Baghdad, Malik ar-Rahim ditangkap dan meninggal dalam penjara 3 tahun kemudian.
Selama 110 tahun memerintah, Dinasti Bani Buwaihi aktif membangun kebudayaan baik di negeri Irak dan Iran. Rumah Sakit banyak dibangun di kota Baghdad dan Syiraz. Observatorium dibangun di kota Baghdad dan sejumlah perpustakaan dibangun di Isfahan, Irak dan Syiraz.
Ibnu Sina, pernah duduk sebagai Hakim dalam pemerintahan Bani Buwaihi. Demikian pula pada masa kekuasaan Bani Buwaihi, lahir ulama-ulama seperti Ibnu Maskawih, Istakari ( seorang ahli ilmu bumi), dan Nasawi ( seorang ahli matematika yang berjasa dalam memperkenalkan huruf angka hingga dalam wilayah Arab).