Keislaman

Saat Langit Direbut Politik: Kisah Epic Taqi al-Din, Astronom Istanbul

3 Mins read

Kota Istanbul, pusat kejayaan Ottoman pernah menjadi saksi lahirnya sebuah Observatorium megah yang digadang-gadang akan menyaingi peradaban bangsa barat pada masa itu. Namun sangat disayangkan kisahnya yang gemilang harus berakhir tragis, bukan karena lemahnya ilmu pengetahuan pada masa itu, melainkan karena campur tangan politik dan mitos setempat yang tak berdasar.

Dari balik kisah kelam itu, muncul cendekiawan brilian bernama Taqi al-Din Muhammad ibn Ma’ruf, ia intelektual astronom, tapi bukan sekadar itu ia juga insinyur, ahli matematika, sekaligus inovator yang karyanya jauh melampaui zamannya. Pada abad ke- 16, ketika negara barat sedang dipenuhi nama- nama besar seperti Tycho Brahe dan Copernicus, Taqi al- Din berdiri tegak di jantung kota Istanbul dengan menggenggam ambisi besar, membawa dunia Islam kembali menguasai peradaban.

Taqi al-Din seorang Polymath asal Damaskus yang lahir pada tahun 1526, ayahnya bernama Ma’ruf Efendi, dalam catatannya yang berjudul Rayhanat al-ruh menyatakan bahwa ia adalah keturunan Ayyubiyah, Damaskus dan Kairo sebagai tempat ia melakukan studi ilmu pengetahuan, awalnya ia mulai dengan ilmu teologi lalu seiring berjalannya waktu ia mulai tertarik dengan ilmu- ilmu rasional, setelah menyelesaikan studinya ia mengajar di madrasah dan menjabat sebagai anggota pengadilan pada tahun 1555 di Mesir, pada masa itu ia juga melahirkan banyak karya.

Pengalaman intelektual di Mesir membentuk fondasi keilmuan Taqi al-Din. Namun, ambisinya tak berhenti di sana. Pada tahun 1570, ia kembali ke Istanbul dan mulai memasuki lembaran baru dalam hidupnya, setahun kemudian ia diangkat menjadi kepala astronom sultan menggantikan Mustafa ibn Ali al-Muwaqqi, semenjak itu ia mulai menjalin banyak koneksi dengan ulama, negarawan, dan para intelektual lainnya, dan saat itulah ia menjadi astronom terpenting di Turki Ottoman.

Baca...  Politik Uang Secara Terang-terangan: Ancaman Bagi Demokrasi

Pada masa jabatannya ia menyatakan Ulugh Beg Zij memiliki kesalahan pengamatan tertentu, kemudian ia menyarankan kepada Sultan Murad III untuk mendirikan observatorium di Istanbul, dan Wazir Agung Soqullu Muhammad Pasha serta Khwaja Sa’ad al-Din tertarik pada masalah ini yang akhirnya mendukung saran Taqi al-Din. ia menyusun sebuah laporan, yang ditujukan kepada Sultan, menjelaskan perlunya mendirikan observatorium baru.

Dalam laporan ini ia juga menjelaskan bahwa tabel astronomi yang tersedia pada masa itu sudah usang dan tabel baru harus segera disusun. Sultan Murad III menyokong penuh atas rencana pembangunan Observatorium yang disarankan oleh Taqi al-Din, Sultan Murad III memerintahkan agar proyek ini segera dimulai serta membantu pendanaan proyek tersebut.

Di saat proses pembangunan observatorium berjalan, di sisi lain ia melanjutkan studinya di Menara Galata, hingga observatorium hampir selesai dibangun pada tahun 1577. Observatorium ini dibangun di daerah Tophane distrik yang ramai di tepi perairan Istanbul, memiliki dua bangunan terpisah, terdapat kantor, akomodasi tidur untuk staf administrasi dan para astronom, serta sebuah perpustakaan.

Di samping gedung utama terdapat struktur bangunan lain yang digambarkan dalam catatan-catatan sejarah sebagai observatorium kecil, yang mungkin merupakan tempat disimpannya instrumen-instrumen astronomi yang dapat dipindahkan. Observatorium yang diberi nama Dal ar-Rasid al-Jadid ini bukan sekadar bangunan megah, tetapi simbol ambisi besar Ottoman untuk menyaingi dominasi ilmiah Eropa.

Tidak hanya terletak pada struktur bangunannya yang megah, tetapi pada instrumen-instrumen canggih yang berhasil dirancang dan digunakan di dalamnya menjadi simbol kejayaan observatorium ini. Seorang inovator Taqi al-Din yang berhasil memadukan keilmuan dengan keterampilan teknis, sehingga banyak alat-alat canggih yang sukses ia kembangkan jauh melampaui zamannya.

Baca...  Kisah di Balik Tanda Waqaf dalam Mushaf Al-Qur’an

Mulai dari jam mekanik astronomi hingga alat pengukur bintang dan masih banyak lagi, semua itu menjadi bukti betapa gigihnya ia dalam mengangkat ilmu pengetahuan di bawah kekuasaan ottoman.

Para intelektual melakukan banyak penelitian dan pengamatan dengan observatorium yang berhasil berdiri, setelah bertahun tahun akhirnya mereka berkesempatan melakukan pengamatan pada komet terkenal yang muncul tepat di langit Istanbul. Awalnya komet itu diharapkan menjadi simbol baik dan bukti kehebatan ilmu Ottoman. Sayangnya tak lama setelah pengamatan itu dilakukan, Istanbul dilanda wabah penyakit, kalangan istana dan pemuka agama yang mendominasi pada masa itu mengambil kesempatan ini untuk memojokkan Taqi al-Din dan menyalahkan Observatorium sebagai sumber petaka.

Konon, Qadizade Ahmad Shams al-Din Efendi, yang saat itu menjabat sebagai Syekh al-Islam, menulis laporan kepada sultan, mengabarkan bahwa observatorium tersebut berbahaya dan wabah pes telah melanda karena observatorium tersebut, serta menyatakan bahwa pengamatan astronomi yang dilakukan Taqi al-Din adalah pertanda buruk karena berani mengangkat tirai misteri langit.

Tekanan demi tekanan semakin menghantam kuat Taqi al-Din. Sultan Murad III yang awalnya menyokong penuh Taqi al-Din pun akhirnya goyah oleh bisikan politik dan suara konservatif, tak punya pilihan lain ia terpaksa menghentikan pengamatan dan mengundurkan diri, kemudian pada tahun 1580 observatorium megah yang baru saja berdiri sebagai simbol kejayaan ilmu akhirnya dihancurkan atas perintah Laksamana Kılıç Ali Pasha.

Taqi al-Din hanya lolos dari maut berkat campur tangan sahabat sekaligus pelindungnya di istana, Hoca Saadettin Efendi. Lima tahun kemudian, pada tahun 1585 Taqi al-Din wafat dalam usia 60 tahun, dan dimakamkan di Mausoleum Yahya Efendi di Istanbul.

Sejarah ini bukan sekadar catatan masa lalu. Kisah Taqi al-Din mengingatkan kita bahwa sains bisa runtuh bukan karena kelemahan ilmu, melainkan karena lemahnya keberanian politik melawan mitos setempat yang tidak berdasar. Jika dulu langit Istanbul direbut oleh politik, jangan sampai di era kita hal yang sama terulang kembali.

1 posts

About author
Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta
Articles
Related posts
KeislamanSejarah

Mu'awiyah Pendiri Bani Umayyah

4 Mins read
Mu’awiyah bin Abu Sufyan lahir di Mekah, 602 dan wafat di Damaskus, Rajab 60 H/680 M. Dia adalah bangsawan Quraisy, pendiri dan…
KeislamanSejarah

Sejarah Kekuasaan Dan Politik Di Mekah

8 Mins read
Kuliahalislam.com-Mekah merupakan kota suci umat Islam, tempat berdirinya Ka’bah tempat umat Islam melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun kelima Islam dan tempat…
KeislamanPendidikan

Hakikat Mukminat Menurut Ahli

2 Mins read
Mukminat bentuk jamaknya dari kata “Mukmin” yang artinya mungkin atau boleh, lawan katanya pasti, harus atau wajib. Dalam ilmu kalam, alam (…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Bingkai Persatuan Umat dalam Momentum Maulid Nabi

Verified by MonsterInsights