Pemilihan Kepala Daerah di Papua baru-baru ini menghasilkan pasangan calon nomor urut 2, Matius Fakhiri, S.I.K., dan Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen, S.P., M.Eng, sebagai pemenang. Kemenangan ini menandai babak baru dalam perjalanan demokrasi Papua, sekaligus memberikan pesan penting bahwa masyarakat Papua mampu menjalankan mekanisme politik secara damai dan konstitusional.
Namun, dinamika pasca pemilihan juga menghadirkan tantangan. Isu berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) mulai muncul dan berpotensi mengganggu harmoni sosial. Beberapa suara dari tokoh agama dinilai kurang tepat dalam menanggapi hasil pemilu, karena menggunakan narasi yang justru memperlebar jarak antar kelompok. Dalam konteks ini, pengamat intelijen intuitif dan politik, Paijo Parikesit, mengingatkan, “Pemuka agama seharusnya menjadi pendingin suasana, bukan sebaliknya. Papua adalah tanah damai yang harus dijaga dari provokasi berbasis identitas.”
Pemuka Agama dan Tanggung Jawab Etis
Agama memiliki posisi istimewa dalam kehidupan masyarakat Papua. Gereja, masjid, maupun lembaga keagamaan lainnya sering menjadi pusat spiritual sekaligus ruang sosial yang memperkuat solidaritas masyarakat. Oleh karena itu, tanggung jawab moral pemuka agama sangat besar: bukan hanya membimbing umat dalam ibadah, tetapi juga merawat kerukunan.
Dalam tradisi multikultural seperti Papua, sikap moderat dan inklusif dari pemuka agama akan menjadi penentu keberlanjutan perdamaian. Jika agama diposisikan sebagai alat politik, apalagi dengan retorika yang menyinggung perbedaan, maka agama kehilangan fungsi mulianya sebagai sumber kasih dan persaudaraan.
Belajar dari Luka Politik Identitas
Sejarah politik Indonesia memberikan banyak pelajaran tentang bahaya politik identitas. Kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 kerap dijadikan rujukan bagaimana isu agama dapat menimbulkan polarisasi sosial yang dalam. Luka itu masih terasa hingga kini, menunjukkan betapa sulitnya menyembuhkan dampak politik berbasis SARA.
Papua tidak boleh terjebak dalam pola yang sama. Keberagaman masyarakat Papua adalah kekuatan, bukan kelemahan. Mengaitkan kemenangan pasangan Fakhiri–Rumaropen dengan perbedaan agama hanya akan memperkeruh suasana dan menumbuhkan kecurigaan antar komunitas. Demokrasi semestinya menjadi ruang untuk kompetisi gagasan, bukan arena untuk memperuncing identitas.
Representasi Toleransi dalam Kepemimpinan
Kemenangan pasangan Matius Fakhiri (yang beragama Islam) dan Aryoko Rumaropen (yang beragama Nasrani) justru dapat dibaca sebagai simbol nyata toleransi di Papua. Duet ini menggambarkan bahwa kepemimpinan tidak semata-mata ditentukan oleh identitas keagamaan, melainkan oleh komitmen untuk melayani masyarakat.
Representasi semacam ini penting untuk mengingatkan bahwa Papua adalah tanah bersama, tempat berbagai agama dan budaya hidup berdampingan. Dalam perspektif akademis, hal ini sejalan dengan konsep pluralisme konstruktif, di mana keberagaman menjadi landasan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan resilien.
Memisahkan Politik dan Agama
Salah satu tantangan besar demokrasi kontemporer adalah ketika batas antara agama dan politik semakin kabur. Agama sering dipinjam untuk mendapatkan legitimasi politik, padahal fungsi keduanya berbeda. Agama memberikan pedoman moral dan spiritual, sementara politik adalah mekanisme untuk mengelola kepentingan publik.
Mengutip gagasan filsuf politik John Rawls, kehidupan publik dalam masyarakat plural sebaiknya didasarkan pada overlapping consensus, yakni titik temu nilai bersama yang bisa diterima berbagai kelompok. Dalam konteks Papua, konsensus itu adalah perdamaian, persatuan, dan kesejahteraan masyarakat, bukan sekat-sekat identitas.
Papua sebagai Tanah Perdamaian
Papua memiliki sejarah panjang sebagai tanah yang kaya akan keragaman budaya, bahasa, dan keyakinan. Kekayaan ini seharusnya menjadi sumber kebanggaan sekaligus modal untuk membangun masa depan. Mengelola perbedaan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika adalah jalan yang paling tepat agar Papua tetap menjadi tanah perdamaian dan kedaulatan.
Masyarakat Papua tidak perlu merasa cemas dengan terpilihnya pasangan Fakhiri–Rumaropen. Justru duet ini menghadirkan simbol bahwa kerja sama lintas iman dapat diwujudkan dalam ruang politik. Kepentingan Papua jauh lebih besar daripada sekadar memperdebatkan identitas. Fokus utama seharusnya adalah pembangunan, pendidikan, lapangan kerja, dan kesejahteraan.
Penutup
Dalam demokrasi, kalah dan menang adalah hal biasa. Yang luar biasa adalah ketika semua pihak mampu menerima hasil dengan lapang dada, menjaga kerukunan, dan tetap berkomitmen pada persatuan bangsa.
Papua membutuhkan pemimpin yang merangkul semua golongan, serta pemuka agama yang menjadi peredam konflik, bukan sumber provokasi. Seperti diingatkan Paijo Parikesit, “Papua terlalu indah untuk dirusak oleh isu SARA. Pemuka agama harus kembali pada peran utamanya: merawat kasih, menumbuhkan toleransi, dan menjaga perdamaian.”
Pada akhirnya, hanya dengan menempatkan agama sebagai sumber kedamaian, serta memisahkannya dari praktik politik identitas yang sempit, Papua bisa benar-benar dikenal bukan sebagai tanah konflik, melainkan tanah perdamaian dan kedaulatan.