Kuliahalislam. Rangkayo Rasuna Said lahir di Maninjau, Sumatra Barat, 14 September 1910 M dan wafat di Jakarta, 02 November 1965 M. Ia merupakan seorang tokoh pendidikan dan pejuang wanita Indonesia yang ternama dari daerah Sumatra Barat. Pendidikan pertamanya diperoleh di Sekolah Desa Maninjau, setelah itu ia memasuki Diniyah School di Padangpanjang.
Ketika masih berstatus pelajar, dia sudah dipercayai untuk mengajar di kelas bawahnya. Di kala itu kegiatan politik di kalangan guru-guru Islam di Minangkabau meningkat sehingga Rasuna Said berani mengemukakan dan menanamkan pentingnya politik dan perlunya partisipasi pelajar di dalamnya.
Menurutnya, pelajar hendaknya dilengkapi dengan berbagai macam keterampilan yang harus dimiliki seseorang yang akan bergulat dalam pergerakan. Jika perlu, pelajaran agama dan kegaiatan-kegiatan agama hendaknya memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi pelatihan berpolitik.
Di samping belajar dan menjadi guru Rasuna Said juga aktif mengaji kepada Haji Abdul Karim Amrullah, ayah HAMKA. Dari pengajian ini ia banyak memperoleh berbagai ilmu pengetahuan agama dan pergerakan Islam modern. Ia juga masuk Meisjes School, yang mengerjakan hal-hal rumah tangga.
Ketika gempa bumi melanda Kota Padangpanjang pada tahun 1926, gedung Madrasah Diniyah Putri menjadi rusak berat dan terpaksa ditutup. Rasuna Said pindah dari Madrasah Diniyah Putri dan memasuki Sekolah Thawalib.
Sekolah ini dapat diselesaikannya dalam waktu 2 tahun. Setamat dari sekolah tersebut, ia menjadi sekretaris pada perkumpulan Serekat Rakyat, suatu organisasi yang menghimpun melawan Belanda. Kemudian Serekat Rakyat ini berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Pada tahun 1830, Sumatra Thawalib diubah menjadi “Persatuan Muslimin Indonesia”, yang disingkat menjadi PMI atau Permi. Rasuna Said semula hanya duduk sebagai anggota biasa. Tetapi dengan bakatnya sebagai organisator pada tahun 1932, dia diangkat menjadi salah seorang anggota pengurus besar Permi.
Mengetahui hal itu, maka PSII pun mengeluarkan peraturan bahwa anggotanya tidak boleh merangkap keanggotaan dalam organisasi lain. Rasuna Said menyatakan diri keluar dari anggota PSII dan tetap dalam organisasi Permi.
Dalam pidato-pidatonya ia sangat keras mengecam Belanda. Dia menuduh Belanda menguras keringat rakyat dan merampas kekayaan Indonesia untuk kekayaan mereka tanpa memikirkan kesengsaraan rakyat. Kegiatan Permi semakin meluas di berbagai bidang, sehingga dari hari ke hari Permi semakin mendapat tempat di hati rakyat.
Maka Rasuna Said tidak luput dari pengawasan pihak penguasa Belanda yang meningkatkan pengawasan kepada tokoh pejuang wanita itu. Akhirnya ia ditangkap pada tahun 1932 dengan alasan mengganggu ketentraman umum. Ia dijatuhi hukuman pembuangan ke Jawa dan dimasukkan ke penjara wanita (Bulu) di Semarang selama 13 bulan.
Setelah Rasuna Said bebas dari penjara, ternyata markas Permi sudah diporakporandakan oleh Belanda. Pimpinan dan stafnya ditangkap, mereka itu dikenal dengan tiga sekawan yaitu Mokhtar Luthfi , H. Jalaluddin Taib dan Ilyas Yakob, ketiganya dibuang ke Boven Digul, Irian Barat (Irian Jaya).
Setelah kegiatan Permi berkurang karena berbagai hambatan dan larangan yang dikenakan pemerintah. Rasuna Said bergabung dengan Islamic College, salah satu akademi Islam (selain Normal Islam), yang didirikan para reformis Islam di Padang.
Ia dipercaya untuk memimpin majalah sekolah yang bernama “Raya”. Ia kemudian pindah ke Medan. Di Medan, ia memimpin sebuah surat kabar mingguan bernama “Menara Putri” yang dikenal dengan semboyan “Ini dadaku, mana dadamu”, yang cukup tajam dan menghujam di hati masyarakatnya serta menumbuhkan semangat juang.
Di samping perjuangan politik, Rasuna Said juga sempat membina perguruan putri. Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said kembali ke Padang. Disinilah ia bertemu rekan seperjuangannya yaitu Khatib Sulaiman, mendirikan organisasi pemuda Sumatra Barat dengan nama Nippon Raya yang bertujuan membina bibit-bibit pejuang kemerdekaan.
Gerak-gerik organisasi ini pun akhirnya diketahui Jepang. Rasuna Said dan Khatib Sulaiman ditangkap namun kemudian dibebaskan lagi. Rasuna Said bersama-sama Khatib Sulaiman kemudian aktif memperjuangkan dibentuknya barisan Pembela Tanah Air (Peta).
Hal ini berhasil ketika Jepang membentuk Giyu Gun, tentara sukarela. Laskar Rakyat inilah yang kelak menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sesudah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera yang mewakili daerah Sumatera Barat.
Kemudian ia menjadi anggota KNIP, DPR-RIS dan DPRS. Pada tahun 1959, diangkat menjadi anggota DPA. Sebagai salah satu aktivis, ia kurang memperhatikan kesehatan dirinya. Belakangan ia diketahui mengidap penyakit kanker darah yang parah dan tidak tertolong lagi. Dia meninggal dunia pada tanggal 2 November 1965 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata l. Dengan SK Presiden Nomor 084/TK/Tahun 1974, Rasuna Said diangkat menjadi pahlawan nasional.