ArtikelPendidikanTokoh

2045: Generasi Cemas Era Post-Truth?

6 Mins read

Indonesia adalah negeri yang kaya, baik dari segi alam maupun budaya. Dengan segala kekayaan yang dimiliki, tidak heran jika pemerintah mengusung visi Indonesia Emas 2045 sebagai cita-cita besar. Tahun 2045 diproyeksikan menjadi tahun emas, di mana Indonesia akan mencapai kemajuan signifikan di berbagai bidang, termasuk ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Namun, untuk mencapai visi tersebut, bangsa ini harus menghadapi tantangan besar, terutama di era post-truth sekarang ini yang begitu kejam. Era post-truth adalah masa di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta objektif, yang dapat mengaburkan pandangan masyarakat dan merusak fondasi demokrasi.

Selain dari tantangan post-truth, Indonesia juga menghadapi berbagai masalah dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan. Seiring dengan itu, muncul pertanyaan kritis: Bagaimana Indonesia bisa mencapai status sebagai generasi emas pada tahun 2045 jika tantangan-tantangan ini masih belum teratasi? Saat ini, banyak aspek kehidupan di Indonesia yang belum menunjukkan kemajuan signifikan, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya generasi muda yang apatis, kurang peduli pada kondisi bangsanya, dan lebih mementingkan diri sendiri.

Di era post-truth, manipulasi informasi dan disinformasi menjadi ancaman nyata bagi pembentukan opini publik yang sehat. Fenomena ini diperkuat oleh perkembangan teknologi digital dan media sosial, yang memungkinkan penyebaran informasi tanpa filter, sehingga masyarakat sering kali sulit membedakan antara fakta dan hoaks. Hal ini tentu menjadi tantangan besar dalam membentuk generasi yang kritis dan berdaya analisis tinggi, yang seharusnya menjadi ciri khas dari generasi emas. Menurut Manuel Castells dalam bukunya “The Power of Identity”, era post-truth tidak hanya mengacaukan persepsi masyarakat terhadap kebenaran, tetapi juga membentuk identitas individu yang didasarkan pada emosi dan sentimen kelompok, bukan pada fakta objektif . Kondisi ini membuat generasi muda rentan terhadap pengaruh politik identitas dan manipulasi informasi, yang pada akhirnya melemahkan kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan membedakan kebenaran dari kebohongan.

Selanjutnya di bidang politik, Indonesia saat ini menghadapi masalah serius berupa dominasi elit dan kapitalisme yang semakin menguat. Dalam konteks demikian, era post-truth juga memainkan peranan penting dalam memperkuat hegemoni kelompok elit yang berkuasa. Mereka sering menggunakan disinformasi dan propaganda untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol opini publik, yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas.

Kapitalisme yang mengakar kuat di Indonesia juga menjadi tantangan besar bagi tercapainya visi Indonesia Emas 2045. Kapitalisme, dengan logika pasar bebasnya, cenderung mengutamakan keuntungan material di atas kesejahteraan sosial. Kondisi ini menciptakan ketimpangan ekonomi yang semakin lebar, di mana sumber daya alam yang melimpah justru dikuasai oleh segelintir pihak yang berkuasa, sementara rakyat kecil terus terpinggirkan. Menurut Karl Marx, kapitalisme yang tidak terkendali akan selalu menciptakan kelas dominan yang menguasai sarana produksi, sehingga terjadi eksploitasi terhadap kelas pekerja.

Salah satu pilar penting dalam mencapai generasi emas adalah pendidikan. Namun, di negara kita sendiri, sektor pendidikan masih menghadapi berbagai masalah serius, mulai dari kualitas yang merosot hingga kesenjangan akses yang besar antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Di era post-truth, tantangan ini semakin diperparah oleh informasi yang salah dan kurikulum yang tidak adaptif terhadap perkembangan zaman. Akibatnya, banyak generasi muda yang kehilangan minat untuk berpikir kritis dan lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat pragmatis dan materialistis.

Paulo Freire, dalam bukunya “Pedagogy of the Oppressed”, mengkritik sistem pendidikan yang hanya berfokus pada pengajaran teknis tanpa mendorong siswa untuk memahami realitas sosial dan politik di sekitar mereka . Menurutnya, pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan individu dari penindasan, bukan sekadar alat untuk memasukkan informasi tanpa mendorong kesadaran kritis. Sayangnya, kondisi pendidikan di Indonesia saat ini belum sepenuhnya mencerminkan visi tersebut, dan hal ini menjadi hambatan besar dalam mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan.

Lantas Generasi Emas atau Generasi Cemas?

Dengan segala tantangan yang ada, muncul kekhawatiran bahwa generasi emas yang diharapkan pada tahun 2045 justru akan menjadi generasi cemas. Generasi muda Indonesia saat ini dihadapkan pada situasi yang kompleks dan penuh dengan kontradiksi. Di satu sisi, mereka diharapkan menjadi motor penggerak kemajuan bangsa, namun di sisi lain, mereka juga terjebak dalam realitas sosial dan politik yang sarat dengan manipulasi, ketidakadilan, dan ketimpangan.

Teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk mempermudah kehidupan justru sering kali menjadi alat untuk memperdaya dan melemahkan mental generasi muda. Banyak di antara mereka yang lebih peduli pada kehidupan virtual di media sosial daripada pada realitas sosial di sekitarnya. Akibatnya, muncul generasi yang cenderung apatis, mudah terpengaruh oleh arus informasi yang salah, dan kehilangan semangat untuk berjuang demi kepentingan bersama. Idealisme, yang seharusnya menjadi ciri khas pemuda, semakin tergeser oleh pragmatisme dan materialisme. Banyak generasi muda yang lebih memilih jalan pintas untuk mencapai kesuksesan material, tanpa peduli pada etika dan tanggung jawab sosial. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa, karena tanpa generasi yang idealis dan berintegritas, sulit bagi Indonesia untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.

Jika kita menilik kembali sejarah perjuangan bangsa ini, para pemuda selalu menjadi ujung tombak dalam melawan penjajahan dan penindasan. Pada masa penjajahan, para pemuda dengan lantang menantang kekuasaan kolonial dan memperjuangkan kemerdekaan. Namun, di era sekarang, tantangan yang dihadapi pemuda berbeda. Penjajahan bukan lagi datang dari bangsa asing, melainkan dari bangsa sendiri yang terjebak dalam sistem yang tidak adil dan korup. Soekarno, proklamator kemerdekaan Indonesia, pernah mengatakan bahwa “perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Pernyataan ini mencerminkan kondisi saat ini, di mana tantangan terbesar bukan lagi datang dari luar, melainkan dari dalam negeri sendiri . Dalam hal ini, pemuda harus mampu melawan godaan untuk menyerah pada pragmatisme dan materialisme, serta tetap memegang teguh idealisme untuk membangun bangsa yang adil dan sejahtera.

Indonesia sebenarnya mempunyai potensi besar untuk menjadi negara yang maju dan sejahtera pada tahun 2045, namun untuk mencapai visi generasi emas, banyak tantangan yang harus dihadapi, terlebih era post-truth sekarang, dominasi kapitalisme dan merosotnya kualitas pendidikan ialah beberapa tantangan utama yang harus diatasi. Pemuda, sebagai penerus bangsa, harus mampu melawan godaan untuk menyerah pada pragmatisme dan tetap berpegang pada idealisme untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Solusi yang Ditawarkan

Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, berbagai tantangan yang telah disebutkan harus ditangani dengan serius. Di era post-truth yang penuh disinformasi, diperlukan upaya untuk memperkuat literasi media dan pendidikan kritis. Salah satu solusi yang dapat diambil adalah memperkuat sistem pendidikan yang berorientasi pada pembentukan pemikiran kritis dan empati sosial. John Dewey, seorang filsuf pendidikan Barat, menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat untuk mempromosikan demokrasi.

Dalam bukunya “Democracy and Education”, Dewey menjelaskan bahwa pendidikan harus melibatkan siswa dalam proses berpikir kritis dan partisipatif, yang pada akhirnya akan menciptakan warga negara yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, sistem pendidikan di Indonesia perlu menanamkan nilai-nilai demokrasi, partisipasi aktif, dan kemampuan berpikir kritis sejak dini agar generasi muda dapat menghadapi tantangan era post-truth dengan bijak.

Dari perspektif tokoh Indonesia, pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan bisa menjadi inspirasi. Dalam konsep “Panca Dharma”, Ki Hajar menekankan bahwa pendidikan harus mengembangkan lima aspek penting: kepribadian, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti, dan kesehatan jasmani. Dengan mengintegrasikan pendekatan ini, Indonesia dapat membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki etika sosial yang kuat untuk melawan pengaruh negatif dari era post-truth.

Selain pendidikan, penguatan sistem politik yang lebih adil dan transparan juga menjadi kunci untuk melawan dominasi elit dan kapitalisme. Antonio Gramsci, seorang teoretikus Marxis, mengajukan gagasan tentang hegemoni budaya yang menjelaskan bagaimana kelas dominan menggunakan alat-alat budaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Untuk melawan hegemoni ini, Gramsci menyarankan pembentukan counter-hegemony yang bisa diimplementasikan melalui gerakan sosial dan partisipasi politik yang lebih luas. Dalam konteks Indonesia, ini berarti meningkatkan kesadaran politik di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, untuk melawan praktik politik yang korup dan oligarkis.

Selanjutnya, untuk menghadapi tantangan kapitalisme, Amartya Sen, seorang ekonom Nobel, menawarkan pendekatan berbasis “capability”. Dalam bukunya “Development as Freedom”, Sen berargumen bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya harus diukur dari pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga dari kemampuan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang mereka nilai baik. Oleh karena itu, pembangunan di Indonesia harus berfokus pada peningkatan kemampuan masyarakat, terutama kelompok marginal, agar mereka dapat berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Dengan demikian, distribusi kekayaan yang lebih merata dan pembangunan yang inklusif dapat dicapai, sehingga mengurangi ketimpangan yang dihasilkan oleh kapitalisme.

Dalam mengejar agar terwujudnya Indonesia Emas 2045, tantangan-tantangan yang dihadapi saat ini harus disikapi dengan keseriusan dan strategi yang tepat. Pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada pembentukan pemikiran kritis menjadi salah satu fondasi utama untuk melawan era post-truth. Melalui pendekatan yang mengedepankan partisipasi aktif dan demokrasi, seperti yang diusulkan oleh John Dewey dan Ki Hajar Dewantara, kita dapat menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang kuat.

Di sisi lain, reformasi politik dan ekonomi juga tidak kalah penting. Melawan dominasi elit dan kapitalisme memerlukan langkah nyata dalam membangun sistem yang lebih adil dan inklusif, sebagaimana diuraikan oleh pemikiran Antonio Gramsci dan Amartya Sen. Reformasi ini harus diarahkan untuk menciptakan pemerataan kekayaan dan akses, sehingga pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pada akhirnya, Indonesia memiliki potensi besar untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Namun, potensi tersebut hanya bisa diwujudkan jika kita mampu menghadapi tantangan-tantangan yang ada dengan pemikiran kritis, semangat reformasi, dan komitmen untuk keadilan sosial. Generasi muda Indonesia harus siap menjadi motor penggerak perubahan, membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih cerah dan berkeadilan. Dengan strategi yang tepat dan tekad yang kuat, Indonesia Emas 2045 bukan hanya sekadar impian belaka dan berubah menjadi Indonesia cemas, melainkan sebuah kenyataan yang bisa kita capai bersama.

 

 

Daftar Pustaka

  1. 1. Manuel Castells, The Power of Identity. Malden: Blackwell Publishers, 1997.
  2. Paolo Freire, Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder, 1970.
  3. Marx, Karl. Das Kapital. London: Penguin Classics, 1992.
  4. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965.
  5. Castells, Manuel. “The Power of Identity”. Oxford: Blackwell, 1997.
  6. Dewey, John. “Democracy and Education”. New York: Macmillan, 1916.
  7. Freire, Paulo. “Pedagogy of the Oppressed”. New York: Continuum, 1970.
  8. Gramsci, Antonio. “Selections from the Prison Notebooks”. New York: International Publishers, 1971.
  9. Hajar Dewantara, Ki. “Panca Dharma dan Prinsip-prinsip Pendidikan Taman Siswa”. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1935.
  10. Marx, Karl. “Capital: A Critique of Political Economy”. Volume I. London: Penguin Books, 1976.
  11. Sen, Amartya. “Development as Freedom”. New York: Alfred A. Knopf, 1999.
3 posts

About author
Manusia yang sedang belajar dan terus belajar selama dunia fana.
Articles
Related posts
Artikel

Jawaban Jika Anak Bertanya Bolehkah Bermain dengan Orang Yang Beragama Kristen?

2 Mins read
Jawaban jika anak bertanya bolehkah bermain dengan orang yang beragama Kristen? Ibu saya berpesan jangan bermain dengan teman-temanmu yang beragama Kristen? Apakah…
Artikel

Anak Bertanya, Berperang Demi ISIS Apakah Perintah Tuhan?

3 Mins read
Anak bertanya, berperang demi ISIS apakah perintah Tuhan? Suatu ketika, Irma bertanya kepada Ibunya, “Ibu kenapa ya di Televisi itu banyak berita…
Artikel

Jawaban Jika Anak Bertanya Apakah Kita Mendapat Pahala Jika Membantu Non-Muslim?

2 Mins read
Jawaban jika anak bertanya apakah kita mendapat pahala jika membantu non-muslim? Hakikatnya hubungan antara seorang Muslim dan non-Muslim tidak didasarkan pada kebencian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights