Esai

UU Pesantren Sudah Disahkan, Tapi Apa Kabar Implementasinya?

4 Mins read

Sudah hampir enam tahun sejak negara mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Sebuah tonggak sejarah yang katanya akan membawa pesantren ke panggung pendidikan nasional bukan hanya sebagai institusi tradisional, tetapi sebagai bagian sah dari sistem pendidikan formal di Indonesia.

UU ini diharapkan mampu mengangkat pesantren dari sekadar institusi tradisional menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan nasional. Banyak pihak optimis, UU ini akan mempermudah pesantren dalam memperoleh pengakuan formal, memperluas akses pendanaan, dan memperkuat kelembagaan. Namun, meski regulasi ini terdengar ideal di atas kertas, implementasinya di lapangan seringkali berjalan tidak sesuai harapan.

Namun, pertanyaan mendasarnya masih menggantung di lapangan: Apakah UU ini benar-benar telah dirasakan manfaatnya oleh pesantren, terutama yang kecil dan berbasis swadaya?

Realitas di lapangan seringkali berbeda dari yang dibayangkan dalam ruang-ruang kebijakan. Banyak pesantren tradisional, terutama yang jauh dari pusat kota, menghadapi tantangan besar dalam menafsirkan dan menerapkan aturan ini. Di sinilah letak persoalan mendasar: kebijakan yang baik tanpa pendampingan yang memadai hanya akan menjadi dokumen tanpa makna bagi komunitas yang seharusnya dilayani.

Saya mencoba mencari jawabannya dengan turun langsung ke sebuah pesantren tematik di Jakarta Barat, Pesantren Ekonomi Darul Ukhwah. Melalui riset lapangan dan wawancara dengan para aktor di dalamnya kiai, ustaz, pengurus, hingga santri saya menemukan kenyataan yang jauh dari euforia formalitas hukum.

Pengalaman ini memberi saya perspektif berbeda, bahwa kebijakan negara tidak selalu berbanding lurus dengan dampak di akar rumput. Bahkan, seringkali pesantren berjalan dengan caranya sendiri, tanpa banyak sentuhan dari sistem formal yang ada.

Antusiasme Ada, Tapi Pengetahuan Terbatas

UU No. 18 Tahun 2019 membawa semangat besar: pengakuan formal terhadap eksistensi pesantren, pengakuan terhadap ijazah muadalah, bahkan jaminan dana abadi pesantren dari negara. Dalam perspektif pemerintah, regulasi ini seharusnya menjadi jembatan antara tradisi pesantren dan birokrasi negara.

Baca...  Pendekatan Teori Double Movement Pada Penistaan Agama Oleh Sukmawati Soekarno Putri

Namun, kenyataan tidak sesederhana itu. Di Darul Ukhwah, pemahaman terhadap kebijakan ini masih terbatas, baik di kalangan pengurus maupun santri. Sosialisasi yang minim membuat undang-undang ini hanya dikenal sebatas nama, tanpa pemahaman teknis tentang bagaimana mengakses hak-hak yang dijanjikan.

Salah satu ustadz mengatakan dengan jujur bahwa mereka belum sempat mengurus pengakuan muadalah karena keterbatasan tenaga dan pengetahuan administratif. “Kita ini pesantren swadaya. Fokus kami lebih ke pembinaan dan pengajian,” ujarnya.

Pernyataan ini menunjukkan adanya prioritas berbeda yang dipegang pesantren: mereka lebih memilih memperkuat pendidikan moral dan agama ketimbang mengurus dokumen yang dianggap rumit. Bagi pengurus, administrasi formal bukanlah hal utama, sementara pembinaan santri adalah inti dari keberadaan pesantren itu sendiri.

Sementara para santri yang sebagian juga berkuliah di luar pesantren mengaku belum pernah mendengar soal Dana Abadi Pesantren, atau apa arti ijazah yang setara secara hukum. Mereka lebih akrab dengan jadwal setoran hafalan, pengajian tafsir, dan kebersihan lingkungan.

Hal ini menunjukkan bahwa regulasi negara belum berhasil menembus kehidupan sehari-hari warga pesantren. Pengetahuan tentang kebijakan hanya berhenti di level pengurus, itupun terbatas. Padahal, jika implementasi berjalan baik, santri sebagai penerima manfaat utama seharusnya menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.

Ini bukan semata persoalan Darul Ukhwah, tapi fenomena umum di banyak pesantren menengah dan kecil di Indonesia. Antusiasme atas pengakuan negara ada, tetapi akses terhadap pemahaman hukum dan sumber daya pendukung sangat terbatas.

Pesantren sering kali berjalan dengan niat dan kemandirian, tetapi tidak mendapat pendampingan teknis dari pemerintah. Tanpa pendampingan, peluang yang dibuka oleh UU ini hanya akan menjadi harapan kosong.

Negara Punya Logika Birokrasi, Pesantren Punya Tradisi

Sebagai mahasiswa sosiologi, saya melihat masalah ini tidak sekadar persoalan administratif, tetapi persoalan cara pandang. Negara beroperasi dengan logika birokrasi, yang menuntut semua lembaga pendidikan memenuhi standar formal seperti kurikulum, akreditasi, dan pelaporan.

Baca...  Orang-Orang Musyrikun Dalam Islam

Sementara itu, pesantren seperti Darul Ukhwah hidup dengan logika tradisi dan spiritualitas, di mana nilai adab, keteladanan kiai, dan suasana religius menjadi inti pendidikan. Dalam kerangka teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann, realitas di pesantren dibentuk oleh interaksi sosial dan makna kolektif yang berbeda dengan logika negara. Tidak heran jika banyak pesantren merasa kebijakan formal sulit diterapkan karena tidak sesuai dengan konteks sosial mereka.

Salah satu santri di Darul Ukhwah mengatakan, “Di sini kita belajar bukan hanya kitab, tapi juga karakter dan tanggung jawab. Ijazah bisa dicari nanti, tapi akhlak itu yang utama.” Pernyataan ini mempertegas bahwa pesantren memandang pendidikan bukan sekadar legalitas, tetapi proses membentuk manusia yang beradab.

Apakah Negara Terlalu Jauh dari Akar Pesantren?

UU Pesantren mungkin lahir dari niat baik. Tapi apakah negara benar-benar hadir di pesantren-pesantren untuk mendampingi, bukan hanya mengatur?

Dari hasil wawancara, tidak ada pendampingan langsung dari pemerintah ke Darul Ukhwah untuk membantu memahami regulasi atau mengurus muadalah. Pengasuh pesantren merasa dibiarkan sendiri membaca teks undang-undang yang teknis dan sulit dimengerti.

Ini menunjukkan adanya jarak epistemologis dan kultural antara negara dan komunitas pesantren. Negara bergerak dengan logika birokrasi dan target kelembagaan, sedangkan pesantren hidup dengan logika spiritual dan budaya. Jika tidak ada jembatan penghubung, maka pengakuan hanya akan menjadi simbol bukan manfaat nyata.

Hal ini semakin memperjelas perlunya ruang perjumpaan antara tradisi dan sistem. Jangan sampai legalitas mematikan vitalitas.

Harapan: Dari Regulasi Menuju Relasi

UU Pesantren adalah peluang besar, tapi peluang hanya bisa berubah menjadi manfaat jika ada pendampingan nyata dari negara. Pelatihan administratif, sosialisasi intensif, dan pemberdayaan SDM pesantren perlu dikedepankan dalam pelaksanaan regulasi ini.

Baca...  Jagalah Profil Digital Anda : Bahaya Oversharing

Di sisi lain, pesantren juga perlu mulai membuka diri, belajar memaknai legalitas bukan sebagai bentuk penyeragaman, tapi sebagai strategi keberlanjutan. Pesantren tetap bisa menjaga tradisi, sembari mengakses hak-hak kelembagaan yang ditawarkan negara.

Relasi negara dan pesantren seharusnya bukan relasi kuasa, melainkan kemitraan kultural. Negara tidak boleh menempatkan pesantren hanya sebagai objek kebijakan, tapi harus menghargainya sebagai subjek dengan kekhasan nilai dan peran strategis dalam membentuk karakter bangsa.

Penutup

UU Pesantren sudah disahkan. Tapi hingga hari ini, implementasinya belum sepenuhnya terasa di banyak pesantren. Pesantren-pesantren kecil masih berjuang memahami bahasa negara, sementara negara belum benar-benar belajar memahami bahasa pesantren.

Jika kita ingin pendidikan nasional yang adil, inklusif, dan berbasis kearifan lokal, maka relasi negara dan pesantren harus dimulai dari dialog yang setara dan terbuka. Bukan hanya tentang aturan, tapi tentang saling mengerti. Karena di balik teks hukum dan pasal-pasal, yang terpenting adalah memanusiakan pendidikan berbasis nilai dan tradisi.

1 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)
Articles
Related posts
Esai

Perkumpulan Panitia Santunan Anak Yatim di Desa Jabalsari

3 Mins read
Santunan anak yatim menjadi salah satu bentuk kegiatan sosial yang rutin dilakukan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Desa Jabalsari, Kecamatan Sumbergempol,…
Esai

Ijazah Jokowi dan Epidemi Ketidakpercayaan: Ketika Fakta Dikubur dalam Kuburan Hoaks

3 Mins read
Isu ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi) kembali menghangat pada 24 Juli 2025, seolah menjadi ritual politik yang terus dihidupkan setiap kali ada…
Esai

Pemberdayaan Remaja Baran: Edukasi Seks oleh Mahasiswa KKN UIN Raden Mas Said melalui Sosialisasi 'Berani Lindungi Diri'

4 Mins read
Pada Jumat, 11 Juli 2025, dua belas mahasiswa KKN Kelompok 59 UIN Raden Mas Said Surakarta di Desa Baran, Kecamatan Cawas, Kabupaten…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Artikel

Perbedaan Umroh Reguler dan Umroh Plus Turki, Mana yang Cocok untuk Anda?

Verified by MonsterInsights