Hanya beberapa ahli sufi dari ribuan yang ada di dunia yang kita kenal. Salah satunya adalah Ibnu Hazm, yang dikenal bukan hanya sebagai seorang sufi besar, tetapi juga sebagai seorang penulis. Ia adalah seorang ulama yang sangat mahir dalam berbagai bidang. Dia ahli dalam fikih, tafsir, usul fikih, hadis, kalam, sastra, dan sejarah.
Ia pernah memegang posisi penting di Kementerian Kerajaan Andalusia, seperti ayahnya, Ahmad bin Said. Namun, karena kezuhudannya, ia meninggalkan posisi tersebut dan berkonsentrasi pada beribadah kepada Allah SWT dan terus menulis dan mengajar.
Ibnu Hazm bukan hanya seorang ulama sufi. Dia adalah seorang ulama yang mulia dengan karir intelektual yang luar biasa. Sebagian besar orang tahu Ibnu Hazm adalah seorang penulis yang sangat produktif. Dikatakan tulisannya berjumlah lebih dari empat ratus jilid dan mencakup total delapan puluh ribu halaman.
Di antara beberapa karya-karya Ibnu Hazm yang sangat dihormati adalah Al-Milad wa al-Ahwa wa al-Nihal; Muhalla; Jamharah al-Ansab; Al-Nasikh wa al-Mansukh; Hujjah al-Wada; Diwan Syi’r; Rasail ibn Hazm; Al-Ihkam li Ushul al-Ahkam; Ibthal al-Qiyas wa al-Ra’; Mudawat al-Nufus, dan lain sebagainya.
Anda tahu! Pada awalnya, Ibnu Hazm adalah pengikut dari Mazhab Maliki, yang pada saat itu merupakan mazhab utama di Andalusia, akan tetapi kemudian ia sempat berpindah ke Mazhab Syafi’i, yang sangat populer di Mesir.
Alih-alih berpindah ke Mazhab Syafi’i, pada akhirnya ia membuat keputusan untuk kembali ke Mazhab Zhahiriyah, yang ia pegang sampai akhir hayatnya. Dari sini tak keliru jika dikatakan bahwa Ibnu Hazm adalah sang pencari kebenaran dan tidak fanatik terhadap satu mazhab tertentu.
Sufistik ala Ibnu Hazm
Suatu waktu Ibnu Hazm pernah berkata, “Cintaku padamu, abadi sepanjang zaman. Tak lebih, tak kurang oleh alasan. Cintaku tak beralasan, kecuali keinginan mencinta. Cintaku tak bersebab yang dimengerti manusia. Jika cintamu tak beralasan selain ia yang kau cinta. Maka ia nyata, tak kan lenyap selamanya. Jika cintamu digerakkan oleh suatu alasan, maka ia akan sirna bersama sirnanya alasan.”
Sekurang-kurangnya, pernyataan Ibnu Hazm ini adalah ekspresi cinta yang tulusnya kepada Allah SWT. Bagaimana tidak! Ia terus-menerus menyatakan cintanya kepada Allah Swt. dan tidak pernah hilang. Pun, demikian tidak ada alasan untuk cintanya kecuali keinginan untuk sekadar mencintai. Karena itu, dia berpendapat bahwa cinta kepada Allah Swt. tidak boleh didasarkan pada sesuatu.
Ibnu Hazm secara khusus mengajak kita untuk larut dalam cinta-Nya yang agung. Sebagai manusia, kita harus hidup dalam cinta-Nya. Cinta kita kepada-Nya harus murni, tidak termotivasi, dan tulus.
Tentu saja tidaklah mudah untuk memiliki cinta seperti itu. Sebab, seringkali kita tertawan oleh cinta yang berbeda, seperti dunia, wanita, harta, dan lainnya. Cinta kita kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Agung, sering kali diabaikan. Nah, akibatnya, kehidupan kita menjadi tidak sehat dan penuh dengan kesedihan dan kesedihan. Karena kita telah membagi cinta kita kepada sesuatu selain-Nya tanpa kita sadari.
Cinta kepada selain-Nya adalah cinta yang tidak semestinya jika kita sudi melihat ke dalam hati kita. Cinta tidak pantas bagi kita untuk mencintai sesuatu yang fana, karena cinta itu sendiri abadi. Jadi, kita hanya harus mencurahkan cinta kita kepada Zat yang Abadi, Allah SWT. Dialah satu-satunya zat yang paling pantas menerima cinta kita.
Ingatlah bahwa Allah SWT adalah Zat yang sangat cemburu; Dia cemburu saat kita menduakan-Nya dengan selain-Nya, dan karena kecemburuan inilah Dia tanpa keraguan akan memberikan siksa atau azab kepada siapa pun yang menduakan-Nya. Dengan kata lain, siapa pun yang menduakan cinta-Nya akan mengalami kesengsaraan dan kesengsaraan. Dalam surah Al-Baqarah ayat 165, Allah SWT. berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَشَدُّ حُبًّا لِّـلّٰهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْۤا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ ۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًا ۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah [2]: 165).
Tanda cinta selalu ada. Mata adalah tanda pertama. Mata merupakan pintu gerbang jiwa; melaluinya, pesan dan kedalaman jiwa dapat diungkap. Dengan melihat melalui mata, segala yang rumit menjadi mudah dipahami dan yang buram menjadi jelas.
Sangat sering kita menyaksikan mata orang yang jatuh cinta tidak pernah berpaling dari objek yang dicintainya, meskipun hanya untuk waktu yang singkat. Orang yang jatuh cinta selalu mengikuti gerak orang yang dicintainya.
Tidak hanya itu, semua tindakannya selalu mengarah pada pandangan sang pujaan tercinta. Banyak hal yang ada di luar selain orang yang dia cintai menjadi tidak penting. Kehadiran orang lain tidak lagi diharapkan.
Demikian juga bagi mereka yang mencintai Allah SWT. Kehadiran makhluk lain, meskipun menarik, tidak akan mampu menarik perhatian orang yang sangat mencintai-Nya. Ia akan menikmati hanya melihat keindahan-Nya.
Orang yang hanya mencintai Allah SWT. akan betah berlama-lama melihat-Nya. Mereka bahkan akan merasa cukup hanya untuk berbicara dengan-Nya. Mereka tidak akan pernah merasa kekurangan apa pun.
Selain itu, dia tidak lagi tertarik dengan kenikmatan dan kemewahan dunia karena Allah SWT. telah menggantikannya dengan kenikmatan dan kemewahan “jamuan”-Nya. Akibatnya, cintanya melebur dalam dirinya sebagaimana manis yang selalu ada pada madu.
Oleh karena itu, orang yang mencintai-Nya pasti akan terus melakukan lebih banyak tindakan baik. Dengan melakukan tindakan itu, ia menemukan bahwa Allah SWT. berada di sana, dan ia ingin mengingat-Nya setiap saat. Ia akan mencurahkan hidupnya sepenuhnya kepada Allah SWT, bukan kepada orang lain. Wallahu a’lam bisshawab.