KeislamanSejarah

Sejarah Kekuasaan Dan Politik Di Mekah

8 Mins read

Kuliahalislam.com-Mekah merupakan kota suci umat Islam, tempat berdirinya Ka’bah tempat umat Islam melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun kelima Islam dan tempat kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, disebut juga dengan “Bakkah” ( seperti pada Q.S 3;96) atau Umm al-Qura ( seperti pada Q.S 6:92 dan Q.S 42:7).

Mekah terletak kira-kira 330 meter di atas permukaan laut, 38’28’ Bujur Timur dan 21’27’ Lintang Utara. Kota itu merupakan Lembah kering, yang dikelilingi gunung-gunung karang yang tandus. Panjang Lembah itu dari Barat ke Timur lebih kurang 3 KM dan lebar di utara ke selatan kurang lebih separuhnya.

Di sebelah timur, Lembah itu dibentengi oleh Gunung Abu Qubais (Jabal Abu Qubais), di sebelah selatan dibatasi oleh Gunung Abi Hadidah (Kudai) dan Gunung Khudamah, sedangkan di sebelah utara dibatasi oleh Gunung al-Falj, Gunung Qaiqa’an, Gudung Hindi, Gunung Lu’lu dan Gunung Kada yang merupakan gunung tertinggi. Di Gunung Kada inilah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam beserta kaum muslimin memasuki kota Mekah dalam peristiwa Fath Makkah (Penahlukan Mekah) pada bulan Muharram.

Mekah menjadi tempat persinggahan para kafilah mengadakan perjalanan antara Yaman di sebelah selatan dan syam di sebelah utara. Dahulu, untuk memasuki Kota Mekah hanya ada tiga jalan melalui tiga celah yaitu celah Utara di kaki Gunung al-Falj, celah sebelah barat menuju Laut Merah celah sebelah selatan menuju Yaman.

Dalam sejarah Islam, sebagaimana disebut-sebut dalam ayat suci Al-Qur’an, kota ini dikenal sejak zaman Nabi Ibrahim Alaihissalam dan putranya Nabi Ismail Alaihissalam (Q.S 2:124-129). Menurut ayat-ayat Al-Qur’an tentang keberadaan Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Nabi Ismail Alaihissalam dan cerita-cerita Bani Israil yang diterima dan dijadikan sumber para ahli Tafsir, penduduk Mekah ataupun Hedzjaz, bahkan Semenanjung Arab pada umumnya berasal dari keturunan Nabi Ismail.

Mula-mula Ismail Alaihissalam menikah dengan gadis dari kabilah Jurhum tetapi karena istrinya itu kurang menghormati Ibrahim Alaihissalam, ayahnya itu menyarankan agar istrinya diceraikan. Maka kemudian Ismail menceraikan istrinya dan menikah dengan putri Muzaz bin Amr, seorang tokoh kabilah Jurhum. Dari istrinya ini Nabi Ismail mempunyai 12 orang anak. Diantara keduanya itu ada yang disebut dengan kaum Ad dengan nabi yang diutus kepada mereka bernama Nabi Hud.

Menjelang kedatangan agama Islam, semula penduduk Mekah mengaku sebagai keturunan Quraisy atau Fihr atau an-Nadir. Namun demikian mereka terbagi-bagi dalam beberapa kabilah. Yang paling berpengaruh adalah Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Naufal, Bani Zuhra, Bani Asad, Bani Ta’im, Bani Makhzum, Bani ‘Adi, Bani Djamah, dan Bani Sahm. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam berasal dari Bani Hasyim. Kabilah-kabilah yang mula-mula menjadi pengikut Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah Bani Ta’im ( kabilah Abu Bakar As Siddiq) dan Bani ‘Adi ( Kabilah Umar Bin Khattab).

Mekah sebelum Islam tidak disebut-sebut sebagai suatu kerajaan melainkan sebagai tempat tinggal suku-suku Quraisy, yang sewaktu-waktu pada musim panas pindah ke Syam dan pada musim dingin Ke Yaman. Tetapi waktu itu telah ada pengaturan tentang tugas-tugas yang menyangkut ibadah dan sosial kemasyarakatan.

Kira-kira 2 abad sebelum Hijrah jabatan itu dipegang oleh Qusay bin Kilab, kakek kelima Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang bertanggung jawab atas urusan Hijabah ( memegang kunci pintu Ka’bah), Siqayah ( mengawasi mata air zamzam), Rifadah ( menyediakan makanan bagi para tamu), Nadwah ( memimpin rapat antara suku), Liwa’ ( mengatur panji-panji perang), dan Qidayah ( memimpin pasukan perang jika harus terjadi perang).

Beberapa literatur menggambarkan bahwa salah satu daya tarik Mekah bagi para kafilah dagang yang mengadakan perjalanan jauh dari sumur Zamzam. Semua itu sudah ada sejak Sayyidah Hajar ( istri Nabi Ibrahim) yang mencari-cari air di bukit Safa dan Bukit Marwah. Kemudian sumur itu disempurnakan oleh Muzaz bin Amr, mertua Nabi Ismail Alaihissalam.

Sampai beberapa waktu menjelang hijrah tahun 622, Mekkah tidak mempunyai pelabuhan meskipun letaknya dekat dengan Laut Merah. Ketika umat Islam hijrah pertama kali ke Abessinia, Shu’aiba yang merupakan seorang muslim asal Abessina, berlabuh di pantai yang kemudian disebut dengan Jiddah.

Beberapa orang pedagang lainnya kemudian ikut singgah ke tempat tersebut. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam hijrah ke Madinah, rute dagang antara Mekah dan Syam diputus oleh umat Islam di Yatstib (Madinah). Baru pada masa Khalifah Usman bin Affan, Jiddah dibangun menjadi pelabuhan untuk Mekah.

Tetapi orang-orang musyrikin Quraisy di Mekah tidak mempunyai pikiran untuk membangun pelabuhan di tepi Laut Merah. Oleh karena itu praktis pusat perdagangan pindah ke Madinah. Rute dagang dari timur (Cina dan India) yang biasanya melalui Yaman-Hedzjaz, beralih pindah ke Teluk Persia ke Yatsrib, kemudian ke Syam dan Palestina.

Pada tahun 8 H, Mekkah dikuasai kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Peristiwa itu terkenal dengan Fath Mekkah. Sejak tahun 9 H, kaum muslimin tidak diperkenankan lagi tinggal di Mekah sesuai dengan firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram, sesudah tahun ini (9 H), Q.S 9 :28”.

Setelah peristiwa Fath Mekkah, Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tetap tinggal di Madinah sampai wafatnya. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, juga Mekkah tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan tetap di Madinah. Kendati demikian, mereka tetap memperhatikan pembangunan kota itu. Misalnya, pada masa Khalifah Umar Bin Khattab dan Utsman bin Affan, membangun semacam tanggul untuk menahan limpahan lumpur yang menggenangi sekitar Ka’bah pada waktu hujan.

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, kota ini mendapatkan perhatian. Muawiyah memperbaiki bangunan Ka’bah, mendirikan bangunan-bangunan serta mengadakan pertanian di sekitar kota Mekah, menggali sumur sumur air dan pembangun Bendungan untuk penampungan air.

Pada masa Marwan bin Hakam, Mekah menjadi kota yang menyenangkan, tempat bertemunya para penyair di samping tempat melakukan ibadah haji setiap bulan Dzulhijjah. Rencana pembangunan Masjidil Haram dalam bentuk bangunan yang melindungi Ka’bah dilakukan oleh Khalifah al-Walid I (86-97 H/705-715 M). Untuk keperluan ini dipekerjakan arsitek- arsitek Kristen dari Suriah dan Mesir.

Pada masa Yazid I (61-64 H/680-683 M), Abdullah bin Zubair di Mekah tidak mau mengadakan baiat kepada Yazid dan dengan dukungan penduduk Mekah dia menyatakan diri sebagai khalifah. Gerakan Abdullah bin Zubair ini ditumpas oleh Hajjaj bin Yusuf. Ibnu Zubair dan pendukungnya membuat markas di Masjidil Haram. Ka’bah ketika itu mengalami kerusakan karena Manjanik ( ketapel berapi) pasukan al-Hajjaj, tetapi Ibnu Zubair dapat dikalahkan.

Pada tahun 744, kaum khawarij dari Yaman mengadakan pemberontakan ke Mekah tetapi 2 tahun itu juga dapat dipatahkan oleh pasukan Khalifah Marwan II (127-133 H/744-750 M). Ketika Daulah Dinasti Abbasiyah berdiri pada tahun 750 M, pusat pemerintahan berada di Baghdad. Tetapi dua tanah suci yaitu Mekah dan Madinah tetap menjadi perhatian para khalifah. Terkadang Mekah dan Thaif dijadikan suatu wilayah di bawah satu Gubernur sementara Madinah tersendiri.

Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid (170-194 H/786-809 M), setiap khalifah melakukan ibadah haji sampai 9 kali. Khalifah itu selalu membagikan kekayaan di kota suci Mekkah. Tetapi perlakuan ini menimbulkan efek samping tidak baik bagi penduduk Mekah, mereka menjadi terbiasa mengharapkan pemberian hadiah setiap harinya.

Pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), di Mekah terjadi lagi pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Alawiyin ( pengikut Ali Bin Abi Thalib) di bawah pimpinan Husein al-Attas dan Ibrahim bin Musa, yang pengaruhnya meliputi Mekkah, Madinah dan Yaman. Mereka mengadakan kerusuhan di bagian barat dan sempat mencuri barang-barang berharga di dalam Ka’bah. Begitu kuatnya pengaruh kaum Alawiyin di Mekah sampai-sampai Khalifah Al-Ma’mun mengangkat dua orang Gubernur Mekah dari kalangan Alawiyin.

Wafatnya Khalifah Al Ma’mun merupakan awal kemunduran Daulah Abbasiyah. Di kota suci Mekkah pun banyak terjadi kekacauan. Sulitnya makan dan mengakibatkan kelaparan bagi bagi para penduduknya. Ketika itu kaum Awaiyin mendapat dukungan dari Dinasti Hasaniyah di Tabaristan (Iran). Di Mekah, dua orang pengikut Hasaniyah yaitu Ismail bin Yusuf dan saudaranya Muhammad bin Yusuf merasa mendapat dukungan dari terbentuknya dinasti itu. Dua orang bersaudara itu mengadakan kerusuhan di Madinah dan Mekah.

Kemudian muncul pula kaum Qaramitah ( kelompok syiah radikal) yang mengadakan kekacauan di Mekah. Pada tahun 317 H/929 M, 1.500 orang pasukan Qaramitah memasuki Mekah dan membantai banyak penduduk sipil tidak berdosa, mencuri Hajar Aswad dan membawanya ke Bahrein. Hajar Aswad itu baru direbut lagi dan dikembalikan ke tempatnya semula di sudut luar dinding Ka’bah pada tahun 951.

Pada tahun 960-1200, Hedzjaz yang meliputi Haramain dan sekitarnya dikuasai oleh kaum Alawiyin. Yang ada hubungan darah dengan Ali Bin Abi Thalib melalui Hasan dan Husein bin Ali Bin Abi Thalib yang diberi gelar Syarif. Kedudukan Hedzjaz di bawah para Syarif adalah sebagai Duwailah (dinasti kecil) gaya yang otonom dan mempunyai hubungan diplomatik dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir dan pemerintahan Baghdad yang ketika itu di bawah pengaruh Dinasti Buwaihi. Ketiga dinasti itu pengikut Syiah tetapi berlainan sekte.

Dalam masa kurang lebih dua setengah abad itu Mekah diperintah sejumlah Syarif. Dari Dinasti Musawi (keturunan Musa) empat Syarif yaitu Ja’far (961-980), Isa (980-994), Abu al-Futuh (994-1039 M), dan Syukr (1039-1061). Kemudian pemerintahan dikuasaioleh Sulaiman, saudara Musa tetapi dia hanya memerintah tahun 1061 M, karena digeser oleh Abu Hasyim Muhammad yang mendirikan Dinasti Hawasyim (1063-1200 M). Para penguasa Dinasti Hawasyim tidak begitu dikenal kecuali Abu Hasyim Muhammad sendiri.

Hubungan para Syarif dengan Dinasti Dinasti tetangganya tidak selamanya baik. Misalnya, pada tahun 976, Mekah menolak untuk hormat kepada khalifah Fatimiyah di Mesir. Maka Fatimiyah mengepung Mekah dan memutuskan semua pengiriman barang dari Mesir. Akhirnya Makkah tunduk kepada Dinasti Fatimiyah, dalam hal kebutuhan terutama makan, Mekah sangat tergantung kepada Mesir.

Dalam keluarga para Syarif juga sering terjadi rebutan pengaruh. Ketika Syarif Syukur tidak meninggalkan pengganti, timbul kerusuhan yang dilakukan oleh Banu Syaibah yang masih satu keluarga dengan Alawiyin. Mereka mengambil barang-barang dari Ka’bah untuk keperluan sendiri.

Dalam keadaan demikian, tampil penguasa Yaman yaitu As-Sulaihi untuk mengamankan kota Mekah. Melihat adanya campur tangan dari Yaman, keluarga Syarif mengusulkan beberapa calon Syarif kepada as-Suhaili yang kemudian menunjuk Abu Hasyim Muhammad (1063-1094), anak Musa dan saudaranya Syarif Ja’far.

Tetapi pilihan Ini mendapat tantangan dari pamannya sendiri yaitu Syarif Sulaiman. Pertikaian ini dimenangkan oleh Abu Hasyim Muhammad yang kemudian membentuk Dinasti Hawasyim.

Pemerintahan Syarif Abu Hasyim bukanlah pemerintahan yang simpati. Ia kurang memelihara hubungan baik dengan Dinasti Fatimiyah dan Dinasti Salajiqah yang ketika itu sedang menguasai Baghdad. Para jamaah haji di kota suci sering mendapatkan gangguan dari orang-orangnya. Sebagai contoh pada masa penggantinya, rombongan jamaah haji dari Spanyol di bawah pimpinan Ibnu Jubair, yang berkunjung ke Mekkah tahun 1183 dan 1185 menulis laporan tentang suasana kekacauan kota suci sebagaimana dia saksikan sendiri.

Dinasti Hawasyim hilang pengaruhnya dari Mekah ketiga Dinasti Ayubiyah menggantikan kedudukan Dinasti Fatimiyah di Mesir dan menguasai beberapa bagian dari Asia dekat seperti Syam dan semenanjung Arab bagian Barat. Sementara itu di Baghdad, Bani Seljuk mengambil alih kekuasaan Dinasti Buwaihi.

Pada tahun 1200-1788, Mekkah dikuasai oleh Syarif Katada dan keturunannya sampai kaum Wahabi menguasai kota suci itu. Katada adalah salah seorang keturunan Musa yang merupakan nenek moyang Dinasti Musawi dan Dinasti Hawasyim. Mula-mula dia tinggal dan memantapkan pengaruhnya di Yanbu’, sebuah kota pelabuhan kecil di luar Mekah. Dengan bantuan anaknya bernama Hanzala, dia menguasai Mekah ketika orang Mekah sedang menjalankan umroh dan memperingati perbaikan bangunan Ka’bah yang dilakukan Abdullah bin Zubair, serta memperingati peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Munculnya Katada berarti Mekah kembali kuasai oleh para Syarif.

Katada ingin Hedzjaz menjadi daerah otonom bebas dari pengaruh kekuatan politik manapun. Mula-mula dia memperlihatkan rasa bencinya terhadap penguasa Dinasti Ayubiyyah. Dia juga membangkitkan kemarahan Khalifah Abbasiyah di Baghdad dengan perlakuan tidak simpati terhadap jemaah haji dari Irak. Tetapi khalifah di Baghdad memperlakukannya dengan kepala dingin. Khalifah di Baghdad malah mengundang Katada ke Baghdad namun undangan itu tidak pernah dipenuhi. Ia wafat dalam pembantaian massal atas keluarganya yang dilakukan anaknya sendiri yaitu Hasan, dalam upaya melepaskan diri dari kemungkinan adanya saingan.

Dalam keadaan kacau itu, Mas’ud menempatkan seorang jenderalnya sebagai gubernur Mekah dalam rangka membatasi pengaruh Syarif. Tetapi Tak lama kemudian kekuasaan kembali ke tangan para Syarif dengan dukungan penguasa Yaman sebagai benteng untuk melawan Dinasti Ayubiyyah.

Pada pertengahan abad ke-13, dunia islam dilanda kekacauan. Kota Baghdad di bumi hanguskan oleh bangsa Mongol pada tahun 1258 M. Di Mesir, Dinasti Ayubiyyah dikalahkan oleh Dinasti Mamluk. Sultan Baibars (1260-1277), membiarkan Mekah dikuasai para Syarif namun tetap di bawah pengawasannya. Para Syarif ingin melepaskan diri dan melakukan perlawanan terhadap Dinasti Mamluk.

Hingga abad ke-18 Mekkah dikuasai oleh Syarif Katada dan keturunannya secara berturut-turut. Pada pertengahan abad ke-18 muncul gerakan pemurnian akidah Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M). Syekh Muhammad Abdul Wahab melakukan pemurnian aqidah yang lama-lama menjadi gerakan politik setelah Muhammad bin Saud dan putranya yaitu Abdul Aziz Ibnu Saud memperkuat gerakan itu yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabi.

Pada tahun 1773 gerakan itu sempat menduduki kota Riyadh. Pada tahun 1802 gerakan ini menyerang Karbala dan menghancurkan kubah Husein bin Ali Bin Abi Thalib. Kemudian Madinah diserang dan hiasan-hiasan di atas kuburan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dihancurkan karena dianggap Bid’ah. Kemudian gerakan itu juga menyerang Mekah dan menurunkan Kiswa Ka’bah yang juga dianggap sebagai Bid’ah. Kota Mekah dan Madinah berada di bawah kekuasaan gerakan ini pada tahun 1804 dan 1806.

Kekacauan di Mekkah dan Madinah mencemaskan Sultan Mahmud II dari Dinasti Turki Usmani yang kemudian memerintahkan Muhammad Ali Pasya yang sedang berkuasa di Mesir menumpas gerakan Wahabi. Pada tahun 1813, gerakan Wahabi dapat dipadamkan oleh pasukan Muhammad Ali Pasya.

Tetapi pada permulaan abad ke-20 gerakan ini bangkit kembali. Pada bulan September 1924, Sultan Nejd yaitu Abdul Aziz Ibnu Saud menduduki kota Ta’if. Bulan berikutnya dia menduduki Mekkah. Raja Husain II (Syarif terakhir) diasingkan ke aqobah kemudian ke Cyprus pada bulan Mei 1925 dan anaknya Ali mengundurkan diri ke Jiddah. Mekah dan Madinah dikuasai sepenuhnya oleh Ibnu Saud pada bulan Desember 1925.

Semenjak Januari 1926, Abdul Aziz Ibnu Saud resmi menjadi raja di Semenanjung Arab. Sejak saat itu negaranya disebut dengan Arab Saudi dan penguasanya merupakan keluarga kerajaan raja Saud. Teologi negara itu menganut wahabis sedangkan fiqihnya menganut mazhab Hambali. Hingga kini pemerintah Arab Saudi terus meningkatkan prasarana dan sarana kota Makkah menjadi kota modern.

172 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanSejarah

Mu'awiyah Pendiri Bani Umayyah

4 Mins read
Mu’awiyah bin Abu Sufyan lahir di Mekah, 602 dan wafat di Damaskus, Rajab 60 H/680 M. Dia adalah bangsawan Quraisy, pendiri dan…
KeislamanPendidikan

Hakikat Mukminat Menurut Ahli

2 Mins read
Mukminat bentuk jamaknya dari kata “Mukmin” yang artinya mungkin atau boleh, lawan katanya pasti, harus atau wajib. Dalam ilmu kalam, alam (…
Keislaman

Apa Hukum Berbicara? Ini Jawaban Imam Abi Zakaria An-Nawawi dan Imam Al-Ghazali

2 Mins read
Pada dasarnya, dalam pandangan syariat Islam, segala sesuatu yang tidak dilarang secara spesifik hukumnya adalah mubah atau boleh. Prinsip ini berlaku juga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights