KeislamanPendidikan

Sejarah Dan Kebudayaan Minangkabau

5 Mins read

Kuliahalislam.Minangkabau merupakan nama lain untuk keresidenan Sumatera Barat, meliputi wilayah yang kini merupakan provinsi Sumtera Barat dan provinsi-provinsi di sekelilingnya antara lain provinsi Riau dan Jambi.

Sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, wilayah-wilayah perantauan mereka di luar Sumatra tersebar atau berbagai daerah di kepulauan Nusantara dan juga di Semenanjung Malaka khususnya di daerah yang kini dikenal sebagai Negara Bagian Negeri Sembilan di Malaysia.

Orang Minangkabau menganggap daerah yang terletak diantara Gunung Merapi, Gunung Singgalang dan Gunung Sago sebagai pusat kebudayaan Minangkabau dan tempat asal nenek moyang mereka yang dikenal dengan sebutan Darek (darat).

Pemukiman yang dianggap tertua di wilayah Darek ini terletak di sekitar tiga Luhak (mata air) di daerah yang sekarang merupakan Kabupaten Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota. Selain daerah asal ini, terdapat wilayah perantauan yang disebut “Pasisie (pesisir)” yang terletak di daratan rendah. Penduduk daerah pesisir ini dikatakan berasal dari Darek.

Pembagian antara Darek dan Pasisie ini pada dasarnya merupakan kategorisasi budaya orang Minangkabau dalam melihat daerah tempat tinggal mereka, bukan pembagian wilayah secara administratif. Orang Minangkabau pada umumnya beragama Islam.

Sangat jarang terdengar orang Minangkabau yang menganut agama lain, juga mereka yang tinggal di daerah rantau dan terbuka terhadap berbagai lingkungan sosial yang beraneka ragam suku bangsa dan agamanya. Sejarah tentang masyarakat, kebudayaan dan agama orang Minangkabau pada abad-abad awal Masehi sangat sedikit diperoleh.

Sebagian besar informasi tentang masyarakat dan kebudayaan Minangkabau pada masa itu berasal dari cerita-cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun secara lisan dalam bentuk Tambo (Babad) dan Kaba (prosa berirama yang dapat didendangkan). Bukti-bukti tersebut secara tertulis sangat sulit diperoleh.

Prasasti di Batusangkar tahun 1357 menceritakan tokoh Adityawarman yang beragama Buddha, yang kemudian mendirikan Kerajaan Pagarruyung. Di samping itu, dari Tambo Minangkabau dikisahkan tentang dua orang tokoh peletak dasar pembentukan suku-suku di Minangkabau dan corak adat istiadat mereka yaitu Datuk Ketamanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Diantara berbagai versi Tambo, riwayat kedua tokoh itu sebagai peletak dasar pembagian dua laras ( dasar pemerintahan menurut adat) masyarakat Minangkabau (Bodi-Caniago dan Koto-Piliang) dikaitkan dengan eksistensi tokoh Adityawarman tersebut.

Demikian pula dikisahkan tentang konsistensi antara sistem pemerintahan di bawah kekuasaan raja yang bersifat sentralistik di Pagarruyung dan sistem pemerintahan di bawah kekuasaan Dewan Nagari yang bersifat demokratis di luar Kerajaan Pagarruyung.

Kerajaan Pagarruyung terus berlanjut, meskipun pada masa-masa tertentu hilang data sejarahnya. Pada awal pendirian oleh Adityawarman disebutkan tentang pemelukan agama Buddha oleh raja dan mungkin oleh sebagian rakyatnya. Kerajaan ini kemudian menganut agama Islam pada pemerintahan Sultan Alif, sekitar pertengahan abad ke-16 meskipun pengaruh Islam diperkirakan sudah ada di Minangkabau pada masa sejauh sebelumnya.

Setelah periode Sultan Alif, di atas sejarah orang Minangkabau hilang kembali selama sekitar setengah abad dan muncul lagi pada tahun 1650 dengan disebutkannya tentang pemerintahan Sultan Achmad Syah. Untuk waktu yang lama, sistem pemerintahan di Minangkabau dilandasi oleh konsistensi antara tiga unsur pimpinan yaitu Yang Dipertuan Raja Alam di Pagarruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Adat di Sumpur Kudus.

Tiga sistem ini sering dikenal dengan sebutan “Tali Sepilin Tigo”, yang sekarang menandakan kerja sama antara unsur pemerintahan, unsur adat dan unsur agama Islam. Pada abad ke-17 agama Islam makin berkembang antara lain terlihat dari pembangunan pusat agama Islam di Pariaman.

Pada abad berikutnya makin banyak pesantren yang didirikan. Sejumlah ahli agama Islam dan lulusan pesantren merantau Arab Saudi khususnya ke Mekah untuk melanjutkan pendidikan agama Islam. Sebagian dari mereka kemudian menetap selamanya di tanah suci dan sebagian lainnya kembali ke Minangkabau dan mendirikan pesantren.

Sejarah pembaharuan pengajaran agama Islam dimulai ketika pada tahun 1803, tiga orang haji pulang membawa ide tentang pemurnian agama Islam yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Luhak Agam, Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Lima Puluh Kota, dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik, Luhak Tanah Datar.

Pada saat itu cara hidup orang Minangkabau banyak diwarnai dengan unsur-unsur adat atau kebiasaan yang kurang sesuai, bahkan bertentangan dengan agama Islam yang murni seperti halnya menyambung ayam dan berjudi. Ketiga tokoh dan pengikut mereka menetapkan identitas diri antara lain berjubah putih, memelihara janggut, tidak merokok dan tidak makan sirih.

Mereka juga menekankan pelaksanaan prinsip kekerabatan dan hukum waris menurut ajaran Islam yang bersifat patrilineal. Aktivitas para ulama ini melahirkan gerakan Paderi (Perang Paderi). Ajaran para ulama tentang pemurnian agama Islam ini memperoleh tantangan dari kaum adat yang ingin mempertahankan prinsip kekerabatan dan hukum adat yang bersifat matrilineal. Kegagalan kaum adat dan kaum agama untuk mengatasi konflik bahkan berakhir dengan terbunuhnya kaum bangsawan di Pagarruyung oleh kaum Paderi dan keruntuhan kerajaan itu pada tahun 1809.

Periode antara tahun 1804-1821 merupakan masa kemenangan Gerakan Paderi. Namun campur tangan Belanda setelah keruntuhan feodalisme Minangkabau atas permintaan kaum adat, juga berakhir dengan tertangkapnya pemimpin gerakan Paderi yaitu Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1837 membuat terhentinya gerakan pemurnian agama Islam.

Adat istiadat lama kembali dianut dan tarekat-tarekat kebatinan di berbagai daerah Minangkabau muncul. Salah satu tarekat yang kemudian menjadi terkenal dan banyak pengikutnya hingga pergantian abad ini adalah tarekat Naksyabandiyah yang masuk ke Minangkabau pada tahun 1850.

Pada tahun 1860, di Mesir muncul gerakan untuk memerangi kebodohan umat Islam yang digagas oleh ide-ide Syekh Muhammad Abduh (1849-1905). Gerakan tersebut bertujuan agar umat Islam tidak terus-menerus dijajah dan ditindas bangsa Eropa.

Pengaruh ide kemajuan dan memerangi kebodohan ini sampai pula ke daerah Minangkabau yang dibawa oleh tiga tokoh ulama Minangkabau yaitu Syekh Muhammad Jamil, Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad yang belajar agama Islam di Mekah. Meskipun ketika di kota suci Islam ini mereka bertiga menjadi murid Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama Minangkabau yang merantau ke Mekah pada tahun 1876 dan berhasil mencapai kedudukan tertinggi sebagai Imam Masjidil Haram dalam Mazhab Syafi’i, mereka tidak dilarang untuk membaca tulisan-tulisan Syekh Muhammad Abduh mengenai pembaharuan dan kemajuan itu.

Mereka kemudian mendirikan sekolah-sekolah yang tidak sekedar memberikan pelajaran agama Islam melainkan juga pendidikan ilmu pengetahuan umum dan membaca huruf latin. Pada masa itu, Belanda menguasai daerah Minangkabau setelah jatuhnya Gerakan Paderi dan menindas rakyat melalui tanam paksa kopi. Sementara itu aliran-aliran tarekat kebatinan makin berkembang pesat di Minangkabau.

Dalam perkembangannya muncul dua kelompok yaitu Kaum Tua dan Kaum Muda. Kaum Tua dianggap berpandangan kolot, dan ketat terhadap adat dan aliran kebatinan sedangkan Kaum Muda membawa dan menerima kemajuan serta menolak ajaran-ajaran tarekat tersebut.

Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, masuknya ide-ide pembaharuan dan kemajuan ini memberikan pengaruh terhadap diterimanya sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum sampai ke daerah-daerah yang luas di wilayah yang kini termasuk provinsi Sumatera Barat bahkan hingga ke pelosok-pelosok desa.

Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya tersedia bagi anak laki-laki melainkan juga bagi anak perempuan. Gerakan-gerakan yang mempunyai peranan dalam pemurnian agama Islam maupun lembaga-lembaga dan organisasi pembaharuan pemikiran dan kemajuan Islam yang mendorong perubahan sosial budaya yang terkait dengannya dalam kurun waktu sekitar abad hingga awal abad ke-20 ini antara lain adalah Gerakan Paderi, Sekolah Adabiah, Surau Jembatan Besi yang berkembang menjadi organisasi Sumatera Thawalib.

Di lain pihak, untuk pendidikan pelajar putri adalah Madrasah Diniyah Putri yang berkembang dari Sekolah Diniyah untuk putra dan putri. Walaupun dinilai ada dan agama pernah terlibat dalam pertentangan di masa lalu, lambat laun orang Minangkabau upaya untuk mencari keselarasan dalam melaksanakan sistem budaya Islam dan sistem budaya matrilineal. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai contoh pemanfaatan dan sistem pewarisan harta pencarian didasarkan pada hukum Islam Sedangkan untuk harta pusaka berpedoman pada prinsip matrilineal.

Perubahan sosial yang didorong oleh ide-ide kemajuan, pada dekade awal abad ke-20 ini terlihat dari meningkatnya minat untuk memperoleh pendidikan spesialisasi seperti ilmuwan, ahli hukum dan ahli bahasa. Meskipun demikian, aspek tertentu dari budaya tradisional yang berlandaskan prinsip matrilineal tetap dipertahankan.

Ide kebersamaan, termasuk musyawarah untuk mencapai mufakat, mencerminkan nilai yang terdapat dalam adat Minangkabau maupun dalam budaya Islam. Kebersamaan ini tercermin dari isi pantun, pepatah dan peribahasa Minangkabau demikian pula pada motif-motif kain tenun dan relief ukiran kayu pada Rumah Gadang.

Simbol-simbol dalam kebudayaan materi Minangkabau menggambarkan pula penerapan kedua sistem budaya ini. Misalnya, tiga buah lumbung yang merupakan perangkat dari Rumah Gadang orang Minangkabau untuk menyimpan padi bagi keperluan konsumsi para anggota kerabat matrilineal yang berdiam di rumah gadang dan yang pulang dari rantau serta untuk membayar zakat dan beramal sesuai ajaran agama Islam.

Demikian pula peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan individu Minangkabau, yang biasanya dirayakan atau diperingati dengan pelaksanaan upacara adat tidak saja terdiri dari peristiwa lingkaran hidup individu, khususnya kelahiran dan perkawinan melainkan juga pelaksanaan aqiqah dan peristiwa khataman Al-Qur’an.

Minat orang Minangkabau yang besar terhadap perantauan dan terhadap pendidikan agama Islam dan ilmu pengetahuan telah pula melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau dalam berbagai bidang ilmu yang menonjol peranannya pada awal dan pertengahan abad ke-20 ini. Mereka antara lain adalah KH Agus Salim, Mohammad Hatta, Moh. Natsir, Mohammad Nazir Dt. Pamuncak, Sutan Syahrir, HAMKA, Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar,Rahman Tamim, Bahder Djohan dan banyak lainnya.

153 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanSejarah

Sejarah Suku Quraisy Di Arab

5 Mins read
Kuliahalislam. Kuraisy (Quraisy) merupakan sebuah klan Arab yang sangat berpengaruh sebelum dan sesudah Islam, kabilah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Menurut bahasa,…
Keislaman

Menjaga Kerukunan Bangsa

3 Mins read
Sebagai umat Islam yang tinggal di Indonesia, kita harus selalu bersyukur kepada Allah SWT. karena berkat rahmat-Nya kita dapat hidup di negara…
Keislaman

Pembuktian Otentisitas Al-Qur’an dari Perspektif Teologis

2 Mins read
Keotentikan Al-Qur’an, dari sudut pandang teologis, merupakan salah satu pilar utama keyakinan Islam (Siregar, et.al, 2024). Dalam perspektif teologis, Al-Qur’an diyakini sebagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights