KULIAHALISLAM.COM – Dalam artikel jurnal ini penulis membahas tentang Teisme (Agama) dalam Filsafat Barat. Dan kemudian pembahasannya ini mengenai peran kontribusi oleh tokoh-tokoh di masa lalu yang pada akhirnya membentuk sejarah tentang Agama.
Pembahasan artikel jurnal ini dimulai dari masa kejayaan Kristen. Ketika Kekristenan bangkit menjadi agama dominan di Kekaisaran Romawi yang kala itu sedang mengalami kemunduran, intelektual menjadi tugas utama dalam doktrin Kristen yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Yunani yang mana itu merupakan pewarisan filosofis.
Namun, banyak warisan dari filsafat Yunani menjadi tidak dapat diakses oleh para pemikir Kristen, dan juga tidak dapat dipertahankan, terutama dalam menghadapi semangat intelektual dunia Islam.
Dari dunia Muslim, yang dipertahankan adalah warisan filosofis, kemudian kembali ke masa kehidupan intelektual Kristen sekitar waktu munculnya universitas, dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan filosofis yang berlanjut hingga hari ini.
Kemudian pembahasan selanjutnya datang dari dunia Muslim yang menghasilkan sejumlah besar filosof yang terjadi di antara abad ke dua belas dan abad ke delapan belas. Sementara para filsuf Muslim ini kebanyakan dari Persia, berpusat di sekitar Baghdad, ada juga beberapa dari wilayah yang lebih jauh kerajaan Muslim, di Afrika Utara dan Spanyol Selatan.
Mungkin beberapa tokoh yang paling berpengaruh besar filosof Muslim adalah: Al Kindi (870 M), Al Farabi (870-950 M), Avicenna (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111) M), dan Averroes (1126-1198 M).
Al Kindi adalah seorang cendekiawan yang memainkan peran kunci dalam transmisi bahasa Yunani filsafat dunia Islam. Dia menerjemahkan banyak teks kunci ke dalam bahasa Arab, dan mengembangkan kosakata filosofis Arab yang diambil alih oleh banyak orang penerus.
Apalagi upayanya untuk memasukkan Aristotelian dan neo-Platonis doktrin-doktrin ke dalam filsafat Muslim dianggap baik secara luas. Begitu juga dengan Al Farabi seorang cendekiawan, terkenal karena upayanya membuat silogisme Aristotelian dapat diakses oleh mereka yang hanya berbicara bahasa Arab.
Meskipun dia mengenalkan Aristoteles atau bagaimanapun doktrin neo-Aristotelian, dia berpendapat bahwa konsep Aristoteles tentang Dunia Gerak membutuhkan suplemen Neo-Platonis, untuk membuatnya sejalan dengan konsepsi tentang Tuhan yang disediakan dalam Perjanjian Lama.
Avicenna (biasa dikenal Ibnu Sina) adalah pemikir kritis lain, mungkin paling terkenal karena kontribusinya obat. Dia berusaha memberikan bukti keberadaan Tuhan berdasarkan miliknya pandangan metafisik tentang perbedaan antara keberadaan dan esensi.
Avicenna memegang pandangan kontroversial bahwa penyelidikan filosofis tanpa bantuan menghasilkan tepat kebenaran tentang keberadaan dan sifat Tuhan, penciptaan dunia, nasib manusia, dan sebagainya kebenaran yang mungkin hanya tersirat secara samar tulisan suci.
Al Ghazali memberikan orientasi yang berbeda secara signifikan terhadap filsafat Islam. Dia adalah seorang kritik skeptis dan tajam terhadap pandangan para pendahulunya (dalam, misalnya, The Inkoherensi Para Filsuf). Sufismenya yang sistematis kurang berutang warisan dari orang-orang Yunani, meskipun beberapa ide Avicenna mendapat tempat di dalamnya ‘occasionalisme’.
Averroes adalah polimatik filosofis Muslim besar terakhir. Dia menanggapi lampiran Al Ghazali pada Aristotelianisme dengan The Incoherence of the Incoherence, di yang menurutnya argumen Al Ghazali tidak baik, dan memang benar menyerang seorang pria jerami.
Averroes membalikkan klaim Avicenna bahwa esensi mendahului keberadaannya, dan mengembangkan buktinya sendiri tentang keberadaan Tuhan pada alternatif ini dasar. Mungkin yang paling kontroversial, Averroes berpendapat bahwa teologi adalah subordinat untuk filsafat, karena hanya yang terakhir dapat menghasilkan pengetahuan demonstratif.
Pembahasan yang tidak kalah menarik berikutnya adalah mengenai Agama di era kontemporer yang mana dalam pakaian modernteisme terbuka ide-ide ini yang melibatkan penolakan terhadap beberapa atribut yang mana secara karakteristik dianggap berasal dari Tuhan yang bersifat intrinsik di Abad Pertengahan: kesederhanaan, kekekalan, keabadian, dan sebagainya.
Tentu saja, biasanya teisme Kristen lebih dari garis besar singkat ini mengungkapkan; namun, tujuan dari penulis jurnal di sini hanyalah untuk membuat sketsa beberapa sejarah diskusi filosofis komitmen Kristen untuk teisme.
Sejarah dari diskusi filosofis tentang komitmen Kristen terhadap doktrin semacam itu di Trinitas dan Inkarnasi adalah topik yang sama sekali berbeda, jauh di luar jangkauan bab ini.
Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari artikel jurnal Graham Oppy ini memberikan gambaran kepada para pembaca mengenai sejarah Agama yang berkembang di masalalu dengan menghadirkan dan membandingkan sudut pandang yang berbeda-beda di setiap zamannya, mulai dari perspektif Kristen, dunia Muslim dan beberapa pembahasan yang intinya Agama muncul itu berawal dari doktrin, rasa ingin tahu, kemudian iman.
Berawal dari masalah intelektual manusia yang kian hari makin berkembang yang mengakibatkan kebangkitan sains dan agama sama-sama berjalan.
Nah, ketika manusia lebih mengunggulkan nilai rasionalitas daripada spiritualitas, maka yang ada manusia tidak lagi percaya adanya Tuhan, dari sini agama-agama baru muncul dan terbentuk, ada yang teisme, ada yang ateisme, dan beragam lagi kepercayaan yang dibangun lewat masalah-masalah yang muncul.
Kelebihan atau Kekurangan
Berbicara masalah kelebihan dan kekurangan dari artikel jurnal ini adalah yang pertama kita bisa tahu perspektif tiap-tiap sudut pandang yang berbeda dari tokoh-tokoh perkembangan agama di masanya, kemudian yang menjadi kekurangan ketika tidak begitu bisa menafsirkan bahasa Inggris, maka akan terasa sulit memahami teks yang disampaikan pada jurnal ini.
Nama : Mohammad Hayyi Syafwan Husna
Link : https://www.academia.edu/23446306/Western_Philosophy
Judul Jurnal : Theism in Western Philosophy
Penulis : Graham Oppy
Nama Web yang diakses : Academia.edu
Tahun : 2010