Penulis: Niyla’afiy Saniya*
Sejak zaman dahulu, masyarakat Bali sangat lekat dengan agama dan kebudayaan Hindu. Oleh karena itu, di Bali terdapat banyak kerajaan Hindu yang berdiri kokoh dan termasyhur. Salah satu dari banyak kerajaan tersebut adalah Kerajaan Badung yang berpusat di Puri Agung Denpasar atau Puri Agung Pemecutan. Keraton ini dinamakan Puri Agung Pemecutan karena didirikan oleh seorang Raja Badung VI bernama I Gusti Ngurah Made Pemecutan yang berasal dari Denpasar, Bali.
Jro Mangku I Made Puger, seorang juru kunci makam Raden Ayu Siti Khatijah mengisahkan bahwa salah satu Raja Pemecutan memiliki seorang putri yang bernama Gusti Ayu Made Rai. Raja Pemecutan ini sangat menyayangi dan memanjakan putri satu-satunya itu karena anak-anaknya yang lain merupakan laki-laki. Ia rela mengorbankan apa pun demi anak gadisnya.
Di sisi lain, Gusti Ayu Made Rai ini mengidap suatu penyakit kuning atau yang sekarang biasa disebut dengan hepatitis. Seiring berjalannya waktu, ayahnya pun mendatangkan banyak balian atau dukun untuk menyembuhkan penyakitnya. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil mengobati sang putri.
Raja Pemecutan pun mempunyai inisiatif untuk bersemedi agar memperoleh pawisik. Setelah melakukan semedi, sang raja membuat sebuah sayembara demi kesembuhan putrinya. Sang raja pun mewartakan pada masyarakat Pemecutan bahwa barang siapa mampu menyembuhkan Gusti Ayu Made Rai dari penyakitnya, maka apabila dia seorang perempuan akan dijadikan saudara dan apabila dia seorang laki-laki akan dijadikan suami sang putri.
Sayembara ini pun terdengar oleh seorang ulama yang berasal dari Yogyakarta. Kemudian ulama ini langsung memanggil muridnya yang merupakan Raja Madura bernama Pangeran Cakraningrat IV untuk menaklukkan sayembara tersebut. Setelah menerima permintaan dari gurunya, Pangeran Cakraningrat IV pun langsung bergegas berangkat menuju Puri Agung Pemecutan di Denpasar bersama para pengawalnya.
Sesampainya di Puri Agung Pemecutan, Pangeran Cakraningrat IV ini pun langsung menemui Raja Pemecutan dan meminta izin untuk mengobati Gusti Ayu Made Rai. Setelah diberi izin, Pangeran Cakraningrat IV pun langsung menemui putri Raja Pemecutan dan mencoba menyembuhkannya. Satu minggu setelah pengobatan, Raden Ayu Made Rai tiba-tiba sembuh total dan bisa beraktivitas seperti manusia normal lainnya.
Beberapa hari kemudian, terjadilah pernikahan antara Pangeran Cakraningrat IV dan Gusti Ayu Made Rai di istana Pemecutan secara adat Hindu sebagai balasan atas jasa Raja Madura tersebut. Setelah resmi menjadi seorang istri, Gusti Ayu Made Rai pun diboyong ke Madura dan dinikahkan kembali secara adat Islam. Setelah semua prosesi upacara pernikahan selesai, Gusti Ayu Made Rai pun langsung memutuskan masuk agama Islam dan menjadi seorang mualaf. Di saat ini lah beliau berganti nama menjadi Raden Ayu Siti Khatijah.
Tiga tahun berselang, Raden Ayu Siti Khatijah pun kembali ke Puri Agung Pemecutan untuk memenuhi undangan di istana sekaligus mengobati rasa rindunya kepada seluruh keluarganya. Beliau menaiki perahu ditemani 40 pengawalnya namun tanpa didampingi oleh suaminya. Sesudah sampai di Denpasar, beliau langsung memasuki Puri Agung dan menyuruh para pengawalnya untuk tinggal di sebuah taman kerajaan bernama Monang Maning.
Raden Ayu Siti Khatijah pun menginap beberapa hari di Puri Agung Pemecutan. Di karenakan beliau seorang muslimah, maka di suatu maghrib Raden Ayu Siti Khatijah melaksanakan ibadah salat maghrib. Hal itu pun diketahui oleh seorang patih Puri Agung Pemecutan.
Sang patih pun melaporkan hal ini kepada Raja Pemecutan dan tanpa disangka sang raja sangat murka. Raja Pemecutan pun meminta sang patih untuk membawa putrinya ke kuburan Badung dan menyelesaikannya di sana. Namun tanpa disadari, Raden Ayu Siti Khatijah sudah tahu dengan tujuan apa ia dibawa ke tempat tersebut. Beliau pun berucap kepada sang patih bahwa ia tidak akan mati jika dibunuh dengan senjata tajam karena sudah dibekali sebuah senjata ampuh oleh sang suami berupa sebuah tusuk konde. Kemudian beliau pun melepaskan tusuk konde tersebut dan memberikannya pada sang patih.
Raden Ayu Siti Khatijah memberitahu bahwa apabila sang patih ingin membunuhnya, maka lemparkan tusuk konde tersebut ke dadanya. Benar saja, ketika tusuk konde tersebut dilempar dan mengenai dada kiri putri Pemecutan, beliau langsung meninggal saat itu juga. Sebelum kejadian itu, sang putri sudah berpesan pada sang patih jika dari dadanya keluar asap berbau busuk maka ia boleh dikuburkan di mana saja. Namun sebaliknya, apabila dari dadanya keluar asap berbau harum maka beliau meminta dibuatkan tempat suci untuk peristirahatan terakhirnya.
Ternyata setelah beliau wafat, dari dadanya benar muncul aroma yang sangat wangi. Kemudian di malam itu juga, jasad Raden Ayu Siti Khatijah disalatkan oleh 40 pengawalnya dan dimakamkan di kompleks kuburan Badung tersebut. Setelah selesainya prosesi pemakaman, sang patih pun langsung melaporkan apa saja yang terjadi pada sang raja. Raja Pemecutan pun sangat menyesal, terlebih setelah bau yang sangat wangi tersebut tercium sampai menembus tembok Puri Agung Pemecutan.
Kemudian, kakek dari juru kunci makam Raden Ayu Siti Khadijah yang merupakan pengatur keuangan kerajaan pada saat itu pun diamanati oleh Raja Pemecutan untuk menjaga makam tersebut secara turun temurun. Keesokan hari setelah pemakaman dilakukan, saat sang juru kunci hendak membersihkan area makam, tiba-tiba terdapat sebuah pohon yang tumbuh persis di tengah makam Raden Ayu Siti Khatijah dan tidak dapat dipindahkan sama sekali.
Setelah berupaya memindahkan pohon tersebut beberapa kali, sang juru kunci pun memperoleh mimpi dari sang putri bahwa pohon yang tumbuh tersebut merupakan pohon yang berasal dari rambutnya. Karena hal ini lah pohon tersebut dinamakan pohon rambut.
Walaupun kisah mengenai Raden Ayu Siti Khatijah belum terlalu dikenal masyarakat, tetapi sosok beliau patut dijadikan teladan karena berani mengambil risiko apapun bahkan kematian demi mempertahankan imannya kepada Allah SWT. Saat ini, banyak dari wisatawan religi yang menjadikan makam Raden Ayu Siti Khatijah sebagai salah satu tujuan singgahnya.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Editor: Adis Setiawan