Artikel

Pluralisme Menurut Gus Dur

3 Mins read


Penulis: Maulyna Putri Sulaksono*

Sosok Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang mendukung Islam progresif, yakni Islam yang inklusif, demokratis, pluralis, dan toleran. Di mata Gus Dur, pluralisme adalah sebuah pandangan yang menghargai dan mengakui adanya keragaman identitas, seperti suku, agama, budaya, ras, dll. 

Pluralisme bukanlah ide yang ingin menyamakan semua agama sebagaimana yang selama ini sering dituduhkan, karena setiap agama tentu memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Pluralisme, demikian Gus Dur, tidak seharusnya menjadi sumber konflik, melainkan seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk memahami anugerah Tuhan agar tercipta toleransi dan harmoni di tengah kehidupan.

Gus Dur sering menganalogikan konsep pluralisme yang ia miliki ibarat sebuah rumah besar yang terdiri atas banyak kamar dan setiap orang memiliki kamarnya sendiri-sendiri. Saat di dalam kamar, setiap orang dapat merawat dan menggunakan kamarnya serta berhak melakukan apapun di dalam kamarnya. 

Namun ketika berada di ruang tamu atau ruang keluarga, maka setiap penghuni kamar wajib melebur untuk menjaga kepentingan rumah bersama. Semua penghuni kamar wajib bekerjasama merawat, menjaga, dan melindungi keseluruhan bagian rumah tersebut. 

Ketika terjadi serangan dari luar, maka mereka tanpa mempermasalahkan asal kamar harus bersatu melawan para penyerang yang ingin merusak keberadaan rumah tersebut. Bila dihubungkan dalam konteks negara, maka seluruh warga negara yang menjadi penghuni rumah NKRI wajib merawat, menjaga, dan melindungi rumah besar NKRI yang telah dibangun di atas pondasi Pancasila dan keragaman identitas primordial.

Sejauh ini, ada banyak umat Islam yang menjadi alergi ketika mendengar istilah pluralisme, khususnya setelah keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme karena dianggap sebagai sesuatu yang asing dalam Islam, untuk tidak mengatakan sebagai produk pemikiran Barat. 

Baca...  Jual Beli Online Bentuk Muamalah di Era Modern dalam Perspektif Fikih

Namun Gus Dur membantah hal tersebut, karena baginya pluralisme adalah sebuah sunnatullah atau keniscayaan yang tak bisa dielakkan. Lanjutnya, pluralisme adalah sebuah desain Tuhan agar manusia dapat saling mengenal dan saling belajar satu sama lain agar dapat saling melengkapi dan menyempurnakan. Dengan kata lain, siapapun yang mengutuk pluralisme, maka sama saja ia telah mengutuk Tuhan, sang pencipta keragaman di muka bumi ini.

Untuk memperkuat gagasan pluralisme-nya, Gus Dur sering mengutip salah satu ayat dari Alquran sebagai landasan teologisnya, yakni Surat Al Hujuraat [49]: 13: “Wahai manusia, sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling kenal-mengenal…” (QS. Al-Hujuraat/49: 13). 

Gus Dur tak sekadar memaknai ayat tersebut secara tekstual, namun ia melangkah lebih maju dengan mengelaborasi pemaknaan ayat tersebut. Menurutnya, redaksi ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada kaum muslim, melainkan juga ditujukan secara tegas kepada seluruh umat manusia agar mereka dapat menjunjung tinggi kesetaraan dan mengedepankan dimensi kemanusiaan dalam segala urusan. 

Gus Dur meyakini bahwa ajaran yang dibawa oleh Islam adalah ajaran yang sempurna, dalam arti bahwa Islam telah menetapkan berbagai prinsip umum secara lengkap dan komprehensif agar dapat menjadi acuan dan panduan bagi manusia dalam menjalankan seluruh aktivitas kehidupan. 

Gus Dur juga meyakini bahwa Islam adalah sebuah agama atau ajaran yang memuat nilai-nilai luhur dan universal yang selalu cocok dengan berbagai situasi dan kondisi. Untuk itu, dalam setiap kesempatan, Gus Dur selalu menekankan pada umat Islam agar tidak menjadikan perbedaan sebagai bencana, melainkan sebagai sebuah anugerah dan kekuatan yang harus disyukuri untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. 

Baca...  Loloan Desa Islam Pertama di Bali

Menurutnya, perbedaan bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, yang dilarang oleh agama adalah lahirnya perpecahan dan perselisihan akibat adanya perbedaan. Untuk memperkuat pandangannya, Gus Dur sering mengutip QS. Ali Imran [3]: 103 yang ia terjemahkan: “Berpeganglah kalian kepada tali Tuhan dan secara keseluruhan serta jangan terpecah-pecah dan saling berselisih.” 

Selain mengutip ajaran Alquran dalam menyebarkan gagasan pluralisme, Gus Dur juga menggunakan Pancasila sebagai landasan filosofis terhadap gagasannya tersebut. Menurutnya, Pancasila tak seharusnya dipertentangkan dengan Islam karena isi Pancasila sangat sejalan dengan nilai-nilai luhur Islam. 

Dengan kata lain, Pancasila adalah bentuk pembumian ajaran Islam (pribumisasi Islam) dalam konteks keIndonesiaan. Pancasila di mata Gus Dur adalah sebuah ikhtiar politik yang sangat visioner oleh para pendiri bangsa karena orientasinya sangat jauh ke depan. Pancasila adalah suatu jalan tengah (kompromi) antara sekularisme dan formalisme agama (Islam) .

Gus Dur sendiri adalah tokoh yang anti terhadap sekularisme, yang dipahami sebagai paham yang menolak keberadaan agama, karena ia merupakan individu yang sangat mencintai keyakinan dan tradisi agamanya. Di sisi lain, ia juga konsisten menolak bentuk formalisme agama karena hal tersebut akan mereduksi makna agama hanya sebatas kepentingan ideologis dan platform politik yang sifatnya sempit. 

Selain itu, formalisme agama juga rentan terhadap praktik diskriminasi yang menempatkan kaum non-muslim sebagai warga kelas dua.  sehingga akan bertentangan dengan prinsip persamaan yang dijunjung tinggi oleh ajaran Islam.

Selain melandaskan gagasan pluralismenya pada Alqur’an dan Pancasila, Gus Dur juga menggunakan konstitusi sebagai landasan legal-formal terhadap gagasannya tersebut. Menurutnya, sudah saatnya hukum menjadi panglima dalam setiap pengambilan keputusan karena Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. 

Baca...  Viralisme: Algoritma Membentuk Kita? Atau Kita yang Membentuknya?

Hukum seharusnya berfungsi sebagai pelindung bagi seluruh warga negara tanpa pandang bulu. Untuk itulah Gus Dur kerap mengkritik berbagai pihak yang sering melegalkan aksi kekerasan atas nama agama karena bersandarkan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Fatwa MUI, demikian Gus Dur, bukanlah sesuatu yang bersifat legal dan mengikat karena lembaga ini bukanlah lembaga hukum. Oleh karena itu, hendaknya fatwa yang dikeluarkan MUI, cukup sekedar menjadi pendapat internal kelembagaan agama saja dan tak lebih dari itu. Menjadikan fatwa sebagai dasar hukum untuk menghakimi suatu kelompok tidaklah relevan di Indonesia karena negara ini bukanlah negara yang berlandaskan pada hukum agama tertentu.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Prodi Studi Agama-agama.

Editor: Adis Setiawan

2366 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Artikel

Tidak Bisa Mengetik di Word karena "Selection is Locked", Ini Solusinya!

2 Mins read
Kompak – Salah satu masalah yang sering ditemui pengguna Microsoft Word adalah pesan “Selection is Locked” yang muncul saat mencoba mengetik atau…
Artikel

Ingin Rumah Lebih Sejuk? Coba Roster Jogja dari AM Roster

4 Mins read
Mendapatkan rumah yang sejuk merupakan impian bagi setiap orang, terutama di negara tropis seperti Indonesia. Salah satu cara untuk menciptakan suhu udara…
Artikel

Sekolah Bisnis Online dan Konsultan Feasibility Study: Meningkatkan Kualitas Bisnis di Era Digital

4 Mins read
Pendahuluan Di era digital yang terus berkembang, memulai dan mengelola bisnis bukan lagi hal yang sulit. Teknologi internet memberikan akses ke berbagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights