Penulis: Launien Nadhira*
KULIAHALISLAM.COM – Immanuel Kant, seorang filsuf besar dari abad ke-18, menggagas pemikiran revolusioner yang membawa perubahan mendasar dalam dunia filsafat. Dalam upayanya untuk memperbaiki kelemahan rasionalisme dan empirisme, Kant memperkenalkan filsafat transendental atau kritisme.
Dengan tegas, ia menolak pandangan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui akal budi atau pengalaman empiris belaka. Sebaliknya, Kant mengusulkan bahwa pengetahuan yang sejati adalah hasil sintesis antara akal budi dan pengalaman empiris.
Filsafat transendental, yang diberi nama oleh Kant sendiri, menuntun kita untuk tidak hanya memfokuskan perhatian pada objek, tetapi juga untuk memahami objek melalui cara yang bersifat apriori. Namun, perlu dicatat bahwa Kant tidak bermaksud untuk membawa filsafat ini ke wilayah metafisik di luar batas dunia yang dapat kita alami. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa filsafat transendental dimaksudkan untuk memahami hal-hal dalam batas-batas pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
Kant melawan dogmatisme yang telah mengakar dalam pemikiran filsuf sebelumnya, terutama setelah terinspirasi oleh karya Hume yang mendunia, “Of Human Nature”. Kant menyadari bahwa selama ini disiplin metafisika telah lupa akan keterbatasan rasio manusia dalam memahami realitas sejati. Inspirasi dari karya Hume membuatnya menyadari bahwa gagasan metafisika tidak dapat dibenarkan karena bersifat apriori dan tidak berasal dari kesan-kesan indrawi (aposteriori).
Meskipun ia mengikuti langkah Hume dalam meragukan metafisika, Kant tetap terus mengkritisi lebih jauh. Ia menjadi filsuf pertama yang mendalam menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio manusia, berbeda dengan filsuf sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio tanpa penyelidikan mendalam.
Hume membuatnya sadar akan ketidakmungkinan membuktikan ide-ide metafisika, namun Kant, dengan kepemimpinannya, tetap berharap akan adanya pengetahuan metafisika sebagai bagian integral dari pengetahuan manusia.
Bagi Kant, pengetahuan bukanlah sekadar hasil pengalaman semata, melainkan merupakan hasil dari sintesis antara pengalaman dan konsep. Indra manusia menyadari objek, dan dengan pengetahuan yang dimiliki, manusia membentuk pengertian tentangnya. Proses pengetahuan ini melibatkan persepsi, imajinasi, sensibilitas, dan pemahaman yang saling berinteraksi.
Kant menjelaskan dua elemen kunci dalam proses pengetahuan. Pertama, ia berbicara tentang ruang dan waktu sebagai intuisi apriori murni. Dua elemen ini bersifat absolut, terlepas dari dan mendahului impresi-impresi indrawi. Kedua, Kant menciptakan konsep untuk mengkategorikan pikiran, menentukan cara manusia memahami realitas. Ruang, waktu, dan konsep menjadi alat bagi manusia untuk memahami dunia.
Pemikiran Kant dalam filsafat kritisme dibagi menjadi tiga kritik utama. Pertama, kritik atas rasio murni, yang dijelaskan secara rinci dalam karya monumentalnya, “The Critique of Pure Reason”. Di dalamnya, Kant membahas kebenaran metafisika sebagai cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan sebagai pengetahuan itu sendiri.
Kant meragukan kemampuan metafisika dalam memperoleh pengetahuan murni dan apriori. Melalui karyanya ini, Kant membuktikan bahwa meskipun pengetahuan tidak dapat menandingi pengalaman, terdapat pengetahuan yang bersifat apriori atau berasal dari penalaran, tidak serta merta dari pengalaman.
Kant menyimpulkan bahwa metafisika tidak bisa dianggap sebagai ilmu pengetahuan, tetapi bisa dianggap sebagai disposisi alamiah. Menurutnya, rasio menggabungkan semua putusan kognitif pikiran manusia, mencoba membenarkan kecenderungan alamiahnya untuk bertindak dengan cara menghasilkan metafisika.
Dengan demikian, rasio sampai pada batas-batas pengetahuan manusia. Kant berpendapat bahwa apakah Tuhan itu ada atau tidak, dan apakah keabadian jiwa dapat dibuktikan, merupakan pertanyaan yang melampaui batas pengetahuan.
Kedua, kritik atas rasio praktis dijelaskan dalam karya “The Critique of Practical Reason”. Kant ingin membuktikan adanya rasio praktis murni dalam diri manusia dan mengkajinya untuk memahami bagaimana pengetahuan moral terjadi.
Bagi Kant, semua yang ada di semesta ini berperilaku sesuai dengan hukum-hukum tertentu. Namun, hanya makhluk yang rasional yang dapat mengatur kehendak perilakunya berdasarkan konsepsi hukum.
Contohnya, manusia dapat memutuskan untuk melompat dari ketinggian atau tidak, dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh makhluk dengan rasionalitas. Rasio manusia memberikan dorongan, tetapi rasio praktis murni menciptakan daya pengendali dan merancang tujuan aksi manusia. Hukum moral inilah yang pada akhirnya dipahami oleh rasio manusia.
Imanuel Kant memiliki pandangan kritis terhadap pengetahuan tentang supersensibiltas, hal ini dilakukan untuk menjaga ruang keimanan. Baginya, dogmatisme metafisika telah merusak moralitas manusia sebagai agen moral.
Argumen tradisional metafisika mengenai jiwa, keabadian, dan Tuhan menurutnya telah melewati batas kemampuan manusia. Dengan berbekal rasio, Kant mencoba melawan bukti intelektual kebenaran dan keberadaan Tuhan. Baginya, manusia hanya dapat mengetahui tiga bukti keberadaan Tuhan, yaitu bukti ontologis, krosmologis, dan fisika-teologis.
Kesimpulannya, kontribusi Immanuel Kant membuka perspektif baru dalam memahami sifat pengetahuan dan moralitas manusia. Dengan filsafat transendentalnya, ia membawa filsafat ke era baru yang lebih kritis, menantang keyakinan dogmatis, dan meresapi batas-batas rasio manusia.
Meskipun kontroversial dan dihadapi kritik dari beberapa filsuf, pemikiran Kant tetap menjadi pijakan penting dalam sejarah filsafat, merintis jalan untuk pemikiran lebih lanjut tentang hubungan antara akal budi, pengalaman, dan moralitas.
*) Penulis saat ini sedang menempuh pendidikan S1 Psikologi di Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Editor: Adis Setiawan