Oleh: Mohammad Hayyi Syafwan Husna, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
KULIAHALISLAM.COM – Ketika mendengar kalimat “Menyucikan Jiwa” mungkin kebanyakan orang berpikirnya; orang-orang yang bertaubat, orang-orang yang alim, orang-orang saleh.
Itu semua tidaklah salah, tetapi secara garis besar ketika kita mendengar istilah ‘Tasawuf’ maka esensinya seperti judul yang telah disebutkan di atas; “Menyucikan Jiwa”.
Tasawuf sendiri adalah cara kita untuk dapat sedekat mungkin dengan Allah, yaitu dengan cara menyucikan jiwa terlebih dahulu.
Sebelum menuju tahapan jiwa yang suci maka seseorang yang sedang bertasawuf akan memulai langkah-langkahnya dengan cara bertaubat, menyesali semua perbuatan dosa yang pernah ia lakukan.
Dan berusaha menjadi pribadi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya sehingga ketika seseorang terbiasa menerapkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari maka hasil akhirnya ia sudah dapat menyucikan jiwanya.
Pada dasarnya jiwa ini memanglah suci, jiwa menjadi kotor karena kesalahan atau perbuatan dosa yang dibuat oleh insan itu sendiri. Manusia mempunyai hakikat unsur yang ada pada dirinya, yakni ada tiga unsur, (akal atau pikiran, tubuh, dan yang terakhir jiwa).
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna, untuk itulah mengapa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, karena hanya manusia saja yang dibekali dengan akal atau pikiran.
Kemudian berbicara tentang jiwa ibarat kata tugasnya menghidupkan, dan menggerakkan tubuh. Contoh mudanya lagi seperti ini; ibarat Smartphone (gawai) komponennya telah tertanam chipset, memory, intinya sektor mesin yang siap pakai namun, satu hal yang terlewat yaitu ‘battery’.
Smartphone (gawai) bisa menyala, bisa dipakai, itu semua merupakan fungsi adanya battery sebagai sumber daya untuk menghidupkan gawai, maka daripada itu sama halnya dengan jiwa, akal saja tanpa jiwa itu tidak akan bisa hidup dan bergerak pada tubuh manusia.
Di zaman sekarang ini yang mana arus globalisasi semakin kuat, maka dampak yang ditimbulkan adalah pengaruh negatif dan positif. Jika kita tidak bisa menyaring segala informasi yang kita dapat, maka kita bisa-bisa hanyut dalam dampak negatif dari arus globalisasi.
Seperti contoh, menonton film, sekarang kita bisa mengakses atau menonton film sudah sangat mudah tanpa harus pergi ke bioskop, nah yang menjadi masalah di sini adalah jika kita terlena maka kita akan banyak mengabaikan dan membuang waktu sia-sia.
Kita bisa saja menggunakan waktu sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allah SWT, belajar, bekerja dan masih banyak hal-hal positif lain.
Nah bicara dampak negatif sebelumnya, ini masih salah satu contoh, yang lain, seperti game, belanja online di e-commerce, pengaruh doktrin yang banyak disebarkan melalui media sosial, dan masih banyak lagi dampak negatifnya.
Jauh sebelum manusia dilahirkan ke dunia, sebenarnya manusia itu terikat perjanjian dengan Allah, perjanjian ini terjadi pada alam roh (tempat berkumpulnya seluruh jiwa manusia dari yang awal hingga akhir).
Isi perjanjiannya pada intinya adalah para ruh berjanji bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah, tidak menyembah selain Allah, dan tidak meminta atau memohon selain Allah. Lalu, mengapa manusia kemudian ketika lahir ke dunia ingkar akan janjinya? Itulah sifat dasar manusia yaitu lupa.
Nah untuk itulah Allah mengutus para nabi dan Rasul untuk mengingatkan janji itu kepada manusia. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi manusia untuk tidak beriman saat nanti janjinya ditagih di akhirat pada hari kiamat kelak.
Jiwa yang pada awalnya suci bersih kemudian ketika berada di dunia, jiwa manusia itu tidak suci atau kotor dikarenakan dosa-dosa yang manusia perbuat, manusia lupa dengan janjinya sebelum dilahirkan ke dunia.
Karena manusia ini berada di ruang dan waktu, sehingga segala kesalahan segala perbuatan yang manusia lakukan di dunia, mereka merasa bahwa dirinya bebas dan senang ketika memperoleh kebahagiaan.
Di samping itu manusia sebenarnya juga paham bahwa hidup di dunia ini hanya sekali, jadi manusia cenderung menganggap kesenangan di dunia ini harus dimanfaatkan, sehingga hal itulah yang membuat manusia terlena dengan hingar bingar dunia.
Padahal kalau kita sebagai orang yang beriman justru takut, karena dunia ini fana, dunia ini tidaklah kekal, kita hanya sementara hidup di dunia, kebahagiaan yang sejati adalah nanti di akhirat.
Maka dari itu kita sebagai manusia yang tak luput dari lupa, dosa dan kesalahan-kesalahan sudah sepatutnya kita berbenah diri, memperbaiki diri agar jiwa kita ini bisa kembali bersih dan suci.
Ibaratnya kita ini hanya dipinjami wadah (tubuh) dan kita yang sesungguhnya adalah ruh atau jiwa, ketika kita mempergunakan tubuh untuk hal-hal yang buruk, maka otomatis jiwa kita juga akan ikut kotor, begitu pula sebaliknya jika kita mempergunakannya untuk hal-hal yang baik, maka jiwa ini juga akan ikut bersih dan baik pula.
Apa iya? Ketika sudah menjelang ajal jiwa kita masih kotor? Kalau secara logika saja kita seharusnya malu dihadapan Allah SWT, awalnya suci kembali juga harus suci, walaupun tidak semua manusia bisa menerima hal yang baik.
Mungkin lewat artikel ini bisa saling mengingatkan. Jadi jika ditanya, “Perlukah Menyucikan Jiwa?” jawabannya perlu, bahkan kita harus menjaga sikap dan segala perbuatan kita, karena nantinya kita semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.