Tafsir Al-Qur’an memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kesadaran demokrasi, khususnya di masyarakat modern yang semakin kompleks. Tafsir tidak hanya berfungsi sebagai penjelas atas makna teks suci Al-Qur’an, tetapi juga menjadi medium yang relevan untuk menghubungkan nilai-nilai keislaman dengan tantangan zaman.
Dalam konteks demokrasi, tafsir dapat menjadi alat untuk menanamkan nilai-nilai seperti keadilan, persamaan hak, penghormatan terhadap keberagaman, serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Konsep demokrasi, meskipun berasal dari tradisi politik Barat, memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai Islam ketika didekati melalui lensa tafsir yang inklusif dan progresif.
Dengan memanfaatkan tafsir sebagai sarana edukasi, masyarakat modern dapat diberdayakan untuk memahami bahwa Islam mendukung prinsip-prinsip dasar demokrasi yang menjunjung tinggi martabat manusia.
Dalam tafsir, keadilan adalah salah satu tema utama yang sering kali diangkat sebagai inti dari ajaran Islam. Ayat-ayat seperti QS. An-Nisa: 135 yang menyerukan umat manusia untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu dapat ditafsirkan sebagai landasan untuk membangun sistem demokrasi yang adil dan transparan.
Dalam demokrasi, prinsip keadilan ini menjadi elemen kunci untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Tafsir yang menonjolkan aspek keadilan sosial ini dapat menginspirasi masyarakat untuk mendukung kebijakan publik yang inklusif dan berpihak pada kepentingan bersama.
Di sisi lain, tafsir juga dapat memberikan kritik terhadap praktik demokrasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral, seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tafsir progresif semacam ini dapat mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap pemimpin mereka dan aktif dalam mengawasi proses demokrasi.
Selain itu, tafsir juga memainkan peran penting dalam mempromosikan persamaan hak dan penghormatan terhadap keberagaman, yang merupakan pilar utama demokrasi. Ayat-ayat seperti QS. Al-Hujurat: 13 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dari berbagai suku dan bangsa untuk saling mengenal sering kali ditafsirkan sebagai dorongan untuk menerima perbedaan.
Dalam konteks masyarakat modern yang multikultural, tafsir ayat ini dapat digunakan untuk mengajarkan bahwa pluralisme adalah bagian integral dari kehidupan. Demokrasi yang sehat membutuhkan masyarakat yang mampu menerima dan menghargai perbedaan agama, budaya, dan pandangan politik. Dengan tafsir yang inklusif, masyarakat dapat didorong untuk tidak hanya toleran terhadap perbedaan, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam dialog yang konstruktif untuk mencapai konsensus.
Tafsir juga memiliki kemampuan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Demokrasi tidak dapat berjalan tanpa keterlibatan aktif warga negara. Dalam hal ini, tafsir dapat memberikan landasan teologis yang mendukung partisipasi politik sebagai bagian dari tanggung jawab individu terhadap masyarakat.
Konsep amar ma’ruf nahi munkar sering kali ditafsirkan sebagai panggilan untuk berkontribusi dalam upaya memperbaiki masyarakat, termasuk melalui partisipasi dalam proses pemilihan umum, advokasi kebijakan, dan pengawasan pemerintah.
Tafsir ayat-ayat yang mendorong musyawarah, seperti QS. Asy-Syura: 38, juga relevan dalam menguatkan kesadaran bahwa pengambilan keputusan kolektif adalah bagian dari tradisi Islam. Dengan demikian, tafsir dapat menjadi alat untuk menggerakkan masyarakat modern agar lebih aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka di bawah sistem demokrasi.
Lebih lanjut, tafsir berperan sebagai jembatan antara tradisi Islam dan nilai-nilai demokrasi modern yang sering kali dianggap bertentangan. Dalam sejarahnya, ada pandangan yang menganggap bahwa demokrasi tidak sesuai dengan Islam karena berasal dari Barat.
Namun, tafsir yang kontekstual dan adaptif dapat menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebenarnya sejalan dengan ajaran Islam.
Sebagai contoh, tafsir atas ayat-ayat yang mendukung kebebasan berpendapat, seperti QS. Al-Baqarah: 256 yang menegaskan tidak ada paksaan dalam agama, dapat digunakan untuk membangun argumen bahwa Islam mendukung kebebasan berpikir dan berekspresi. Dalam masyarakat modern, kebebasan ini menjadi salah satu fondasi utama demokrasi yang memungkinkan setiap individu untuk menyampaikan pandangannya tanpa takut akan represi.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tafsir juga menghadapi tantangan dalam membangun kesadaran demokrasi di masyarakat modern. Salah satu tantangan utamanya adalah adanya perbedaan pendekatan dalam penafsiran Al-Qur’an.
Tafsir konservatif yang cenderung tekstual sering kali membatasi ruang untuk nilai-nilai demokrasi yang lebih progresif. Misalnya, ada tafsir yang memahami ayat-ayat tentang kepemimpinan sebagai pembenaran untuk sistem hierarkis dan patriarkal yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi modern.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan tafsir yang lebih kontekstual dan inklusif untuk mengatasi tantangan ini. Tafsir yang mempertimbangkan dinamika sosial, politik, dan budaya masyarakat modern dapat menjadi alat yang efektif untuk mengintegrasikan nilai-nilai demokrasi ke dalam kehidupan umat Islam.
Selain itu, peran tafsir dalam membangun kesadaran demokrasi juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk ulama, akademisi, dan lembaga pendidikan. Ulama sebagai otoritas keagamaan memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan tafsir yang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
Mereka dapat menggunakan tafsir untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam demokrasi dan mendorong mereka untuk mendukung kebijakan yang adil dan inklusif. Akademisi juga dapat berkontribusi dengan mengembangkan tafsir yang lebih progresif melalui penelitian dan diskusi ilmiah. Sementara itu, lembaga pendidikan dapat memasukkan materi tentang tafsir yang mendukung demokrasi ke dalam kurikulum mereka untuk membentuk generasi muda yang sadar akan pentingnya nilai-nilai demokrasi.
Di era digital, tafsir juga memiliki peluang besar untuk menjangkau masyarakat modern melalui berbagai platform media. Dengan kemajuan teknologi, tafsir dapat disampaikan dalam bentuk yang lebih interaktif dan mudah diakses, seperti video, podcast, atau artikel online.
Media sosial juga dapat digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan tafsir yang mendukung demokrasi kepada audiens yang lebih luas. Namun, di sisi lain, era digital juga menghadirkan tantangan berupa penyebaran tafsir yang tidak kredibel atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa tafsir yang disampaikan melalui media digital didasarkan pada metodologi yang valid dan didukung oleh otoritas yang terpercaya.
Secara keseluruhan, peran tafsir dalam membangun kesadaran demokrasi di masyarakat modern tidak dapat diremehkan. Tafsir memiliki potensi besar untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi, sehingga menciptakan masyarakat yang adil, inklusif, dan partisipatif.
Melalui pendekatan yang kontekstual dan progresif, tafsir dapat memberikan landasan teologis untuk mendukung demokrasi, sekaligus mengatasi tantangan yang mungkin muncul dalam prosesnya. Dengan demikian, tafsir tidak hanya menjadi alat untuk memahami teks suci, tetapi juga menjadi sarana transformasi sosial yang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
Daftar Pustaka
Izzah, I. (2018). Peran Pendidikan Agama Islam dalam Membentuk Masyarakat Madani. PEDAGOGIK: Jurnal Pendidikan, 5(1), 50-68.
Selpia, E., & Udhiyana, N. (2023). Peran Moderasi Beragama dalam Kehidupan Masyarakat Modern. Islamic Education, 1(3), 365-384.
Huda, F. A. N. (2024). Perempuan dan Kepemimpinan di Ranah Politik: Tinjauan Tafsir Al-Quran di Indonesia Abad 21: Women and Leadership in the Political Sphere: A Review of Quranic Interpretation in 21st Century Indonesia. DIRASAH: Jurnal Kajian Islam, 1(2), 165-177.