Kita sudah tahu bahwa konflik, kekerasan, dan perang dalam tubuh (internal) kaum muslimin masih terus berlangsung, hampir di mana-mana, terutama di negeri-negeri Arab yang mayoritas muslim, sampai hari ini dan di tempat-tempat yang lain di belahan dunia. Perang, perusakan, perampasan hak-hak hidup, dan kehidupan terus berlangsung dan pengingkaran atas ekspresi-ekspresi pikiran terus berhamburan.
Individu dan kelompok muslim yang berpikiran progresif dan menggugat konstruksi pemikiran keagamaan konservatif (mapan) dituduh sesat, kafir dan menghancurkan agama. Mereka tidak mematuhi hukum-hukum Tuhan. Sebagian kelompok itu dituduh “munafik”, sebuah term kafir berkedok dan dengan performa muslim.
Beragam stigma lain dilekatkan kepada mereka; antek barat, sekularis, liberal, sinkretis dan lain-lain. Berbagai term ini dianggap mereka sebagai sepenuhnya negatif, keburukan dan biang kerusakan social, boleh jadi setan-setan gentayangan yang merontokkan keyakinan umat.
Sebaliknya, individu atau kelompok-kelompok progresif menyebut kaum konservatif. Sebuah term orang-orang yang “ngotot” mempertahankan kemapanan pikiran-pikiran kuno dan tradisi-tradisi yang tidak lagi relevan dengan dinamika sosial, politik dan kebudayaan, sebagai orang-orang yang memasung, menghambat dan mematikan sirkuit kehidupan dan kemajuan umat manusia dan bangsa-bangsa.
Dalam hal ini, kaum konservatif yang fanatik buta dianggap orang-orang yang paling bertanggungjawab atas keterpurukan, kebodohan, kemiskinan dan ketidakberdayaan kaum muslimin dewasa ini.
Pertanyaan krusial kita adalah, apakah semua persitiwa saling menghancurkan antar kaum muslimin tersebut benar-benar dialasi oleh benturan-benturan teologis? Mengingat bahwa peristiwa-peristiwa adalah fenomena-fenomena yang selalu bisa ditafsirkan secara ambigu; “hammal awjuh”, mengandung dimensi-dimensi yang beragam. Masing-masing pembaca atau pendengar dapat mengindentifikasi suatu kasus berdasarkan pengalaman, pengetahuan, kecenderungan dan kepentingannya sendiri-sendiri atau masing-masing.
Muhammad Abduh, dalam perdebatannya dengan Farah Anton, pernah mengemukakan fenomena dan pandangan-pandangannya: “Bahwa perang antara kaum salafi, Asy’arian dan Mu’tazilah, sesungguhnya tidak karena motif teologis, meski di antara mereka terdapat perbedaan teologis yang tajam. “Hurub al-Khawarij”, pemberontakan kelompok Khawarij, dan peristiwa penyerangan gerakan Karamitah (Qaramithah) dan lain-lain memang terjadi. Akan tetapi, perang-perang seperti ini sejatinya tidak dipicu oleh perbedaan teologis, melainkan dikobarkan oleh kepentingan-kepentingan politik dalam rangka penguasaan atas rakyat”.
Tak hanya itu, lanjut Abduh, “Begitu juga perang antara Iran yang Syi’ah dan Dinasti Otoman yang Sunny atau kelompok Wahabi di Saudi Arabia terhadap kelompok muslim lain. Banyak orang yang melihat ini sebagai perang atau konflik ideologis, atau teologis, tetapi Abduh mengatakan; “peneliti yang serius akan mudah menemukan bahwa semua perang tersebut adalah perebutan kekuasaan politik.”
Tentu saja, penjelasan Abduh tidak sampai di sini. Ia melihat kekerasan, konflik dan berbagai peristiwa pergolakan dalam dinasti Abbasia ketika mapan. Juga bukan karena motif-motif teologis. Muhammad Abduh (sang pembaru abad 20) itu kemudian mengatakan:
“Tak ada penyakit yang lebih besar yang merasuk dalam tubuh, akal dan semangat kaum muslimin kecuali masuknya orang-orang bodoh (al-Jahalah) ke dalam pemerintahan. “Al-Jahalah”, (secara literal: orang-orang bodoh), dimaksudkan sebagai mereka yang berhati kasar (al-Khusyunah) dan pribadi-pribadi yang sangat arogan (al-Ghatrasah). Mereka tidak mengerti Islam yang benar dan keimanan mereka semu dan tak mendalam.” (Baca: Farah Anton, Ibn Rusyd wa Filsafatuhu, Dar al-Farabi, Beirut, cet. I, 1988, h. 217-218).
Syahdan, Al-Syihristani, seorang teolog besar, ahli perbandingan agama dan penulis buku terkenal; “al-Milal wa al-Nihal” (Agama-agama dan Sekte-sekte), berkata: “Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan masyarakat adalah hal-hal yang tidak dapat dihitung. Adalah pasti bahwa tidak setiap kejadian selalu ada teks (nash). Jika teks-teks adalah terbatas sementara peristiwa kehidupan tidak terbatas, dan yang terbatas tidak mungkin menampung yang tak terbatas, maka upaya-upaya intelektual adalah niscaya adanya.”
Oleh karena itu, upaya-upaya menghidupkan teks-teks fiqh, sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dilakukan oleh umat Islam. Tanpa upaya ini, hukum Islam yang ada pasti akan ditinggalkan, dan dengan begitu umat Islam tak punya pegangan hukum yang memberikan jalan keluar dalam kehidupannya.
Begitupun juga Imam al-Qarafi, bermazhab Maliki, menyampaikan pandangan yang sangat kritikal atas kecenderungan keberagamaan masyarakat yang terus menerus berpegang teguh pada pikiran-pikiran para ulama yang ditulis dalam kitab-kitab, tanpa melihat perkembangan dan dinamika perubahan sosial yang terjadi. Beliau mengatakan:
قال القرافى : “فمهما تجدد فى العرف اعتبره ومهما سقطت أسقطه ولا تجمد على المسطور فى الكتب طول عمرك بل اذا جاءك رجل من غير إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وافته به دون عرف بلدك والمقرر فى كتبك. فهدا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال فى الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين” (الفروق, ج 1 ص 176_ 177)
“Manakala tradisi telah terbarui, maka ambillah. Tetapi manakala ia telah gugur (tak berlaku), janganlah dipakai. Jangan pula engkau terpaku pada apa yang tertulis dalam kitab-kitab sepanjang hidupmu. Bila seseorang datang dari luar daerahmu, meminta fatwa hukum kepadamu, maka janganlah berlakukan hukum yang berlaku di daerahmu. Tanyalah kepadanya tentang tradisi yang berlaku di daerahnya, lalu putuskan berdasarkan tradisinya, bukan tradisimu dan bukan pula berdasarkan apa yang tertulis dalam buku-bukumu. Ini adalah pandangan yang benar. Sikap terpaku hanya pada teks-teks yang ada dalam buku-buku adalah kesesatan yang nyata dalam agama dan ketidakpahaman terhadap tujuan-tujuan para Ulama Islam dan para pendahulu.” Wallahu a’lam bisshawab.