Bahwa perang antara kaum salafi, Asy’arian dan Mu’tazilah, sesungguhnya tidak karena motif teologis, meski di antara mereka terdapat perbedaan teologis yang tajam. “Hurub al-Khawarij”, pemberontakan kelompok Khawarij, dan peristiwa penyerangan gerakan Karamitah (Qaramithah) dan lain-lain memang terjadi. Akan tetapi, perang-perang seperti ini sejatinya tidak dipicu oleh perbedaan teologis, melainkan dikobarkan oleh kepentingan-kepentingan politik dalam rangka penguasaan atas rakyat.
Begitu juga perang antara Iran yang Syi’ah dan Dinasti Otoman yang Sunny atau kelompok Wahabi di Saudi Arabia terhadap kelompok muslim lain. Banyak orang yang melihat ini sebagai perang atau konflik ideologis, atau teologis, tetapi Abduh mengatakan; “peneliti yang serius akan mudah menemukan bahwa semua perang tersebut adalah perebutan kekuasaan politik.
Tak ada penyakit yang lebih besar yang merasuk dalam tubuh, akal dan semangat kaum muslimin kecuali masuknya orang-orang bodoh (al-Jahalah) ke dalam pemerintahan. “Al-Jahalah”, (secara literal: orang-orang bodoh), dimaksudkan sebagai mereka yang berhati kasar (al-Khusyunah) dan pribadi-pribadi yang sangat arogan (al-Ghatrasah). Mereka tidak mengerti Islam yang benar dan keimanan mereka semu dan tak mendalam. (Baca: Farah Anton, Ibn Rusyd wa Filsafatuhu, Dar al-Farabi, Beirut, cet. I, 1988, h. 217-218).
Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan masyarakat adalah hal-hal yang tidak dapat dihitung. Adalah pasti bahwa tidak setiap kejadian selalu ada teks (nash). Jika teks-teks adalah terbatas sementara peristiwa kehidupan tidak terbatas, dan yang terbatas tidak mungkin menampung yang tak terbatas, maka upaya-upaya intelektual adalah niscaya adanya.