Di dalam dunia Islam, konsep wali selalu menjadi topik menarik sekaligus kontroversial. Sebagai sosok yang dipercaya memiliki kedekatan khusus dengan Allah, wali sering kali digambarkan dengan berbagai mitos yang melekat dalam budaya masyarakat. Namun, bagaimana jika pandangan ini ditantang oleh pendekatan yang lebih rasional? Itulah yang dilakukan oleh Muhammad Rashid Rida, seorang pemikir dan mufasir terkenal, melalui tafsirnya yang monumental, Al-Manar. Dalam menafsirkan Surah Yunus ayat 62-64, ia mengkritisi penggunaan hadis-hadis tertentu yang dianggap lemah dan tidak relevan. Artikel ini akan mengupas pandangan Rida yang berani dan menarik, yang tak hanya membuka wawasan baru, tetapi juga mengundang kita untuk berpikir lebih dalam tentang ajaran Islam yang murni.
Wali dalam Lensa Al-Qur’an
Istilah wali dalam Islam berasal dari kata jama’ auliya’, yang berarti kedekatan atau hubungan perlindungan. Dalam al-Qur’an Surah Yunus ayat 62-64 disebutkan,
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ
“Ketahuilah, wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan bertakwa.” Ayat ini menegaskan bahwa wali ialah orang-orang saleh yang hidupnya selalu berpegang teguh pada keimanan dan ketakwaan serta tidak ada unsur mistis atau kekuatan gaib yang ditekankan dalam ayat ini.
Namun, interpretasi ini mulai bergeser di berbagai kalangan umat Islam, terutama pada abad pertengahan yakni zaman setelah kaum salafy. Dimana konsep wali dipahami sebagai makhluk khayalan yang tidak masuk akal, memiliki kekhususan dalam alam gaib dan kekuasaan atas kerajaan langit dan bumi, melebihi semua yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi, dan bahkan melebihi semua deskripsi tentang dewa-dewa dan tuhan-tuhan yang diambil oleh para penyembah berhala dahulu. Hal inilah yang kemudian ditentang oleh Rashid karena sangat menyimpang dari ajaran agama Islam yang rasional.
Kritik Tajam terhadap Riwayat-Riwayat Wali
Melalui kitab tafsirnya, Rashid Ridha menunjukkan bahwa terdapat beberapa hadis yang menjelaskan konsep wali yang isinya meyimpang dari tuntunan ajaran agama Islam. Sebagai contoh, salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
ان من عباد الله عباداً يغبطهم الانبياء والشهداء. قيل من هم یا رسول الله ؟ قال : هم قوم محابوا في الله من غير أموال ولا أنساب… ثم قرأ : ألا إن أولياء الله لاخوف عليهم ولا هم يحزنون.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari guru Abu Hisham Al-Rifa’i, yaitu Muhammad bin Mazid bin Kithir al-Ajli al-Kufi, dimana Imam al-Bukhari menyatakan bahwa beliau melihat serta sepakat atas kelemahan sanadnya. Dalam hadis tersebut juga disebutkan bahwa wali lebih utama dibandingkan para nabi. Pernyataan ini, menurut Ridha sangat bertentangan dengan ajaran Islam karena bagaimana mungkin seorang wali mempunyai posisi lebih tinggi dari Nabi yang notabene sebagai manusia pilihan tertinggi.
Beliau juga menyoroti beberapa riwayat yang berakar dari tradisi tasawuf ekstrem dimana mereka menggambarkan wali sebagai sosok dengan kemampuan ajaib. Dalam beberapa riwayat kisah disebutkan bahwa mereka dapat menghidupkan kembali orang yang mati dan mampu terbang ke langit untuk bertemu dengan malaikat maut. Baginya, kisah-kisah seperti itu lebih banyak menyesatkan daripada memperjelas ajaran Islam.
Pendekatan Rasional Rashid Rida
Salah satu ciri khas pemikiran Rida adalah pendekatan rasional dan ilmiah. Ia percaya bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan akal sehat. Oleh karena itu, Al-Qur’an harus menjadi rujukan utama dalam memahami ajaran Islam, sedangkan hadis hanya sebagai pendukung dan itu pun harus dipilih secara selektif berdasarkan kualitas jalur periwayatan maupun segi matannya.
Rida menggarisbawahi bahwa wali-wali Allah, sebagaimana disebutkan dalam Surah Yunus, adalah mereka yang beriman dan bertakwa dengan tulus. Tidak ada konsep perantara atau kekuatan supranatural dalam definisi tersebut. Ia juga menegaskan akan pentingnya memahami ayat Al-Qur’an dalam konteks sejarah dan prinsip tauhid, sehingga terhindar dari bias budaya.
Melawan Mitos Wali Supranatural
Mitos tentang wali sering kali menempatkan mereka pada posisi yang hampir “dewa”. Mereka digambarkan mampu mengendalikan alam, mengetahui hal-hal gaib, atau bahkan memiliki hak istimewa di akhirat. Dalam banyak kasus, cerita-cerita ini digunakan untuk mendukung hierarki tertentu dalam masyarakat atau sekadar menarik perhatian.
Rida menganggap pandangan ini sebagai penyimpangan yang berbahaya. Ia menuding tradisi tasawuf ekstrem sebagai sumber utama dari mitos-mitos ini. Baginya, penggambaran wali seperti itu tidak hanya bertentangan dengan prinsip tauhid, tetapi juga berpotensi membawa umat pada keyakinan yang melenceng, seperti syirik terselubung.
Pesan Penting untuk Zaman Modern
Pemikiran Rashid Rida tidak hanya relevan di zamannya, tetapi juga memiliki makna besar bagi umat Islam masa kini. Di era informasi yang serba cepat, banyak cerita atau pandangan yang beredar tanpa verifikasi. Sebagai umat Islam, kita diajak untuk selalu kembali pada prinsip tauhid dan menggunakan akal sehat dalam menilai sebuah informasi.
Rashid Rida mengingatkan bahwa ajaran Islam yang benar adalah yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadis sahih. Hadis yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam harus diteliti ulang, bukan langsung diterima begitu saja. Dalam hal ini, pendekatan Rida memberikan contoh bagaimana kita bisa menjaga kemurnian ajaran agama sekaligus menjawab tantangan zaman.
Selayang Pandang
Muhammad Rashid Rida, melalui tafsir Al-Manar, memberikan pandangan yang segar dan rasional tentang konsep wali dalam Islam. Ia tidak hanya mengkritisi hadis-hadis lemah, tetapi juga menawarkan pendekatan yang lebih dekat dengan ajaran Al-Qur’an. Pandangannya adalah pengingat bagi kita semua bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan akal dan fitrah manusia.
Ketika mitos dan tradisi mulai mendominasi pemahaman kita tentang agama, mungkin sudah saatnya kita bertanya: Apakah keyakinan ini sejalan dengan prinsip tauhid? Jawaban dari pertanyaan ini adalah kunci untuk menjaga kemurnian iman kita.