Sumber Gambar : e-akutansi.com
KULIAHALISLAM.COM – Ilmu Zawahir secara terminologi adalah ilmu pengetahuan atau studi tentang gejala atau fenomena yang tampak sebagaimana adanya pada tempat dan waktu tertentu. Kata “Zawahir” adalah bentuk jamak dari kata Az Zahir atau Az–Zahirah yang artinya antara lain yang lahir yang tampak, permukaan segala sesuatu dan fenomena. Kata ini disebut secara berlawanan dengan kata Al-Bawatin atau Al-Batin yang artinya adalah yang tersembunyi atau bagian dalam dari segala sesuatu. Zawahir sama artinya dengan kata fenomena. Ilmu Zawahir berarti Fenomenologi.
Alquran secara eksplisit dan implisit memberikan informasi dan motivasi untuk melakukan kajian terhadap fenomena alam baik yang menyangkut manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda lainnya yang menurut sudut pandang orang awam hampir tidak memiliki makna. Di antara ayat-ayat tersebut adalah surat Al-Imran ayat 190, Al-Ghasiyah ayat 17, dan Al-Baqarah ayat 259. Ayat-ayat Al-Qur’an yang memakai kata “Zahir” dan “Zahirah” (dalam bentuk Mufrad) memiliki arti yang tampak (Q.S 31 : 20) dan urusan dunia (Q.S 30 : 7).
Fenomenologi diperkenalkan oleh I.J Lambert ketika menguraikan tentang kebenaran (Alethiologia). Immanuel Kant memakai istilah ini dalam karyanya tentang perinsip pertama Metafisika. Friedrich Hegel (1807 M) mengajukan rumusan fenomenologi sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya.
Fenomenologi yang diajukan oleh ketiga filsuf di atas belum merupakan satu pendekatan dalam filsafat. Edmund Husserl, seorang Filsuf Jerman keturunan Yahudi, memperkenalkan fenomenologi sebagai salah satu pendekatan dalam filsafat dan berkembang menjadi sebuah aliran tersendiri. Ia dikenal sebagai bapak pendiri metode fenomenologi.
Husserl merupakan warga negara Austria yang meninggal pada tahun 1936. Mula-mula Dia seorang ahli ilmu pasti dengan minat untuk Psikologi tapi kemudian menjadi filsuf yang menjadi sangat terkenal. Husserl mencoba memberikan jasa pada ilmu-ilmu pengetahuan seperti Matematika, Fisika, Astronomi dan lainnya, suatu dasar yang Apodiktis, eviden yang sejelas dengan ide matematis yang menampakkan dirinya dengan kenyataan langsung.
Untuk mencapai hal itu dia membutuhkan reduksi fenomenologis yakni menempatkan realitas benda-benda di luar kita antara kurung (Eposche) hanya isi kesadaran yang jelas sedangkan terasa Densi dari das an sich tak pernah menjadi evidensi yang nyata. Husserl meninggalkan sikap alamiah yang biasa pada orang awam yang tanpa ragu-ragu melihat benda-benda sebagai benda-benda dan tidak sebagai gejala kesadaran saja. Yang muncul dalam kesadaran adalah gejala (Phenomenon). Karena itu reduksi itu disebut reduksi fenomenologis.
Dalam islam, Ilmu Zawahir tidak populer dan tidak dibakukan dalam dunia filsafat Islam. Tetapi dari sudut materi pembahasan, hal ini sudah ada dan menjadi salah satu pendekatan dalam memahami ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan filsafat dan tasawuf maupun hukum Islam. Dalam salah satu hadis Maqtu’ (Hadis yang sanadnya sampain kepada Tabiin) dari Yahya bin Mu’az ar-Razi dijelaskan bahwa barangsiapa yang mengenali dirinya, ia pasti akan selalu mengenal Allah.
Hadis ini memberi isyarat bahwa untuk sampai kepada pemahaman yang benar dalam mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala, manusia harus memahami fenomena kearah itu itu yang terdapat pada diri manusia itu sendiri. Misalnya, keteraturan sistem kerja organ tubuh manusia yang sempurna, sebagai fenomena dari wujud yang dapat dilihat dan dipelajari, akan membawa kepada pemahaman adanya yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur.
Islam mengenal adanya konsep alam kauniyah atau ayat kauniyyah yakni ayat yang memuat hukum pengetahuan alam. Alam kauniyyah bersama ayat-ayat Al-Qur’an merupakan fenomena dari wujud dan kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.Pemahaman seperti ini, jika memakai tolak ukur filsafat Barat, termasuk ke dalam wilayah kajian fenomenologi transedental atau Ilmu Zawahir al-Ma’ali.
Dalam tasawuf filsafat Ibnu Arabi ditemukan konsep Tajali (penampakan diri) Allah yakni wujud segala benda dan alam ini merupakan Tajali Allah. Menurutnya, Betapapun alam ini banyak dilihat dari sudut kuantitasnya, sebenarnya hanya ada satu yang banyak itu adalah cerminan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sedangkan Allah sendiri hanya satu. Hal ini ibarat seseorang bercermin pada beberapa cermin.
Melalui konsep Al-Haqq disebut juga Al-Juhar atau Al-Batin, Ibnu Arabi melihat alam ini menjadi sangat berarti untuk mengenal Allah-Nya. Ar-Razi (wafat 1209 M) dengan filsafat lima kekalnya memecahkan persoalan transedental. Menurutnya, materi yang dapat ditangkap melalui panca indera, ruang dan waktu memastikan adanya yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Al-Farabi (wafat 950 M) dalam filsafat emanasinya juga melihat alam dan sedental melalui pengamatannya terhadap fenomena alam yang dilihat dari sudut proses kejadiannya. Ibnu Sina dalam filsafat wujudnya lebih jelas lagi melihat wujud alam ini, menurutnya wujud lebih penting daripada esensialnya dan wujudlah yang membuat esensi menjadi bermakna.
M.A.W Brower menyatakan bahwa seseorang fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenologi bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya melukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung.