Perlu diketahui bahwa mantiq (Logika) merupakan disiplin yang akrab dan bagian integral dalam khasanah keilmuan Islam. Sejak awal kemunculannya pada masa Dinasti Abbasiyah, yang dipelopori dan dikembangkan oleh orang-orang seperti Al-Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037 M), hingga Al-Ghazali (1111 M), mantiq memiliki andil signifikan dan kontribusi serius dalam perkembangan keilmuan Islam, seperti ushul fikih, fikih, dan aqidah (teologi).
Bahkan, dikatakan oleh para ulama: “seseorang tidak bisa menjadi fuqaha’ (ahli fiqih) kecuali setelah ia menajadi usuliy (pakar ushul). Sedangkan untuk menjadi ahli ushul, seseorang haru menjadi ahli logika terlebih dahulu. Sehingga, mustahil seseorang menjadi pakar ushul ataupun fiqih tanpa menjadi pakar di bidang mantiq atau logika.” dari perkataan ulama ini, bisa disimpulkan bahwa disiplin mantiq menjadi gerbang menuju disiplin-disiplin yang lain.
Namun, di hari ini, banyak dari pelajar muslim–khususnya yang menempuh pendidikan di pesantren (santri)–kurang memiliki minat pada disiplin ini, bahkan tak jarang dari mereka yang menjauhinya dengan pandangan sinis. Alasan mereka hampir sama: mantiq adalah disiplin yang diadopsi dari khasanah keilmuan Yunani, dan oleh karena itu, tidak berkorelasi–setidaknya secara langsung–dengan urusan agama (akhirat).
Di sisi lain, banyak dari mereka yang salah mengiterpretasikan kritik Imam Al-Ghazali terhadap filsafat Al-Farabi dan Ibn Sina–lebih tepatnya pada persoalan-persoalan metafisik–sebagai larangan untuk mendekati apapun yang berhubungan dengan persoalan-persoalan filsafat, termasuk mantiq, yang diyakini akan menjerumuskan seseorang pada pemikiran liberal dan lembah kekufuran.
Namun, apakah faktanya demikian, bahwa mantiq selalu identik dengan filsafat dan pemikiran liberal?
Krisis Nalar dan Dominasi Metode Tasawuf di Nusantara
Menurut Dr. Habib Ali Bagir Al-Saggaf Lc. MA., ilmu mantiq bukan hanya disiplin sekunder dalam khasanah keilmuan islam, melainkan “metode berpikir para ulama” (kaifiyatul tafkiril ulama) yang esensial, yang–pada gilirannya–melahirkan cendekiawan Muslim yang kritis dan mandiri secara intelektual.
Dalam konteks keilmuan di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura), metode (uslub) mantiq kurang memeroleh apresiasi, yang lebih dominan adalah metode-metode tasawuf. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kampanye buruk yang gencar terhadap ilmu mantiq, kalam (aqidah), dan ilmu-ilmu rasional (Ulumul Aqliyah) lainnya, yang sering dituduh sebagai pemicu pemikiran liberal.Konsekuensi dari kampanye ini adalah lahirnya karakter santri yang identik dengan kepatuhan total dan anti-kritik.
Pendapat ini tidak lantas memiliki implikasi bahwa beliau mengabaikan pentingnya akhlak, namun yang beliau kehendaki adalah menampik stigma kolektif: nalar kritis tidak identik dengan para santri, melainkan identik dengan para mahasiswa. Ini terbukti ketika ikon akal sehat di Indonesia lebih sering disematkan pada Rocky Gerung yang non-Muslim, padahal warisan intelektual Islam sarat dengan literatur logika serta pemikir kritis dan rasional yang sekaliber–bahkan lebih–dari para pemikir-pemikir besar Barat.
Meluruskan Stigma Negatif
Untuk menepis stigma buruk ini, mari kita mengambil contoh paling konkret: Imam Al-Ghazali. Ulama yang dikenal luas sebagai ikon tasawuf dan sufi di Indonesia ini, faktanya adalah seorang ahli mantiq yang ulung. Hal ini terbukti lahirnya karya-karya luar biasa tentang mantiq dari penanya, seperti Al-Qisthas al-Mustaqim dan Miyar al-’Ilm.
Bahkan, kitab ushul fikih karya Imam Al-Ghazali, Al-Mustasfa, memiliki mukadimah yang menampilkan penalaran deduktif-silogistik (logis). Lahirnya karyra-karya ini membuktikan bahwa Imam Al-Ghazali tidak memisahkan ilmu agama dari logika, melainkan menempatkan logika sebagai fondasi dalam perumusan kaidah-kaidah dan hukum-hukum agama, khususnya dalam ushul fikih, fiqih, dan–yang paling jelas–teologi (ilmul kalam).
Lebih jauh lagi, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seluruh ayat dalam Al-Quran selalu bisa dijelaskan melalui penalaran logis (mantiq). Ketika kita memahami metode penalaran logis-mantiqi, kita akan menemukan semua itu di dalam Al-Quran. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat dalam Al-Quran tidak kontradiktif dengan kaidah logika.
Saking krusialnya mantiq sebagai seni berpikir dan aparatus untuk memisahkan antara pengetahuan yang benar dan sesat, Imam Al-Ghazali sampai menyatakan “seseorang yang tidak bernalar dengan mantiq, ilmunya tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena ia tidak bisa membedakan mana pengetahuan yang benar dan mana yang sesat.”
Selain itu, mantiq juga bisa disebut sebagai kunci untuk memahami karya-karya ulama klasik yang begitu pelik. Beliau menjelaskan: “Salah satu tujuan dari Ilmu mantiq ialah untuk membantu kita dalam memhamai cara berpikir para ulama.” Tanpa menguasai metodologi berpikir ini, para pelajar akan kesulitan memahami karya-karya besar mereka, seperti tuhfah, minhaj, dan lain sebagainya.
Ada sebuah fakta mengejutkan yang berhubungan dengan paragraf belakangan: Ibn Hajar al-Haitami (1566 M), sebelum menulis Tuhfatul Muhtaj, mengkhatamkan kitab Mantiq yang berjudul Syamsiyah sebanyak empat belas kali, dan menggunakan metode bernalar mantiq sebagai basis penulisan karya besarnya itu. Oleh sebab itu, kesulitan kita ketika membaca dan memahami Tuhfah hari ini adalah karena kita tidak memahami cara bernalar (metode) yang digunakan oleh Ibn Hajar al-Haitami, yakni mantiq.
Legitimasi Syar’i dan Bantahan Kritis
Pertanyaan tentang “apakah Ilmu Mantiq itu Islami dan memiliki sanad kebenaran?” adalah pertanyaan yang sering muncul dibenak para santri. Dengan tegas, Dr. Habib Ali Bagir menyatakan bahwa Mantiq adalah Ilmu Islami dengan dua makna. Pertama, ia tidak bertentangan dengan prinsip Islam, atau lebih tepatnya tidak ada dalil nash yang melarangnya secara ekplisit. Kedua, dalil kelegalannya bisa dilacak dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Mengutip Imam Al-Ghazali dalam Qisthasul Mustaqim–Nya, beliau menyatakan bahwa mayoritas kaidah mantiqiyah bersumber dari kitabullah, bahkan istilah mizan (timbangan) dalam Al-Qur’an ditafsirkan oleh-Nya sebagai metodologi berpikir yang benar. Oleh sebab itu, Imam Al-Ghazali lebih suka menyebut disiplin ini dengan istilah mizanul ilm atau mi’yarul ilm ketimbang mantiq.
Beliau juga membantah kritik ulama seperti Ibn al-Salah (1245 M) yang mengharamkan Mantiq karena dianggap sebagai mukadimah (pembuka/pengantar) menuju Filsafat yang ia klaim buruk (syar). sehingga, apapun yang menjadi perantara pada hal keburukan, ia juga bernilai buruk–meskipun secara primordial tidak.
Padahal, faktanya, mantiq bukan hanya menjadi mukadimah bagi filsafat saja, melainkan bagi semua ilmu (jami’il ulum). Sebagaimana dibuktikan oleh Imam Al-Ghazali yang menjadikannya sebagai basis mukadimah dalam buku Ushul Fikih-Nya.
Beliau juga merespons kritik dari Imam As-Suyuti, dengan menyatakan bahwa ulama tersebut—walaupun ahli di bidang Naqliyyat—bukanlah pakar di bidang Aqliyyat (Logika). Sehingga, kita tak boleh taqlid buta atas fatwa makruh/haram dari ulama-ulama yang tidak pakar dalam bidang itu. Ibaratnya, kita tak akan menamini secara buta apa yang dikatakan seorang polisi tentang persoalan farmasi, karena memang ia bukan pakar dibidang itu. Berbeda jika yang berkata demikian adalah dokter yang pakar di bidang farmasi, kita wajib taqlid kepadanya.
Pada akhirnya, mempelajari dan menghidupkan kembali disiplin mantiq di pesantren-pesantren merupakan hal penting, karena setelah Mantiq menjadi malakah (kemampuan yang meresap) dalam diri, semua persoalan dan kalam-kalam para ulama yang sukar dipaham akan menjadi terang dan jelas, sejelas matahari (wadihan kawuduhil syams).