Esai

Memutus Rantai Ketakutan di Kampus: Solusi Holistik untuk Kekerasan Seksual, Perundungan, dan Beban Mental Mahasiswa

3 Mins read

Institusi pendidikan tinggi di Indonesia, yang seharusnya menjadi surga intelektual, kini terancam menjadi zona darurat mental dan keamanan.

Data mengenai peningkatan drastis kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa (mencapai 9% korban bunuh diri pada Januari-Agustus 2024), ditambah dengan lonjakan kasus kekerasan seksual (2.681 kasus pada 2023) dan perundungan (seperti kasus di Unud yang memicu bunuh diri), menunjukkan adanya kegagalan sistematis yang mendalam.

Krisis ini mengharuskan kita untuk menanyakan pertanyaan fundamental: mengapa kampus gagal melindungi mahasiswanya, dan siapa yang patut disalahkan atas runtuhnya benteng keamanan dan kesehatan mental ini?

Tekanan Akademik dan Depresi sebagai Pemicu Utama

Peningkatan kasus bunuh diri di lingkungan kampus—dari 16 kasus pada 2022 menjadi bagian signifikan dari 971 kasus bunuh diri nasional pada 2023—menyoroti adanya silent killer berupa tekanan akademik dan psikologis. Insiden tragis seperti mahasiswa Unud yang dikeluarkan dari program Koas menunjukkan betapa hukuman atau kegagalan akademis dapat terasa sebagai vonis sosial yang fatal.

Tekanan untuk mencapai nilai sempurna, beban studi yang tidak proporsional, dan lingkungan kompetitif yang minim empati menjadi racun. Kampus-kampus seringkali berfokus secara eksklusif pada kurikulum dan capaian kelulusan, namun gagal menyediakan dukungan kesehatan mental yang memadai dan mudah diakses.

Depresi, masalah ekonomi, dan kurangnya komunikasi yang terjalin antara mahasiswa dan institusi membuat mereka merasa terisolasi dalam menghadapi masalah. Kampus telah berhasil mencetak output akademik, tetapi gagal mencetak manusia yang utuh dan berdaya tahan.

Budaya Impunitas di Balik Kekerasan

Di sisi lain, maraknya kekerasan, khususnya kekerasan seksual, menggarisbawahi kegagalan institusi dalam menegakkan disiplin dan keadilan. Kasus-kasus yang mencuat di kampus-kampus besar seperti UGM, UI, dan kampus di Bali—dengan Komnas Perlindungan Perempuan mencatat ribuan kasus—menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukanlah anomali, melainkan epidemi.

Baca...  Keutamaan Hari dan Sholat Jum'at

Persoalan utamanya bukan hanya pada munculnya kasus, tetapi pada kelemahan penanganan. Institusi pendidikan seringkali dipandu oleh naluri untuk mengamankan nama baik di atas melindungi korban. Proses pelaporan yang berbelit, kurangnya penindakan tegas terhadap pelaku (termasuk dosen atau senior), dan minimnya transparansi menciptakan budaya impunitas.

Perundungan dan kekerasan verbal, yang juga memicu kasus bunuh diri, tumbuh subur karena tidak ada mekanisme perlindungan yang tegas dan efektif. Kampus yang gagal menghukum pelaku adalah kampus yang secara tidak langsung melegitimasi kekerasan.

Siapa yang Salah? Mencari Tanggung Jawab Dominan

Setelah membedah kedua jenis krisis ini, pertanyaan “Siapa yang salah?” harus dijawab dengan tegas.

Penyebab dominan dari krisis ini terletak pada kegagalan Institusi Kampus

Institusi Kampus memegang otoritas penuh dan tanggung jawab moral tertinggi untuk menciptakan ekosistem yang aman dan suportif. Mereka gagal dalam dua aspek utama:

  1. Gagal Preventif: Gagal menanamkan budaya zero tolerance terhadap kekerasan dan gagal mengintegrasikan layanan kesehatan mental yang proaktif ke dalam sistem akademik.
  2. Gagal Responsif: Gagal menerapkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 secara tegas dan transparan. Ketika kasus muncul, birokrasi yang lambat dan fokus pada citra institusi justru memperparah trauma korban dan melindungi pelaku.

Mahasiswa adalah korban dari tekanan sistemik dan predator yang dibiarkan berkeliaran. Stigma sosial terhadap kesehatan mental dan budaya patriarki yang menormalisasi kekerasan juga berkontribusi, tetapi Kampus-lah yang memiliki kekuatan struktural untuk mengubah kedua budaya tersebut, namun memilih untuk tidak melakukannya secara maksimal.

Tawaran Solusi Holistik dan Mendasar

Untuk mengatasi krisis yang bersifat sistemik ini, solusi harus holistik dan melibatkan perubahan struktural:

  1. Kesehatan Mental Terintegrasi: Wajibkan setiap mahasiswa menjalani screening dan sesi konseling rutin, tidak hanya menunggu adanya gejala. Setiap fakultas harus memiliki setidaknya satu Konselor Profesional (bukan hanya dosen BK) yang mudah dihubungi dan terpisah dari sistem penilaian akademik untuk menjamin kerahasiaan.
  2. Implementasi Aturan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek No. 30/2021) dengan Tegas dan Transparan: Kampus harus membentuk Satgas yang benar-benar independen dan berani menjatuhkan sanksi berat (pemecatan/DO) kepada semua pelaku tanpa memandang jabatan atau reputasi. Hasil penindakan harus diumumkan (dengan menjaga kerahasiaan korban) sebagai efek jera.
  3. Revisi Kurikulum dan Beban Akademik: Melakukan audit terhadap beban akademik yang berlebihan dan tidak relevan yang menjadi pemicu stres utama. Promosikan evaluasi berbasis kompetensi alih-alih nilai semata.
  4. Edukasi Empati dan Anti-Perundungan: Mengadakan program orientasi wajib yang berfokus pada empati, batas-batas personal, dan budaya inklusi, bukan hanya orientasi fisik dan indoktrinasi senioritas.
Baca...  Gimana Kabarmu Mahasiswa?

Kampus tidak bisa lagi berlindung di balik citra idealis. Sudah saatnya institusi pendidikan tinggi di Indonesia memprioritaskan nyawa, martabat, dan kesehatan mental mahasiswa di atas nama baik institusi. Kegagalan untuk bertindak tegas hari ini berarti membiarkan silent killer terus merenggut masa depan generasi penerus bangsa.

7 posts

About author
Penulis dan mahasiswa hukum UIN Kiai Ageng Muhammad Besari. Mengabdi sebagai guru di Pondok Pesantren Al-Iman, Ponorogo.
Articles
Related posts
Esai

Bukan Masjid, Justru Rumah yang Dipertahankan: Sinyal Bahaya Penyelewengan Dana Keagamaan?

2 Mins read
Belakangan ini menyita perhatian publik, bukan hanya karena drama hukumnya, tetapi karena implikasi moral dan etika yang jauh lebih besar. Inti dari…
Esai

Hujan Mikroplastik: Panggilan Tobat dari Langit Jakarta

3 Mins read
Hujan mikroplastik: panggilan tobat dari langit Jakarta. Langit Jakarta yang kelabu kini menyimpan ancaman yang jauh lebih runcing dan sunyi daripada sekadar…
Esai

Kepala Sekolah Dinonaktifkan: Pesan Bahaya bagi Guru yang Berani Bertindak Tegas

2 Mins read
Kasus penonaktifan kepala sekolah SMA Negeri 1 Cimarga akibat menampar siswa yang kedapatan merokok menimbulkan perdebatan mengenai batas ketegasan guru dan kekerasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Esai

Bukan Masjid, Justru Rumah yang Dipertahankan: Sinyal Bahaya Penyelewengan Dana Keagamaan?

Verified by MonsterInsights