Penulis: Risma Suci Nandila*
KULIAHALISLAM.COM – Konsumerisme merupakan sebuah fenomena yang sering dialami oleh para generasi Z. Gen Z sendiri merupakan individu yang dilahirkan pada tahun 1996-2012, dengan ciri khas mahir terhadap teknologi, sering berinteraksi dengan sosial media, mudah mengekspresikan diri, pemikiran yang terbuka, dan terbiasa melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu. Generasi Z juga termasuk mahasiswa yang lahir kurang lebih dari tahun 1998 sampai 2000-an.
Konsumerisme mengarah pada pola pikir dan tindakan mengkonsumsi barang bukan karena kebutuhan, melainkan karena keinginan diri sendiri untuk memperoleh suatu kepuasan. sikap konsumerisme memiliki pola gaya hidup boros, mewah, dan hedon. Hal tersebut dilakukan supaya tidak disebut anak ketinggalan jaman atau cupu, mereka rela mengeluarkan uang demi mendapatkan barang yang sedang trend.
Pola konsumerisme juga terjadi pada gen z. Seseorang yang mengalami konsumerisme cenderung tidak berpikir dua kali untuk mengeluarkan sejumlah nominal untuk membeli suatu barang maupun jasa tanpa mempertimbangkan apakah yang mereka beli merupakan kebutuan yang sudah seharusnya dipenuhi atau sekedar keinginan sesaat karena terbawa suasana dan gengsi.
Hal ini dapat menjadi gambaran yang mengindikasikan jika generasi Z, yang termasukya mahasiswa masih cenderung labil dalam mengambil keputusan terkait pembelian suatu barang tertentu. Karena ada faktor-faktor tertentu, mahasiswa yang termasuk dalam generasi Z seringkali merasa tekanan untuk mengikuti tren yang sedang berlaku jika teman-teman mereka dalam lingkungan atau komunitas mereka juga tengah mengadopsi atau mengikuti tren tersebut. Oleh karena itu, apabila satu orang mengikuti tren tersebut, maka mereka cenderung untuk turut serta mengikutinya.
Penting untuk mengetahui konsep diri untuk lebih mengenal diri sendiri dan tidak terbawa arus yang tidak perlu. Dalam perspektif psikologi, konsep diri merupakan elemen utama yang diperlukan untuk memahami sifat dan perilaku manusia. Konsep diri bisa diartikan juga sebagai cara pandang dan sikap terhadap diri-sendiri. Hal ini diperoleh oleh individu melalui interaksinya dengan diri-sendiri, orang lain, dan dunia sekitarnya. konsep diri memiliki peran yang sangat signifikan dalam membantu individu berinteraksi dengan lingkungannya.
Tiga dimensi penting dalam konsep diri
Dimensi pertama dalam konsep diri, yaitu pemahaman individu tentang dirinya sendiri, yang menempatkan setiap individu ke dalam kelompok atau kategori sosial tertentu. Setiap individu memiliki daftar julukan yang menggambarkan dirinya, misal mengenai usia, kebangsaan, suku, pekerjaan, keadaan fisik, dan lain sebagainya. Ketika individu memiliki satu set pandangan terhadap dirinya, secara beriringan individu tersebut juga memiliki satu set pandangan lain mengenai kemungkinan mau menjadi apa dirinya dimasa mendatang.
Satu set pandangan lain tersebut berada pada dimensi kedua dari aspek konsep diri yang disebut sebagai cita-cita atau harapan. Pengharapan ini merupakan diri ideal dari individu melalui angan-angan tentang apa yang diinginkan dari dirinya sendiri, sehingga diri ideal pada setiap individu berbeda.
Dimensi ketiga dalam konsep diri yaitu penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Setiap individu berperan sebagai penilai dirinya sendiri dan hal ini berkaitan dengan peran harga diri. Harga diri merupakan salah satu komponen dari konsep diri, yang juga berkaitan dengan unsur evaluasi atau penilaian terhadap diri. Perasaan harga diri individu muncul dari pandangan karakteristik yang cocok dengan standar-standar tertentu dan pengakuan atas pencapaian aspirasi mereka dari orang lain, yang dianggapnya sebagai harga diri.
Lantas bagaimana konsep diri dapat mengatasi sikap konsumerisme dan rasa gengsi?
Apabila individu memberikan standar bahwa membeli barang mewah dan branded adalah salah satu cara untuk meningkatkan harga dirinya, membuatnya terlihat keren dan lebih diakui orang lain, maka individu tersebut bisa terjebak kearah konsumerisme.
Budaya konsumerisme yang tumbuh kini merupakan sebuah wadah di mana produk konsumen digunakan sebagai alat untuk membentuk karakter, gaya, reputasi, pola hidup, serta cara untuk membedakan diri dalam berbagai tingkatan status sosial.
Keterbatasan finansial dalam hal mengonsumsi berbagai barang atau kesempatan untuk memperoleh dan menikmati berbagai aspek kenyamanan dan ketenangan dalam kehidupan mendorong individu untuk mencari berbagai cara untuk memenuhi tuntutan gaya hidup saat ini agar terlihat seperti orang yang kaya.
Dengan menganut gaya hidup semacam ini, seseorang dapat mendapatkan pengakuan sebagai individu yang kaya, meskipun sebenarnya keadaan finansialnya tidak mencerminkan gambaran yang ia tunjukkan. Dari situ, kita dapat melihat bahwa pembentukan identitas di dalam lingkungan sosial sekarang lebih dipengaruhi oleh pilihan individu daripada oleh tradisi melalui proses konsumsi.
Sehingga individu yang tidak memiliki konsep diri yang baik mudah terjebak kedalam standart yang mereka tentukan sendiri dan tuntutan gaya hidup hedon yang dianggapnya bisa menaikkan citra dirinya.
Hal ini bisa diatasi dengan penerapan konsep diri positif. Konsep diri positif individu adalah kemampuan untuk merangkul berbagai aspek pengalaman mental mereka secara menyeluruh, sehingga menghasilkan penilaian yang positif terhadap diri sendiri. Konsep diri positif melibatkan pengenalan dan penerimaan terhadap kekuatan dan kelemahan diri sendiri.
Ketika individu memiliki konsep diri positif, individu tersebut mampu melihat nilai-nilai positif dalam dirinya sendiri dan merasa puas dengan identitasnya yang sebenarnya. Hal ini membantu individu untuk tidak bergantung pada pengakuan dari orang lain dan mendorong individu tersebut untuk lebih mencintai dirinya sendiri tanpa membutuhkan validasi eksternal.
Dalam melawan rasa gengsi, konsep diri positif membantu individu memahami bahwa nilai sejati tidak terletak pada apa yang orang lain pikirkan, tetapi pada bagaimana individu tersebut mampu menghargai dan menghormati dirinya sendiri, dengan tetap fokus pada pengembangan diri dan mencapai potensi terbaik yang dimilikinya.
Konsep diri positif juga membantu menghentikan kebiasaan suka ikut-ikutan, karena ketika individu memiliki kepercayaan yang kuat terhadap dirinya sendiri, ia tidak lagi mencari validasi dengan meniru tindakan atau gaya hidup orang lain. Hal tersebut membuat individu yakin dalam pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai dan keinginan pribadinya, sehingga tidak labil. Dengan begitu, seorang individu dapat hidup dengan autentik dan menjadi pribadi yang unik.
*) Penulis merupakan mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung program studi Psikologi Islam