KULIAHALISLAM.COM – KH Abdurrahman Wahid tokoh kebangkitan NU, lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Presiden ke-4 Republik Indonesia, yang akrab dipanggil “Gus Dur”. Beliau adalah putra mantan Menteri Agama RI yaitu KH Wahid Hasyim dengan Ny. H Siti Sholehah dan merupakan titisan langsung para Kiai besar di Jawa.
Kakeknya dari pihak Ayah yaitu KH Hasyim Asy’ari, adalah pengasuh Pondok Tebuireng Jombang dan pernah memangku jabatan Rais Akbar PBNU. Kakek dari pihak ibunya, KH Bisri Syansuri, juga pengasuh pondok pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais ’Aam PBNU.
Kedua Kiai ini adalah pendiri NU di samping KH A. Wahab Hasbullah yang pernah juga memangku jabatan Rais ‘Aam PBNU setelah KH Hasyim Asy’ari dan ternyata masih dalam satu mata rantai silsilah para Ulama di Jawa.
Setamat Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1953 dan SMP di Yogyakarta tahun 1956 di samping belajar mengaji kepada KH Ali Maksum di Yogyakarta, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikan ke Pesantren Tegalrejo, Magelang, kemudian pindah ke Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963). Setelah itu beliau memperdalam ilmu-ilmu Islam dan Sastra Arab di Universitas Al Azhar, Kairo (Mesir), kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad.
Karirnya banyak di Pesantren. Beliau pernah menjadi guru Mu’allimat Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963), Sekretaris Pesantren Tebuireng, Jombang (1974-1979) di samping sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang dan pengasuh Pesantren Cigancur, Jakarta.
Baru pada tahun 1984, beliau terlibat langsung dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama setelah dipilih sebagai ketua Tanfidziyah PBNU dalam Muktamar ke-27 di Pesantren Sukorejo, Situbondo, meskipun sebelumnnya ia sudah duduk sebagai Katib Syuriah PBNU setelah Muktamar ke-28 di Pesantren Al-Munawwir, Yogyakarta, beliau dipilih secara aklamasi oleh Muktamirin sebagai ketua umum Tanfidziyah PBNU (1989-1994).
Naiknya Abdurrahman Wahid ke puncak pimpinan NU tidak terlepas dari dukungan warga NU dan hasil kerja sebuah tim yang pernah ada sejak sebelum Muktamar ke-26 di Semarang (1979). Tim itu semula bernama “Kelompok Warung Pemikir” yang dimotori antara lain oleh Abdurrahman Wahid sendiri.
Kelompok ini intinya bertujuan melakukan terobosan-terobosan baru agar NU setelah peranan politik praktisnya hilang, masih bisa mengembangkan sayapnya seperti pada awal berdirinya (kemudian dikenal sebagai khittah nahdliyyah tahun 1926).
Abdurrahman Wahid populer karena tingkah laku dan pembawannya yang sering dinilai aneh. Pergaulan, minat dan pandangannya cukup luas. Hal itu terbukti dari jabatan yang pernah dipangkunya di berbagai tempat, antara lain ketua Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki (1983-1985) dan ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) di Bandung. Beliau pernah menjadi tim anggota penasihat Departemen Agama, Departemen Koperasi dan Departemen Hankam.
Ratusan artikel telah ditulisnya di berbagai media massa di Indonesia dan di luar negeri, termasuk beberapa terjemahan seperti terjemahan karya Sayyed Hossein Nashr.
Buku-buku karangannya adalah, Bunga Rampai Pesantren (1979), Muslim di Tengah Pergumulan (1981), dan Islam, the state and development in Indonesia (Islam, Negara dan Pembangunan Indonesia) sebagai bagian dari kumpulan karangan dalam judul Ethical Dilemmas of Development in Asia (Dilema Etis Pembangunan di Asia).
Beliau sering disebut “mozaik” dan “cerminan banyak gambar”. Tokoh Majalah editor 90-an yang kontroversial ini memprakarsai pendirian bank-bank Perkreditan Rakyat (BPR) NUSUMMA sebagai bagian kerja sama NU dengan Bank SUMMA.
Langkah ini dianggap sebagai “Loncatan Budaya” bagi warga NU dalam melakukan alih sosial ekonomi, karena warga NU umumnya belum akrab dengan dunia perbankan, sebagai sendi penting dalam sistem ekonomi modern.
Sebagai santri yang kemudian tumbuh menjadi pemikir, KH Abdurrahman Wahid pun hilir mudik untuk menghandiri berbagai pertemuan ilmiah seperti lokakarya, simposium, diskusi panel dan seminar.
Pengetahuannya yang luas dan ide-idenya membuat namanya terus melambung ke tingkat Nasional dan Asia. Mula-mula beliau berbicara di forum ACFORD yang berkedudukan di Bangkok mengenai perkembangan masyarakat dan juga ikut memberikan kontribusi dalam masalah sosial pada Southesat Asian Studies di Singapura.
Sumber : Ensiklopedia Islam Jilid 5, terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta (Milik Negara, Tidak Dipedagangkan)