(Sumber Gambar: Fitrah) |
Oleh:
Fitratul Akbar*
Indonesia
merupakan sebuah bangsa yang kaya dengan keanekaragaman. Dimulai dari
keanekaragaman kebudayaan, banyaknya suku, ras, dan perbedaan warna kulit
bahkan agama. Sesuai semboyannya “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda
tetapi tetap satu juga, tentunya sebagai warga negara Indonesia dapat merawat
persatuan Indonesia meskipun berbeda dalam budaya, ras, suku maupun agama. Bagi
bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai takdir. Sehingga keragaman bukan
untuk dipermasalahkan melainkan untuk dirawat, karena merupakan pemberian dari
Tuhan yang mencipta.(Kementrian Agama RI, Moderasi Beragama, (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2019), hal, 2. Keanekaragaman yang
dimiliki bangsa Indonesia akan menjadikan tambahan nilai positif, apabila dapat
menjaganya, begitu juga sebaliknya keanekaragaman yang dimiliki tersebut juga
bisa menjadi boomerang yang mengakibatkan perpecahan bangsa karena isu SARA.
Indonesia
adalah sebuah negeri tempat tumbuh suburnya beragam kebudayaan yang di pelihara
dan dijaga oleh masyarakatnya. Di negeri ini terdapat lebih dari 740 suku
bangsa atau etnis serta 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang
digunakan berbagai suku bangsa (Truna 2010:1). Di samping itu, mereka juga
menganut berbagai agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong
Hu Chu dan beratus agama dan kepercayaan setempat yang menjadi bagian dari
kebudayaan lokal setempat. Keragaman budaya (multikultural)
merupakan peristiwa alami karena bertemunya berbagai budaya, Berinteraksinya
beragam individu dan kelompok dengan membawa perilaku budaya, memiliki cara
hidup berlainan dan spesifik. Keragaman seperti keragaman budaya, latar
belakang keluarga, agama, dan etnis tersebut saling berinteraksi dalam
komunitas masyarakat Indonesia (Akhmadi 2019).
Indonesia
adalah bangsa yang majemuk sejak para sejarawan menarasikan tentang sejarah
bangsa, yang dulunya bernama Nusantara. Meskipun bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang majemuk, untuk dapat merajut kemajemukan itu, tetap membutuhkan
komitmen bersama sebagai sesama anak bangsa. Negara yang memiliki ciri khas
dengan berbagai suku, agama dan budaya yang berada di dalamnya, tentunya
merupakan modal besar bagi bangsa dan tanah air dalam kelanjutan
pembangunannya. Realitas kemajemukan Indonesia ini menimbulkan dua hal penting,
yaitu optimisme dan kekhawatiran. Optimisme yang dimaksud yaitu walaupun
Indonesia berkembang menjadi kawasan pertemuan agama-agama, realitas
kemajemukan yang ada di Indonesia justru penjadi penguat munculnya solidaritas
masyarakat.
Sekalipun
masyarakat berbeda pada ajaran agama dengan doktrin ajaran teologi yang saling
bertentangan, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka berinteraksi dalam
ikatan kekerabatan akibat terjadinya perjumpaan yang melahirkan silang
penyuburan budaya. Selain itu, terdapat penanda dari masing-masing budaya
sebagai ekspresi untuk hidup rukun antar sesama. Seperti dapat dilihat pada
masyarakat Maluku yang dikenal dengan ikatan kekerabatan dalihan natolu, Maluku dengan pela
gandong, Di Tual, salah satu daerah di Maluku mempunyai filosofi adat hukum
lavrul ngabal. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam hukum lavrul ngabal
mampu memlihara ketertiban dan hubungan keakraban antar penduduk, menanamkan
rasa gotong-royong, serta memupuk kesadaran masyarakat untuk menjaga
keharmonisan alam.
Kita
pahami dan resapi juga, ada satu falsafah hidup masyarakat Buton, Sulawesi Tenggara,
yang patut dibanggakan oleh karena menjangkau lingkup universal. Falsafah ini
berlaku bagi seluruh umat manusia, tanpa mengenal perbedaan warna kulit, ras,
asal keturunan, agama, dan aliran kepercayaan maupun faham politik dimanapun di
seluruh dunia. Falsafah tersebut adalah bhinci-bhinci kuli. Dalam falsafah bhinci-bhinci
kuli ini mmeiliki makna harfiah jika setiap orang mencubit kulit tubuhnya
sendiri pasti akan terasa sakit. Filosoif ini memaknakan bahwa jika kita merasa
sakit mencubit kulit tubuh sendiri, maka pasti akan terasa sakit pula bila kita
mencubit kulit tubuh orang lain.
Selain
itu budaya Minahasa dikenal dengan ungkapan kitorang
samua basudara, Bolaang Mongondow dengan moto tompiaan, moto tabian, moto tanoban, dan sebagainya. Misalnya
lagi di Manado dengan falsafah torang
samua basudara, merupakan proses pembentukan identitas egaliter dan toleran
anak bangsa sebagai hasil dari kearifan lokal. Manado disamakan dengan the city of brotherly love.
Bagi
masyarakat Minahasa, ada falsafah sitou
tomou tumou tou yang berarti manusia hidup memanusiakan manusia lain.
Falsafah ini ditelorkan oleh Dr.Sam Ratulangi, yang digali dari realitas kehidupan
bangsa Minahasa yang toleran, saling membangun, akrab dengan sesama serta
saling menghargai segala bentuk perbedaan yang melewati sekat-sekat perbedaan
kronis.
Masyarakat
Batak Toba mendasarkan hidupnya dalam suatu falsafah yang dirangkum dengan
istilah dalihan na tolu. Secara
harfiah, falsafah ini dapat diterjemahkan sebagai tungku nan tiga yang biasa
dipakai sebagai dasar untuk bejanan memasak. Secara analogis, orang batak
menyamakan dirinya sebagai bejana memasak (kuali
atau periuk) dan ungkapan dalihan na tolu adalah tungku penopangnya. Daerah
Papua ada istilah satu tungku tiga batu,
yang memberi pesan bahwa sebuah tungku harus disangga tiga batu (kristen, katolik, dan islam). Mereka
terbiasa hidup bergotong-royong dan membuat rumah ibadah secara bersama sama di
antara penganut agama-agama.
Semua
identitas, dan petatah-petitih kearifan lokal yang lahir dari adat istiadat
masyarakat ini merupakan titik simpul yang dapat merajut kerjasama dalam
keragaman suku, budaya, dan agama. Karena itulah, perlunya kembali menerapkan
budaya berbudi luhur yang dimiliki oleh bangsa indonesia. Yakni, budaya yang
menghargai dan mneghormati orang lain, menerima perbedaan, agar mencipta
kedamamaian, kemajuan dan keadaban luhur negara. Semua kearifan lokal ini
merupakan budaya moderat yang dimiliki secara sah oleh bangsa indonesia.
Referensi:
Kementrian
Agama RI, Moderasi Beragama, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI, 2019), hal, 2.
Moderasi
Beragama menurut Al-Qur’an dan Hadist Fauziah Nurdin Fakultas Adab dan
Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniri, Banda Aceh. JURNAL ILMIAH AL
MU’ASHIRAH: Media Kajian Al-Qur’an dan Al-Hadits Multi Perspektif Vol. 18, No.
1, Januari 2021 https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/almuashirah/.
Hal 6o.
H.
M. Ridwan Lubis, Merawat Kerukunan; Pengalaman di Indonesia, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2020.
STRATEGI
MADRASAH SWASTA DALAM PENGUATAN MODERASI BERAGAMA DI DAERAH PEDESAAN (Studi
pada Madrasah Swasta di Desa Lolanan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara) Abdul
Muis Daeng Pawero INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO. Hal 295.
*)Penulis adalah Pegiat isu-isu Dialog Umat Beragama, Kemanusiaan dan Perdamaian.