Transisi dari energi fosil ke
energi terbarukan adalah salah satu topik hangat dalam diskusi global saat ini.
Meski banyak yang setuju bahwa perubahan ini penting untuk kelangsungan hidup
planet kita, ada berbagai alasan yang menghambat peralihan ini. Berikut adalah
beberapa alasan utama mengapa transisi ini masih sulit untuk diwujudkan.
1. katanya, Biayanya Sangat
Mahal
Salah satu alasan utama adalah
biaya modal yang sangat tinggi. Infrastruktur untuk energi terbarukan seperti
tenaga surya dan angin memerlukan investasi awal yang besar. Banyak negara
merasa bahwa biaya ini dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi mereka.
Bagi beberapa rezim, proyek energi terbarukan jangka panjang ini dapat
menyebabkan ketidakpuasan publik. Rakyat mungkin merasa harus “ikat
pinggang” untuk mendanai proyek yang hasilnya belum bisa mereka nikmati
dalam waktu dekat. Akibatnya, negara-negara tersebut memilih untuk tetap
menambang energi fosil yang lebih cepat dan murah, meninggalkan masalah energi
untuk anak cucu di masa depan.
2. Lobi CEO Industri Energi
Fosil
Dunia masih dikendalikan oleh
orang-orang yang rakus dan berpikir pendek. CEO industri energi fosil memiliki
pengaruh besar dalam politik dan ekonomi global. Lobi-lobi mereka sangat kuat
bos dan mereka tidak segan-segan menggelontorkan kapital besar untuk menaikkan
media dan mempromosikan narasi bahwa energi fosil lebih menjanjikan untuk
ketahanan energi dan ekonomi dibandingkan energi terbarukan. Mereka menggunakan
berbagai dalil, termasuk dalil agama dan tafsir maqosidi lah, untuk menentang
kebijakan energi terbarukan yang diusulkan oleh aktifis lingkungan & ilmuwan.
3. Ketergantungan pada Energi
Fosil
Ketergantungan manusia yang kuat
pada energi fosil membuat transisi menjadi sangat sulit. Banyak negara yang
ekonominya sangat bergantung pada ekspor minyak dan gas merasa transisi ini
dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Narasi bahwa transisi ke
energi terbarukan dapat menimbulkan “mudhorot” ini sering kali dijual untuk menentang
perubahan.
4. Teknologi Penyimpanan
Energi Terbarukan yang Masih Berkembang
Katanya: lagi pula Teknologi
penyimpanan energi terbarukan seperti baterai masih dalam tahap pengembangan
dan belum sehandal energi fosil dalam hal keandalan pasokan. Energi terbarukan
seperti tenaga surya dan angin bersifat intermittent, artinya tidak selalu
tersedia sepanjang waktu. Ini berbeda dengan energi fosil yang dapat diandalkan
untuk menyediakan pasokan energi yang konsisten. Akibatnya, argumen ini sering
digunakan untuk menentang transisi ke energi terbarukan. Lah kalau Gak dimulai,
mau kapan lagi dikembangkan?
5. Jargon Ecological Etic yang
Diabaikan
Banyak pihak masih mengabaikan
pentingnya menjaga ekologi dan etika lingkungan. pokoknya jargon speaking
ecological etic itu tendang saja ke laut. memangnya paus2
biru itu bisa apa? seolah makhluk laut lainnya tidak punya peran
penting dalam ekosistem bumi kita ini. Ini adalah cerminan pandangan otak
dangkal yang hanya fokus pada keuntungan ekonomi sesaat tanpa memperhatikan
dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Kasihan anak cucu kita nanti.
Saran
Meskipun ada berbagai alasan yang
menentang transisi ke energi terbarukan, penting bagi kita untuk melihat
gambaran yang lebih besar. Dunia memang masih dikendalikan oleh kepentingan
jangka pendek, tetapi kita tidak boleh menyerah dalam memperjuangkan masa depan
yang lebih berkelanjutan. Kita perlu terus mendorong inovasi dalam teknologi
penyimpanan energi terbarukan, mendukung kebijakan yang pro-lingkungan, dan
mengedukasi masyarakat tentang pentingnya beralih ke sumber energi yang lebih
ramah lingkungan.
Perubahan memang tidak mudah dan
membutuhkan waktu, tetapi dengan upaya bersama, kita dapat mencapai masa depan
yang lebih baik bagi generasi mendatang. Tanpa langkah berani dan visioner,
kita hanya akan meninggalkan masalah yang lebih besar untuk anak cucu kita
kelak. Mari kita bekerja bersama untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan
bahwa kita meninggalkan dunia yang lebih baik daripada yang kita temukan.
Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader
Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)