Esai

Islam, Muhammad, dan Konservasi Alam

5 Mins read

Agama tidak turun “untuk Tuhan”. Ia diturunkan, melalui “tangan” Jibril yang kemudian dipindahtangankan ke “genggaman” Muhammad, untuk kepentingan manusia dan kepentingan alam semesta. Tuhan “tidak butuh” disembah.

Dia Maha Kuasa. Justru yang butuh menyembah adalah manusia dan alam karena dengan media ibadah itulah makhluk yang lemah menjadi “lebih kuat”. Jadi, ketersambungan dengan “langit” akan menciptakan kondisi kejiwaan manusia jauh lebih baik.

Kelahiran Nabi Muhammad merupakan simbol kehancuran paham paganisme dan politeisme. Penyembahan “zat” selain Allah akan memicu penindasan, baik ekonomi, sosial, dan politik. Tidak ada yang layak disembah kecuali Allah, itulah bunyi risalah—sebagai sebuah premis utama—Muhammad yang paling dasar.

Nabi tidak hanya dilahirkan pada masa moralitas masyarakat sedang anjlok-anjloknya, tetapi juga dilahirkan pada masa kekeringan panjang sedang melanda Jazirah Arab. Orang kesulitan mencari air.

Kisah ini mungkin menimbulkan dialektika panjang di kalangan ahli “arkeologi Alquran”, yaitu ceritera tentang tersibaknya “sumber mata air” zam-zam usai tanah di tengah padang pasir tandus diinjal-injak oleh Hajar saat ia sedang melakukan “upacara” untuk mendatangkan air.

Usai berputar-putar sebanyak tujuh kali, ternyata mata air itu justru muncul dari bawah kaki Ismail kecil, bukan dari kaki Hajar. Sumur itu menjadi mitos bagi bangsa Arab. Konon katanya, setelah Nabi Muhammad lahir, sumur itu diketemukan kembali dan memancarkan air yang deras.

Sumur itu “dimanajemani” oleh keluarga Hasyim, khususnya pada saat musim haji.
ASI Aminah tidak keluar. Mungkin karena tekanan batin yang kuat setelah ia ditinggal wafat oleh suaminya, Abdullah, saat pulang dari menjajakan dagangannya serta berkulakan di Syam.

Perjalanan darat dari Syam ke Mekah memakan waktu kira-kira satu bulan. Satu bulan yang melelahkan itu dihabiskan Abdullah di jalanan pada oase yang sangat panas dan sangat berbahaya karena kemungkinan dijambret oleh suku-suku badui sangat besar.

Muhammad kecil pada akhirnya disusui oleh Halimah al-Sa’diyah yang berasal dari Bani Saad, yang merupakan suku pedalaman yang menghuni lereng-lereng perbukitan yang masih asri, jauh dari hiruk pikuk “metropolis” Mekah. Secara moral, lebih terjaga.

Namun, daerah yang ditinggali oleh Halimah tidak “bebas” dari kondisi paceklik. Mereka yang tinggal di pedalaman mengalami kesulitan mencari air, dan mencari padang rumput untuk menggembalakan domba, keledai, dan unta mereka.

Tentu saja, air dan rumput merupakan tumpuan hidup mereka. Tanpa air, tubuh manusia akan lunglai. Kata filosof Yunani, Thales, hakikat manusia adalah “air”. Tesis itu, pasca “renaisans”, mungkin saja dibantah oleh sains modern, namun kita tidak dapat menolak fakta bahwa air merupakan kebutuhan pokok manusia, basic needs kata Maslow.

Baca...  Merefleksi Islam Agama Kedamaian

Muhammad kecil dibawa oleh Halimah dengan menyisakan pedih di hati Aminah. Bagaimanapun ia adalah anaknya yang baru saja dilahirkan. Apalagi usai kehilangan suami tercinta, kini ia harus menelan “pil pahit” kehilangan orang tercinta di dalam hidupnya: Muhammad.

Perpisahan antara Aminah dan Muhammad bukanlah peristiwa sejarah yang “lewat begitu saja”. Sebetulnya kalau itu diresapi, sesungguhnya secara psikis, sangat menyiksa Aminah. “Tapi,” hibur Abdul Muthalib, “itu adalah kebaikan untukmu dan untuk Muhammad,” lanjutnya.

Putting susu unta yang sebelumnya akan dijual, tiba-tiba menyembul. Langit yang awalnya terang dengan sinar matahari yang membakar punggung, gelap, awan “memadat” dan mengguyurkan air kehidupannya ke bumi. Rumput-rumput yang sembunyi entah di mana, usai hujan lebat mengguyur, tiba-tiba tumbuh, bercecambah. Hijau, enak dipandang.

Mata Halimah dan suaminya, Haris, berbiar. “Muhammad memang menghadirkan berkah,” kata Halimah. Ini juga salah satu alasan mengapa ia merasa berat hati saat tiba waktu memulangkan Muhammad ke pangkuan bunda kandungnya saat Muhammad dalam bahaya.

Orang boleh berdebat tentang kebenaran kisah itu. Sangat mistis dan asing dari nalar manusia modern. Kisah “ajaib” itu seperti hanya sekadar mitos saja. Namun, jika demikian, biarkan saja ia sebagai mitos. Sebab, sangat sulit membuktikan kebenaran berita itu. Antara satu pakar sejarah, dari Ibn Hisyam sampai Husaen Haikal punya interpretasi yang berdeda. Mereka, jika bertemu di angkringan, mungkin akan berdebat panjang sampai azan subuh berkumandang. Namun, kita tadaburi saja ceritera itu.

Satu, yang pasti, kisah itu memberi sinyal bahwa hayat Muhammad mengandung simbol: perawat dan pelestari lingkungan—lebih besar, semesta. Dan, benar, ucapan-ucapan beliau yang mengejawantah menjadi laku menunjukkan premis bahwa beliau tidak hanya Nabi yang menyampaikan “risalah Tuhan” agar manusia hanya menyembah-Nya dalam wujud ritual-ritual formal yang telah ditentukan how to-nya di dalam fikih; lebih daripada itu, risalahnya menjadi “alat” canggih untuk merawat alam semesta dari sifat jahat manusia—diantaranya: serakah!
Umpamanya, salam sebuah hadits, Nabi menganjurkan agar tidak “membuang air” di air yang menggenang dan di bawah pohon yang berbuah.

Ini adalah isyarat—bila kita maknai tidak secara harfiah—segala hal yang mengandung racun “haram” hukumnya dicampurkan ke dalam segala macam hal yang merupakan kebutuhan pokok makhluk hidup, salah satunya air. Maka, dalam kaidah maqasid al-syariah (tujuan-tujuan diberlakukannya syariat), untuk menjaga kelestarian makhluk hidup, entah itu manusia, hewan, atau tumbuhan. Siapapun yang mencemari air dengan “air beracun” maka ia telah berbuat dosa, melampaui batas, dan sesungguhnya layak dijatuhi hukuman—adapun soal hukuman, dapat disesuaikan dengan konstitusi yang berlaku, tidak harus mengikut model fikih klasik.

Baca...  Mengurai Islam Politik di Indonesia

Artinya, islam tidak hanya agama yang “mengurus ritual”, lebih jauh islam memberi wawasan dan tata aturan yang sifatnya universal untuk mengurus dan mengelola bumi, teknisnya Tuhan menyerahkan semuanya kepada manusia, sebab, manusia ditakdirkan Tuhan memiliki akal dan akal itu seharusnya digunakan untuk segala urusan yang bertujuan untuk mengabdi kepada-Nya.

Nabi pun, pada suatu saat, ketika memberi ide agar pohon kurma tidak dikawinkan dan akhirnya gagal, beliau “insaf” sembari mengatakan satu kaul yang menyejarah: “kalian tahu bagaimana mengatur hidup kalian terkait wilayah keduniaan,” dalam sebuah atsar.

Maka, tak pantas jika orang berargumen bahwa: akal akan membawa kesesatan dalam beragama. Sebaliknya, justru agama tanpa akal akan menjadi buta, begitu ujar Einsten. Namun, akal saja juga tak cukup, akal harus dibina dan dibimbing oleh wahyu agar memiliki “frame work” yang benar. Sebab, bagaimanapun, manusia membutuhkan bimbingan dari “zat” yang melampaui yang fisik, yang supra-rasional.

Berwacana saja tidak cukup. Apa yang telah kita serap dan pahami dari Alquran dan Hadits Nabi layak dirumuskan ke dalam agenda-agenda real dalam rangka konservasi alam. Nabi memberi rumusan dasar agar setiap orang “tegas” memberi peringatan, memerintah untuk berbuat baik, dan melarang dari berbuat mungkar.

Kemungkaran tak mudah dicegah. Apalagi jika sebuah kemungkaran dilakukan secara sistemik, maka cara “memberantasnya” harus dengan sistem yang rapi. “Kebaikan yang tidak terorganisir akan digilas oleh keburukan yang rapi,” ujar Ali bin Abi Thalib. Maka membangun basis kekuatan sosial dan politik yang kuat merupakan keharusan agar kerja-kerja koservasi alam berjalan dengan baik.

Juga, perlu kerja sama antar ahli. Nampaknya di era kontemporer agamawan yang memahami seluk-beluk syariat dengan baik tidak mampu bekerja sendiri. Ia perlu ahli di bidang lain, umpamanya teknokrat ahli fisika dan biologi, sebab banyak kerja-kerja teknis yang tidak dipahami oleh agamawan.

Di tengah krisis multidimensi seperti yang kita lihat hari ini, egoisme-disiplin ilmu merupakan sebentuk kejahatan tersendiri sebab menafikan urusan yang lebih besar: menjaga keberlangsungan kehidupan dunia. Manusia hari ini diliputi rasa cemas yang kapan saja mengintai, dari inflasi hingga krisis air bersih, dari penyakit fisik hingga penyakit mental.

Baca...  Perubahan Karakteristik Islam Abad Pertengahan Hingga Modern: Sebagai Studi Perbandingan

Pada titik ini lah seharusnya agama “welas asih” yang mampu memberi angin segar kebahagiaan hadir sebagai pelipur lara. Dan pada saat yang sama, agama juga menjadi kekuatan besar untuk menggempur kesenjangan sosial yang makin tajam.

Alam, manusia, binatang, jin (bagi yang percaya), yang merupakan makhluk Tuhan berposisi sederajat di sisi-Nya. Problem dan kerusakan yang terjadi di alam semesta adalah saat salah satunya merasa “superior” atas yang lain. Sikap superior itu didorong oleh merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena diberi “kelebihan” oleh Tuhan.

Yang paling riskan terjangkit “penyakit jiwa” itu adalah manusia. Ya, manusia, tidak yang lain. Kalau kita flash back ke era kolonialisme Belanda atas Indonesia (atau kolonialisme gaya baru yang terus bergulir hingga hari ini) merupakan manifestasi dari “rasa unggul” dari yang lain, salah satunya adalah ras.

Manusia yang merasa superior dari makhluk yang lain, jelas, berpotensi menjajah makhluk Tuhan yang lain. Mereka merasa hanya merekalah yang menghidupi bumi ini sehingga yang “Liyan” dibasminya, atau dihilangkan ruang hidupnya. Padahal perusakan atas “yang lain” sebetulnya merusak dirinya sendiri.

Lalu, jika ada “orang beragama” namun perilakunya buruk lantas apakah sesungguhnya ia tak beragama? Jelas. Nabi telah mewanti, bahwa, tak beriman orang yang tak “amanah”. Amanah, dalam bahasa arab, satu akar kata dengan “aman”. Artinya, jika ada orang beriman dengan laku yang membuat orang lain tidak aman, layakkah ia disebut beriman? Tidak.

Selanjutnya Nabi juga mewanti kaum beragama, sesungguhnya taka da agama bagi orang yang tak menepati janji. Janji yang pertama diikrarkan oleh manusia, adalah janji untuk tetap ber-tauhid, mengesakan Allah. Pengesaan Allah adalah sumber kebahagiaan dunia dan akhirat.

Penyembahan atas selain Allah akan menjerumuskan manusia pada kerusakan. Kata Umar bin Khattab, seorang sahabat yang berpikir “liberal”, bahwa manusia dilahirkan dalam kondisi “ahrar’, merdeka, maka perbudakan atas manusia adalah sebuah kejahatan besar.

Lantas, jika semua makhluk Allah setara di “mata-Nya”, maka apa alasan manusia serakah yang Nampak pada ekploitasi alam yang sebetulnya seperti boomerang yang suatu saat akan kembali kepadanya efek buruk jangka panjangnya? Wallahualam.

1 posts

About author
Guru dan Pegiat Literasi
Articles
Related posts
Esai

Ini Dia 6 Tantangan Tahun Pertama dalam Pernikahan

2 Mins read
Media sosial belakangan ini diramaikan oleh berita perceraian pasangan muda yang usia pernikahannya baru seumur jagung. Potret kemesraan yang mereka tampilkan di…
Esai

Arah Pembangunan Daerah Kota Bima

6 Mins read
KULIAHALISLAM.COM – Apa yang dibanggakan kita sebagai warga masyarakat kota Bima. Memang kita melihat semarak warga menyelenggarakan kegiatan lomba sepakbola mini, mini…
Esai

Kebijakan Pemimpin Daerah dan Kelompok Penghancur Masyarakat

3 Mins read
KULIAHAISLAM.COM – Yang pertama dan utama sekali adalah dari kelompok tertentu seperti lingkaran dinastik oligarkis, golongan tim sukses, dan kelompok relawan, mereka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Opini

Maraknya Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia

Verified by MonsterInsights