Keislaman

Hukum Rahn (Jaminan Utang) dalam Islam

5 Mins read

Kuliahalislam.Rahn ( tetap, kekal, sinambung dan tertahan/ jaminan). Sarana tolong-menolong bagi umat Islam tanpa adanya imbalan jasa. Orang yang berutang (rahin) tidak harus menjual barangnya untuk mendapatkan uang dan pemilik uang (murtahin) tidak perlu khawatir piutangnya tidak akan kembali karena sudah ada barang jaminan utang.

Ulama mazhab Hanafi mendefinisikan rahn sebagai menyediakan sesuatu ( barang) sebagai jaminan terhadap hak ( piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali mendefinisikannya sebagai menjadikan materi ( barang) sebagai jaminan terhadap utang yang secara paksa dapat dijadikan pembayaran utang apabila rahin tidak membayar utangnya.

Sementara itu ulama mazhab Maliki menambahkan bahwa yang menjadi jaminan tersebut tidak hanya bersifat materi (‘ain), tetapi dapat juga berbentuk manfaat, asal jangka waktu dan bentuk jasa yang diberikan cukup jelas. Selain itu barang yang dijadikan jaminan tersebut tidak harus berpindah tangan, tetapi cukup melalui Ijab ( ungkapan penyerahan barang jaminan oleh rahin) dan Kabul ( ungkapan menerima jaminan dan penyerahan uang tunai oleh murtahin) saja.

Perbedaan mendasar antara rahn dan gadai yang ada di Indonesia yaitu pada imbalan jasa atau presentasi tertentu dari pokok utang. Utang piutang dalam rahn pada prinsipnya tidak membawa risiko imbalan jasa. Murtahin tidak menerima keuntungan apa-apa dari pinjaman yang dia berikan. Imbalan jasa oleh para ulama, dianggap riba, karena rahn dalam Islam hanya merupakan sarana tolong menolong tanpa ada imbalan jasa yang harus diterima oleh murtahin. Lain halnya dengan gadai, imbalan jasa harus dipenuhi oleh rahin.

Akad rahn mempunyai dasar yang kuat di dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman : “Jika kamu dalam perjalanan ( dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh yang berpiutang)”, (Q.S 2:283).

Sekalipun ayat di atas menunjukkan akad rahn tersebut dalam perjalanan (safar) Tetapi tidak berarti di luar perjalanan tidak boleh dilakukan akad rahn, asal barang jaminan itu dapat langsung dipegang atau dikuasai secara hukum oleh murtahin. Tidak semua barang jaminan dapat langsung dipegang atau dikuasai murtahin. Misalnya, bila jaminan berupa sebidang tanah, maka yang dipegang oleh pemberi utang adalah sertifikat tanah tersebut bukan tanahnya.

Adapun dasar hukum rahn dalam hadis Rasulullah antara lain hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan. Dalam riwayat lain, Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah menjadikan baju besinya sebagai jaminan utang pada seorang Yahudi, lalu dengan uang tersebut ia membeli gandum untuk keluarganya, (H.R Ahmad, Bukhari An-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Berdasarkan hadis di atas, para ulama mengatakan bahwa akad rahn itu dibolehkan karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antara sesama manusia.

Sebagai sebuah transaksi, syarat-syarat rahn meliputi: syarat orang berakad dan syarat barang jaminan. Syarat orang berakad adalah cakap bertindak hukum. Anak kecil, orang gila, orang di bawah Pengampuan dan sejenisnya tidak dapat melakukan akad ini baik ia sebagai rahn maupun sebagai murtahin, karena rahn adalah akad yang berkaitan langsung dengan permasalahan harta.

Sementara itu, sigah ( lafal) akad rahn tidak boleh terkait dengan syarat apapun. Misalnya, disyaratkan bahwa jika tenggang waktu penulisan utang habis, barang jaminan tersebut tidak boleh dijual kecuali setelah beberapa lama. Syarat seperti ini tidak boleh ada karena dapat merugikan orang yang memberi utang. Tetapi jika syarat yang dikemukakan tersebut menguntungkan akad itu sendiri seperti akad itu harus disaksikan oleh dua orang saksi, maka syarat seperti ini dibolehkan karena sifatnya lebih memperjelas dan mempertegas status barang jaminan tersebut.

Syarat barang jaminan adalah sebagai berikut : (1). Barang jaminan itu milik rahn, (2). Nilai barang jaminan diperkirakan seimbang dengan nilai utang, (3). Identitas barang jaminan cukup jelas seperti satu hektar tanah di tempat tertentu dengan batas-batas yang jelas, (4). Barang jaminan merupakan barang yang halal bagi seorang muslim, (5). Barang itu bisa diserahkan, baik bendanya maupun manfaatnya dan (6). Barang jaminan tersebut bisa dijual.

Akad rahn baru dikatakan sempurna apabila syarat-syarat di atas dipenuhi, uang yang dibutuhkan telah diterima oleh rahn dan barang jaminan telah dikuasai oleh murtahin secara hukum (qabd al-marhun). Syarat yang terakhir ini menjadi sangat penting karena didasarkan pada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 283.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal pemanfaatan barang jaminan oleh murtahin. Mayoritas ulama selain ulama mazhab Hanbali berpendirian bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan tersebut karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Haknya terhadap barang dipegangnya hanyalah sebagai pemegang barang jaminan utang yang diberikan.

Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia dapat menjualnya sebagai pelunasan piutangnya. Mereka mendasarkan pendiriannya pada sabda Nabi yang artinya : ” Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya karena hasil dari barang jaminan dan resiko yang timbul atas barang tersebut menjadi tanggung jawabnya”, (H.R al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).

Ulama mazhab Hanbali mengatakan bahwa murtahin boleh memanfatkan barang jaminan apabila barang tersebut berupa binatang ternak sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya untuk pemeliharaan ternak tersebut. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang artinya : ” Binatang ternak jika dijadikan barang jaminan utang(rahn) boleh dikendarai atau diambil air susunya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan hewan tersebut”, (H.R Bukhari, at-Tirmidzi, dan Abu Daud dari Abu Hurairah).

Ulama dari kalangan mazhab Hanafi mengatakan, jika yang dijadikan barang jaminan adalah hewan ternak maka murtahin baru dapat memanfaatkan hewan tersebut apabila mendapat izin dari rahin. Tetapi ulama mazhab Maliki mengatakan bahwa murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan, apabila hewan tersebut dibiarkan saja tanpa diurus oleh rahin.

Para ulama juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan oleh rahin. Mayoritas ulama selain ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa rahin tidak boleh menggunakan barang yang telah dijadikan jaminan utang. Menurut ulama mazhab Hanafi, rahn baru boleh memanfaatkan barang jaminan jika diizinkan oleh murtahin, begitu juga sebaliknya.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh ulama mazhab Hanbali. Mereka mempunyai prinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan mengikuti barang itu sendiri. Dengan demikian apabila barang itu menghasilkan atau merugikan, maka segalanya ikut menjadi jaminan bersama barang tersebut. Kedua belah pihak apabila ingin memanfaatkan barang tersebut haruslah mendapatkan izin dari pihak lain. Sementara itu ulama mazhab Maliki mengatakan bahwa sekalipun mendapatkan izin dari murtahin, rahin tidak boleh memantapkan barang tersebut.

Akan tetapi ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa rahin boleh memanfaatkan barang yang telah dijadikan jaminan utang asal tidak mengurangi kualitas dan kuantitas barang itu karena untung rugi barang tersebut menjadi hak rahin sesuai dengan makna hadis riwayat Imam Bukhari, at-Tirmidzi, dan Abu Daud dari Abu Hurairah di atas. Namun apabila pemanfaatan barang jaminan itu oleh rahin berakibat merugikan barang itu sendiri secara kuantitas dan kualitas maka dia tidak boleh memanfaatkannya.

Kekhawatiran para ulama tentang pemanfaatan barang jaminan baik oleh rahin maupun murtahin adalah agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba. Para ulama juga menetapkan bahwa apabila ketika akan berlangsung ditentukan syarat bolehnya pemanfaatan barang jaminan oleh kedua belah pihak, maka akan tersebut dianggap tidak sah sebab hal ini bertentangan dengan akad rahn yang sifatnya hanya sebagai jaminan atau kepercayaan saja.

Tentang nafkah barang yang dijadikan jaminan tersebut, para ulama sepakat bahwa nafkah tersebut menjadi tanggung jawab rahin, sesuai dengan Hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, at-Tirmidzi, dan Abu Daud. Tetapi ulama mazhab Hanafi telah melibatkan pembiayaan ini kepada murtahin karena menurut mereka, barang tersebut menjadi amanah di tangannya dan amanah harus dipelihara oleh pemegangnya. Oleh sebab itu, segala biaya yang diperlakukan untuk kebutuhan barang tersebut juga menjadi tanggung jawab murtahin.

 

214 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
Keislaman

Rekonstruksi Makna Wahyu: Paradigma Baru dalam Ulumul Quran

2 Mins read
Konsep wahyu dalam kajian Ulumul Quran merupakan fondasi yang menjelaskan bagaimana Al-Quran dipahami sebagai kalam Ilahi yang turun kepada Nabi Muhammad SAW…
KeislamanSejarah

Imam as-Sakhawi Sejarawan Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Imam As-Sakhawi (as-Sakha, Cairo, 1427-Madinah, 1497). Ia merupakan ahli hadits, ulama produktif dan sejarawan Islam besar pada zamannya. Nama lengkapnya adalah Abu…
Keislaman

Silsilah Az-Zahab Dalam Ilmu Hadis

3 Mins read
Kuliahalislam.Silsilah az-Zahab (untaian emas) merupakan istilah dalam ilmu hadits ketika membicarakan sanad ( para penutur hadis) dari perawi sampai kepada Rasulullah Muhammad…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights