Kuliahalislam.Muhasamah berasal dari kata saham yang berarti saling memberi bagian (saham). Perserikatan dagang dalam bentuk jual beli sebagian modal perusahaan (saham) kepada masyarakat dengan ketentuan imbalan sesuai presentasi modal yang diberikan.
Perusahaan saham atau bursa saham belum dijumpai dalam fiqih klasik. Pembahasannya baru dan dikenal dengan istilah “Syirkah al-asham ( perserikatan dalam modal). Definisi saham menurut ulama Fiqih modern adalah sebagian modal perusahaan yang diperjualbelikan kepada masyarakat dengan ketentuan bahwa imbalan yang diberikan kepada pemilik modal sesuai dengan persentase modal masing-masing dan dibayarkan pada waktu yang telah ditentukan.
Dalam akadnya, apabila perusahaan mendapat keuntungan maka pemilik saham hanya akan menerima imbalan sesuai dengan presentasi model yang diberikan. Begitu pula sebaliknya, jika perusahaan mengalami kerugian maka pemilik saham pun ikut menanggung kerugian sesuai dengan persentase modalnya.
Karena itu, musahamah dimasukkan oleh para ahli fiqih modern sebagai salah satu bentuk Syrikah. Dalam akad musahamah, perusahaan berupaya untuk mencari modal sebanyak-banyaknya dari masyarakat melalui penjualan saham. Hal ini bertujuan agar model perusahaan menjadi lebih besar, lebih bonafide dan dapat dijalankan dengan baik guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Dalam sistem ekonomi modern, penjualan saham kepada masyarakat diatur melalui undang-undang dan dilakukan dalam sebuah lembaga keuangan yang disebut dengan Bursa Efek atau pasar modal. Para ahli fiqih modern mengemukakan syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar akad Musahamah dapat diterima sebagai salah satu bentuk muamalah dalam Islam.
Syarat dan rukun yang dikemukakan itu sebagai berikut. Pertama, adanya ijab dan kabul secara jelas yaitu melakukan transaksi secara nyata berupa penyerahan tanda bukti saham oleh perusahaan kepada peserta dan peserta menyerahkan uang secara tunai kepada perusahaan sebagai tanda keikutsertaannya sebagai pemegang modal.
Kedua, komoditi yang diperdagangkan oleh perusahaan itu bukan komoditi yang dilarang syariat. Jika perusahaan memproduksi benda yang diharamkan syariat, maka akad itu dianggap tidak sah karena Islam melarang memperjualbelikan benda yang diharamkan.
Ketiga, kedua belah pihak adalah orang yang cakap bertindak hukum. Keempat, adanya persetujuan yang jelas tentang bagian masing-masing pemilik modal sesuai dengan waktu yang ditentukan. Kelima, keuntungan dan kerugian yang diderita oleh perusahaan menjadi tanggung jawab bersama sesuai dengan persentase saham masing-masing.
Bentuk akad Musahamah yang digambarkan di atas dapat diterima oleh ulama Fiqih sebagai salah satu bentuk kerjasama dagang karena seluruh syarat dan rukun satu perserikatan dagang dapat dipenuhi oleh akad ini. Namun, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang kategori perilaku ekonomi yang ditempuh melalui lembaga Bursa Efek ke dalam akad Musahamah, terutama tentang perbedaan penawaran antara harga saham secara nominal ( tercantum dalam lembar saham) dan harga yang ditawarkan.
Misalnya, saham perusahaan A memiliki harga nominal Rp1. 000, lalu saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat dengan harga perdan Rp. 10.000. Besarnya selisih antara harga nominal dan harga perdana tersebut berkaitan dengan perilaku ekonomi di Bursa Efek dalam menetapkan harga penjualan satu saham perusahaan, dimasukkan perkiraan laba ( deviden) yang akan dibagi, ditambah dengan kepiawaian direksi mengolah perusahaan tersebut.
Semakin baik pengelolaan dan prospek suatu perusahaan, diperkirakan semakin besar laba yang akan diperoleh sehingga penawaran harga saham di Bursa Efek semakin besar, sekalipun nilai nominal yang tercantum dalam suasana tetap.
Permasalahan bagi ulama terletak pada kelebihan uang dari harga nominal saham tersebut serta kemungkinan melesetnya perkiraan prospek perusahaan itu. Dalam hal ini terdapat unsur spekulasi yang amat besar. Prospek yang diperkirakan itu bersifat abstrak, sehingga jual beli saham melalui Bursa Efek sama dengan memperjualbelikan sesuatu yang abstrak.
Unsur spekulasi yang cukup besar bisa terjadi melalui persekongkolan antara penjamin emisi (underwriter) dan perusahaan pemilik saham sehingga harga saham perusahaan itu bisa dipermainkan. Bisa juga unsur spekulasi mungkin dari sikap sekelompok orang yang memborong saham suatu perusahaan pada saat harganya murah dan menjualnya ketika harga saham itu melonjak.
Oleh sebab itu, para ulama mengemukakan berbagai pandangannya tentang hukum jual beli saham di Bursa Efek. Menurut Khalid Abdurrahman Ahmad ( Ekonom Islam Arab Saudi), saham yang diperjualbelikan di Bursa Efek tidak dibenarkan oleh syariat Islam.
Alasannya yang pertama, selisih uang antara harga saham dan harga nominal tidak diketahui wujudnya dan tidak diperhitungkan ketika pembagian keuntungan perusahaan itu dibagikan kepada pemilik saham.
Karenanya, jual beli saham mengandung unsur penipuan yang besar. Kedua, perusahaan yang menjual sahamnya tidak lagi didirikan melalui aktivitas anggota pemegang saham seperti jatuh dalam fiqih muamalah Islam tetapi telah berubah fungsi menjadi perusahaan penimbun kekayaan. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam karena Islam menghendaki kekayaan suatu perusahaan muncul dari usaha dalam mengelola dan memproduksi suatu perusahaan.
Ketiga, batas waktu berakhirnya persekutuan pemilik saham tidak jelas (majhul). Unsur ketidakjelasan dalam transaksi apapun tidak dibenarkan dalam muamalah Islam. Keempat, untung dan rugi yang menimpa perusahaan tidak mempengaruhi harga saham di pasar modal, sehingga pemilik saham akan senantiasa mendapat laba.
Kelima, komisaris dan anggota direksi selaku pengelola perusahaan selalu memperoleh keuntungan. Padahal menurut ajaran Islam, upah yang diterima Seseorang di perhitungkan dari untung dan ruginya suatu perusahaan. Tentang halalnya transaksi saham melalui Bursa Efek juga muncul dari majelis fatwa syariat Kuwait.
Alasannya, unsur-unsur Syrikah al-Asham yang dikenal dalam Fiqih Islam tidak terlihat dalam Bursa Efek. Di samping itu, dalam kegiatan ini sangat menonjol unsur penipuan (gurur). Para ulama dan peminat hukum Islam di Indonesia mengemukakan beberapa pendapat.
Dr. H. Peunoh Daly ( pakar syariat UIN Jakarta) mengatakan bahwa jual beli saham di Bursa Efek mengandung Gurur. Hal ini dilarang dalam Islam. Menurutnya jual beli saham sama dengan memperjualbelikan ikan dalam kolam yang tidak diketahui jumlahnya atau menjual buah-buahan di pohon dan belum matang.
Unsur spekulasinya terlalu besar, sehingga bisa mencelakakan orang banyak. Sikap ini dilarang oleh syariat Islam. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Dr. H. Satria Effendi ( dosen Fiqih Islam fakultas Pascasarjana UIN Jakarta). Menurutnya, transaksi jual beli saham mengandung dua kemungkinan yaitu Gubun Fahisy ( kerugian besar) dan Gubun Yasir ( kerugian ringan).
Dalam jual beli apabila muncul unsur penipuan yang berakibat kepada kerugian ringan maka masih dimafkan oleh Islam. Namun apabila itu mengalami kerugian yang besar, maka tidak diperbolehkan oleh syariat Islam. Hal ini merusak moral masyarakat dalam perilaku ekonomi.
KH. Ali Ya’fie menyatakan, transaksi melalui Bursa Efek hukumnya haram karena memiliki unsur spekulasi yang tinggi sehingga hampir sama dengan judi.
Dr. H Ali Akbar menyatakan dalam jual beli saham itu ada unsur perjudian, spekulasi dan keinginan untuk cepat kaya. Dalam perdagangan saham keuntungan tetap berada pada pemilik perusahaan bukan pemegang saham.
Sebaliknya, menurut Prof. Dr. KH Ibrahim Hosen menyatakan bahwa penjualan saham di Bursa Efek yang melebihi harga nominalnya itu tidak membuat hukum jual beli batal karena hal itu sesuai dengan tuntutan pasar. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, menyatakan bahwa jual beli saham diperkenankan dalam Islam.
Transaksinya dapat dilakukan di Bursa Efek maupun di tempat lain karena transaksi tersebut telah memenuhi syariat dan rukun jual beli menurut hukum Islam. Dr. Munawir Sjadzali menyatakan bahwa Bursa Efek tidak berbeda dengan bursa komoditi lainnya. Masalah naik turunnya harga sama dengan naik turunnya komunikasi lain yang terjadi karena permintaan dan penawaran.