Ilmu Laduni merupakan pengetahuan yang diperoleh
seseorang yang sholeh dari Allah melalui Ilham dan tanpa dipelajari lebih
dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut
bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas
kehendak dan karunia Allah.
Di dalam tasawuf dibedakan tiga jenis alat untuk
komunikasi rohaniah yaitu Kalbu (hati nurani) untuk mengetahui sifat-sifat
Tuhan, Ruh untuk mencintai-Nya dan bagian yang paling dalam yakni Sirr (rahasia)
untuk Musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran dan kemuliaan Allah
secara yakin, sehingga tidak terjajah oleh nafsu amarah) kepada-Nya.
Meskipun dianggap memiliki hubungan misterius dengan
jantung secara jasmani, kalbu bukanlah daging atau darah melainkan suatu benda
halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu. Lapisan
dalam dari kalbu disebut dengan roh sedangkan bagian yang terdalam dinamakan Sirr,
kesemuanya itu secara umum disebut hati.
Apabila ketiga organ tersebut telah disucikan
sesuci-sucinya dan telah dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi
dengan zikir yang mendalam, maka hati itu akan dapat mengetahui Tuhan. Tuhan
akan melimpahkan nur (cahaya) keilahian-Nya kepada hati yang telah suci itu.
Hati seperti ini diumpamakan oleh kaum Sufi dengan sebuah cermin.
Apabila cermin itu telah dibersihkan dari debu dan
noda-noda yang mengotorinya niscaya ia akan mengkilat, bersih, dan bening. Pada
saat itu cermin tersebut dapat memantulkan gambar apa saja yang ada dihadapannya. Demikian pula hati manusia. Apabila ia telah bersih, Ia akan dapat
memantulkan segala sesuatu yang datang dari Tuhan. Pengetahuan ini disebut Makrifat
Musyahadah atau ilmu Laduni.
Semakin tinggi Makrifat seseorang semakin
banyak pula ia mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan ia semakin dekat
dengan-Nya. Meskipun demikian, memperoleh Ma’rifat atau ilmu laduni yang
penuh dengan rahasia-rahasia Ketuhanan tidaklah mungkin karena manusia terbatas
sedangkan ilmu Allah tanpa batas seperti yang dikatakan oleh Al Junaid (Sufi
modern) yang menyatakan bahwa : “Cangkir teh tidak akan dapat menampung
segala air yang ada di samudera”.
Keberadaan dan status ilmu Laduni ini bukanlah tanpa
alasan. Para Sufi merujuk keberadaan ilmu ini pada Alquran (Q.S 18 ayat 60-82)
yang memaparkan beberapa episode tentang kisah Nabi Musa Alaihissalam dan Nabi
Khidir Alaihissalam.
Dalam episode pertama, Nabi Musa Alaihissalam
diperkenankan oleh Nabi Khidir Alaihissalam mengikutinya dengan syarat tidak
boleh menanyakan apa saja yang diperbuatnya. Perbuatan pertama yang dilakukan
oleh Nabi Khidir as ialah melubangi Perahu. Melihat perbuatan tersebut Nabi
Musa Alaihissalam bertanya : “ Mengapa engkau melubangi perahu itu yang
akibatnya bisa menenggelamkan penumpangnya ? “.
Karena mendapat pertanyaan tersebut Nabi Musa segera
mendapat teguran Nabi Khidir Alaihissalam.Dalam episode kedua, Nabi Khidir membunuh
seorang pemuda dan hal itu mendapat keritik Nabi Musa. Nabi Khidir menegur Nabi
Musa agar tidak bertanya lagi. Pada episode ketiga, Nabi Khidir membangun rumah
yang hampir runtuh. Nabi Musa berkata : “Jika kamu mau, niscaya kamu ambil upah untuk itu”.
Dengan episode ketiga, berakhirlah kisah antara Nabi
Musa dan Nabi Khidir. Nabi Khidir menjelaskan rahasia perbuatannya kepada Nabi
Musa. Ia melubangi perahu itu agar perahu itu terhindar dari perampasan
penguasa karena perahu itu milik orang miskin. Ia membunuh pemuda itu karena ia khawatir pemuda itu akan menyeret kedua orangtuanya pada kesesatan dan kekufuran.
Ia membangun dinding yang hampir runtuh karena rumah itu milik dua anak yatim yang berayahkan orang shaleh yang dibawah rumahnya ada harta simpanan bagi mereka.
Kisah tersebut dijadikan oleh para Sufi sebagai dalil keberadaan ilmu Laduni. Sufi memandang Nabi Khidir memiliki ilmu Laduni sedangkan Nabi Musa sebagai orang yang mempunyai pengetahuan biasa dan ilmu lahir. Ilmu tersebut dinamai ilmu Laduni karena di dalam Surah al-Khafi ayat 65 disebutkan “Wa ‘allamnahu min ladunna ilman (dan yang telah Kami ajarkan kepada Khidir ilmu dari sisi Kami).
Dengan demikian, ilmu yang diterima langsung oleh hati manusia melalui ilham, iluminasi (penarangan) atau inspirasi dari Tuhan disebut ilmu Laduni. Tasawuf termasuk ilmu Laduni karena ilmu tersebut diterima langsung oleh Sufi dari Tuhan-Nya setelah ia membersihkan hatinya dengan Riadat dan Mujahadat (kesungguhan).
Riadat dan Mujahadat menghasilkan Musyahadah (tembus pandang) pada keilahian Tuhan setelah terbukanya dinding pembatas antara hamba dan Tuhan-Nya. Ketika itulah seseorang menerima limpahan ilmu Laduni.