Tak bisa dipungkiri pembicara mengenai seputar divine predestination (al-qada’ wal qadr) dan human free will dan free act (al-Qadariyah) menjadi topik penting dalam teologi. Qadariyah adalah paham teologi yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan (qudrah) dan memiliki kebebasan penuh untuk mewujudkan perbuatannya.
Dengan kata lain, manusia sendiri yang menciptakan perbuatan dan ia sendiri yang harus bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut. Sementara itu, paham human predestination merupakan ciri khas Jabariyah (fatalisme) yang menegaskan bahwa manusia tidak mempunyai pilihan dan kebebasan untuk mewujudkan tindakan.
Dalam hal ini, semua tindakan manusia diyakini sebagai intervensi Tuhan karena itu paham ini lebih menekankan pada kemahakuasaan Tuhan. Baik Qadariyah maupun Jabariyah melegitimasikan diri dengan ayat-ayat Alqur’an dan menafsirkannya sesuai dengan paham yang dianut.
Sebenarnya, paham Qadariyah mendasarkan diri pada Surat Al-Kahfi ayat 29 dan Yunus ayat 44. Allah SWT berfirman:
وَقُلِ الْحَـقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَمَنْ شَآءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَآءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ اِنَّاۤ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًا ۙ اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۗ وَاِنْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمَآءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَ ۗ بِئْسَ الشَّرَابُ ۗ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا
Artinya: “Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahf [18]: 29).
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْـئًا وَّلٰـكِنَّ النَّاسَ اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri.” (QS. Yunus [10]: 44).
Sementara paham Jabariyah mendasarkan diri antara lain pada Surat As-Saffat ayat 96, dan Al-Insan ayat 30. Allah SWT berfirman:
وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As-Saffat [37]: 96).
وَمَا تَشَآءُوْنَ اِلَّاۤ اَنْ يَّشَآءَ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Artinya: “Tetapi kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan [76]: 30).
Kebebasan menurut sekte-sekte
Kita tahu, persoalan kebebasan bertindak adalah persoalan dialektika antara perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Menurut Asy’ariyah, perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan. Sebaliknya, Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan manusia merupakan kreasi manusia sendiri. Sementara Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan dalam bentuk daya.
Dalam artian, pemakaian daya adalah wewenang manusia. Namun, pada hakikatnya, perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri. Maturidiyah mencoba menyintesiskan aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah, walaupun kesimpulan akhir kelihatan lebih dekat dengan aliran Mu’tazilah.
Paham Qadariyah dilekatkan pada aliran Mu’tazilah. Di antara perintis aliran ini adalah Washil bin Atha’. Sebagai respons terhadap kondisi sosial politik zalim pada masa Umayyah (41-131 H), Washil merumuskan konsep teologis tentang keadilan dan tauhid.
Dari konsep ini kemudian muncul prinsip kebebasan dan kemampuan manusia untuk berbuat tanpa campur tangan dari Tuhan. Karena itu, menurut prinsip ini, sebuah objek mustahil dipengaruhi oleh dua daya sekaligus dalam waktu bersamaan. Karena itu, semua perbuatan yang muncul dari manusia merupakan hasil dari daya, kehendak, dan perbuatan manusia sendiri.
Tak berhenti di situ, keadilan merupakan sifat tertinggi Tuhan. Di antara sifat Tuhan yang penting adalah Maha Adil. Karena keadilan Tuhan, manusia diberi kebebasan untuk berkehendak dan bertindak. Kalau perbuatan manusia ditentukan oleh Tuhan secara mutlak, bukan atas kehendak bebas manusia sebagaimana dalam paham Jabariyah, maka akan bertentangan dengan sifat keadilan Tuhan.
Jika manusia berbuat dosa atas kehendak Tuhan, kemudian manusia dihukum dengan dimasukkan ke neraka atas perbuatan yang tidak dikehendakinya tersebut, maka tentu ini tidak sesuai dengan paham keadilan. Sesuai dengan paham keadilan, hanya jika manusia berbuat dosa atas kehendaknya sendiri lalu dihukum atas dosa tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Salah seorang tokoh dan pemikiran Mu’tazilah Al-Jubbai, menegaskan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatan; manusia berbuat baik atau buruk, patuh atau tidak patuh kepada Tuhan berdasarkan kehendak dan kemauan sendiri.
Daya untuk melakukan semuanya itu telah ada dalam diri manusia. Daya itulah yang diciptakan oleh Tuhan, bukan perbuatan manusia yang diciptakan oleh Tuhan. Inilah menurut Al-Jubbai maksud dari pernyataan “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya.”
Lebih dari itu, bagi Mu’tazilah, keadilan Tuhan dan kebebasan manusia merupakan dua hal yang niscaya. Kebebasan manusia dalam konteks ini dinilai sebagai bentuk tafwid (pelimpahan wewenang/kuasa) dari Tuhan.
Tidak lain bertujuan untuk menjaga agar rasionalitas keberagamaan dan persepsi ketuhanan tidak justru mereduksi prinsip tauhid dan berujung pada egoisme manusia. Prinsip pelimpahan wewenang ini selaras dengan konsep khalifah, sebagaimana telah ditegaskan dalam wahyu.
Kebebasan untuk berkehendak dan bertindak
Pastinya, kebebasan untuk berkehendak (free will) dan bertindak (free act) juga sangat berkaitan dengan prinsip rasionalitas. Tidak ada kebebasan tanpa rasionalitas, dan tidak ada rasionalitas tanpa kebebasan. Akal manusia mampu mengetahui hal yang baik dan hal yang buruk.
Pengetahuan tentang baik dan buruk ini menimbulkan pengetahuan lain, yakni pengetahuan tentang kewajiban untuk melaksanakan hal yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk. Hal ini selaras dengan perintah ayat al-Qur’an kepada manusia untuk “berpikir”, “memahami”, dan “merenungi”. Semuanya menuntut adanya kebebasan (freedom).
Karena itu, kebebasan yang pertama dan utama adalah kebebasan dalam berpikir. Kebebasan dan rasio (reason) merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Abdul Karim Soroush menyatakan, bahwa kebebasan merupakan bagian dari rasionalitas kemanusiaan, sementara rasio membutuhkan spirit kebebasan.
Bagi Soroush, kebebasan bukan sekadar rasa, tetapi alat yang diperlukan (necessary tool) dalam mengungkap kebaikan dan kebenaran. Kebenaran itu sendiri merupakan hal yang tidak mudah untuk diungkap. Dalam bahasa fikih, pengungkapan kebenaran disebut sebagai ijtihad yang secara bahasa bermakna “usaha secara sungguh-sungguh”. Proses yang tidak mudah ini memutlakkan spirit kebebasan sebagai daya pacu.
Tentu saja, kebebasan dalam hal ini tidak berlawanan dengan ketundukan pada kehendak Tuhan atau ketundukan pada hukum. Ketundukan kepada Tuhan bermakna menolak ketundukan pada sesama atau pada apa pun selain Tuhan. Ketundukan pada Tuhan membebaskan seseorang dari segala nafsu yang bersifat destruktif. Ketundukan pada Tuhan justru menjadi prasyarat adanya kebebasan.
Begitu juga dalam konteks hukum, hanya kebebasan rasional yang bisa dipertanggungjawabkan. Kebebasan rasional adalah kebebasan yang didasarkan pada tujuan luhur, bukan kebebasan yang mengarah pada kesewenang-wenangan. Hukum kadang membatasi kebebasan individual, tetapi sejatinya bermaksud untuk mewujudkan tujuan kolektif demi kebaikan hidup bersama. Wallahu a’lam bisshawaab.