Kodrat wanita harus melalui fase-fase sakit dan tidak mudah dari mulai hamil, melahirkan, hingga menyusui. Keadaan hamil dan menyusui yang susah payah (adanya masyaqqah) menyebabkan terjadinya hukum dibolehkannya tidak berpuasa. Allah Swt. berfirman, “Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqaf ayat 15).
Memang terdapat khilafiyah yang terjadi di kalangan para ulama mengenai cara mengganti puasa. Dari mulai pendapat hanya qadha saja, hanya fidyah saja, hingga harus kedua-duanya. Khilafiyah ini memang wajar, karena tidak ada nash yang jelas dan terperinci baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Ada yang mengqiyaskan ibu hamil dan menyusui pada orang yang sakit sehingga dihukumi dengan qadha, ada yang menyebutkan ayat alladzîna yuthîqûnahu, termasuk diantaranya adalah ibu hamil dan menyusui sehingga dihukumi dengan fidyah, dan seterusnya.
Kapan ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa?
Ibu hamil dan menyusui adalah golongan yang dibolehkan untuk tidak berpuasa karena kesusah payahannya. Bolehkah ibu hamil dan menyusui berpuasa? Secara hukum asal, puasa wajib bagi ibu hamil dan menyusui selama mereka mampu. Apalagi puasa itu menyehatkan. Dalam studi kedokteran di Kairo tentang perubahan kimiawi yang terjadi pada ibu hamil dan menyusui yang melakukan puasa, telah diperoleh hasilnya bahwa presentase gula darah tidak terpengaruh secara signifikan pada ibu hamil dan menyusui. Kemudian presentase lemak naik pada ibu hamil, namun dalam batas yang wajar.
Sehingga kesimpulannya bahwa tidak terdapat bahaya pada ibu hamil dan menyusui yang melakukan puasa. Hal ini dijelaskan oleh Yahya Abdurrahman al-Khatib dalam kitab Ahkam al-Mar’ah al-Hamil fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah. Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa kebolehan untuk tidak berpuasa berlaku selama adanya beban berat dan kesulitan. Bahwa pada kondisi-kondisi kesusahan dan kesakitan yang mengharuskan berbuka, tentu syariat membolehkan.
Sekilas tentang pendapat ulama
Dalam tafsir Ibnu Katsir (1/215), ada empat pendapat ulama tentang cara mengganti puasa ibu hamil dan menyusui. Pertama, kelompok ulama yang mewajibkan wajib qadha dan fidyah sekaligus. Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam Asy Syafii, jika si ibu mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya. Kedua, kelompok ulama yang mewajibkan fidyah saja, tanpa qadha.
Ini adalah pandangan beberapa sahabat Nabi, seperti Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma. Dari kalangan tabi’in (murid-murid para sahabat) adalah Said bin Jubeir,  Mujahid, dan lainnya. Kalangan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in) seperti Al Qasim bin Muhammad dan Ibrahim an Nakha’i. Ketiga, kelompok ulama yang mewajibkan qadha saja, tanpa fidyah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Seperti madzhab Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sedangkan Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan si ibu, atau keselamatan ibu dan janin (bayi) sekaligus. Keempat, kelompok ulama yang mengatakan tidak qadha, tidak pula fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiri.
Syaikh Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa ibu hamil dan menyusui mengganti puasanya dengan qadha. Hal ini juga dikemukakan Yahya Abdurrahman al-Khatib bahwa pendapat yang kuat adalah wajib qadha saja tanpa fidyah. Akan tetapi jika ibu hamil dan menyusui tidak mampu mengqadha, maka dipindahkan kepada hukum pengganti, yaitu membayar fidyah.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam Fiqhus Ash-Syiyam, bahwa membayar dengan fidyah saja lebih mendekati kebisaan muslimah terdahulu yang kehamilannya jarak dekat. Namun dalam konteks saat ini yang kehamilannya jarang, tertutama di kota-kota yang kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya.
Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah). Bahwa hukum ada bersama dengan alasannya, ada dan tidak adanya. Hukum dibangun atas prinsip meringankan dan menghilangkan kesulitan. Jika kesulitan tidak ada, maka tidak ada pula hukum tersebut.
Penutup
Dalam hal ini, muslimah harus pandai mengukur situasi kondisi yang dialaminya. Qadha berlaku selama ia mampu mengqadha. Jika tidak mampu, misalnya untuk wanita yang ditakdirkan hamil jarak dekat atau keadaan lainnya yang membuatnya tidak mampu mengqadha, maka cukup dengan fidyah. Alasannya agar tidak memberatkan para ibu hamil dan menyusui dan teknis pelaksanaannya bersifat memudahkan (QS. Al Baqarah: 185).
Wallahu a’lam