Seiring majunya era digital saat ini, fenomena-fenomena sosial juga turut mengalami perkembangan. Fenomena sosial yang dibalut oleh platform digital nampaknya memiliki pengaruh yang signifikan bagi khalayak umum. Mengingat setiap individu hampir seluruhnya memiliki perangkat digital yang memudahkan interaksi sosial menjadi lebih cepat dan mudah. Platform digital seperti forum diskusi online hingga media sosial telah mengubah cara berkomunikasi seseorang hingga memunculkan berbagai tren sosial yang dapat memengaruhi pola pikir masyarakat.
Salah satu fenomena sosial yang erat kaitannya dengan platform digital yaitu fenomena flexing. Dalam hal ini, flexing dimaknai sebagai perbuatan seseorang yang sengaja mempertontonkan atau memamerkan kekayaan atau pencapaian melalui platform media sosial. Secara bahasa, flexing merupakan suatu kata Bahasa Inggris yang berarti pamer. Jika dilihat dari konteks sosial kontemporernya, flexing diartikan sebagai suatu fenomena kompleks yang berisi perilaku memamerkan atau menunjukkan harta kekayaan.
Lebih jelasnya, pakar bahasa dalam Cambridge Dictionary menuliskan bahwa flexing merupakan suatu perbuatan atau perilaku bangga yang berlebihan terhadap sesuatu yang dimiliki, termasuk segala pencapaian seperti harta kekayaan untuk kemudian dipertontonkan kepada orang lain agar mendapat penilaian atau perhatian kesan dari orang lain.
Secara historis, kata flexing mulanya tidak diartikan untuk pamer. Istilah ini cenderung dimaknai sebagai ungkapan bahasa gaul yang berasal dari Amerika Serikat pada era tahun 90-an untuk menunjukkan sisi keberanian. kemudian pada tahun 2014, kata flex kembali menjadi sorotan setelah dinobatkan menjadi judul sebuah lagu yang dibawakan oleh Rae Sremmurd.
Dalam konteks lagu tersebut, kata flex bukan dimaksudkan untuk pamer, melainkan lebih pada sikap santai dan berani tampil beda tanpa terikat ekspektasi sosial. Sejak saat itu, makna kata flex mengarah pada konsep yang menunjukkan kekayaan atau keberhasilan sebagai bentuk kebanggan.
Adapun contoh flexing dalam media sosial diantaranya yakni memperlihatkan barang-barang mewah, dan pencapaian, hingga mempertontonkan acara televisi yang berisi kunjungan ke rumah-rumah public figure yang memiliki banyak fasilitas mewah. Secara tidak langsung, hal ini akan memberi dampak pada masyarakat sehingga merasa tertarik untuk mengikuti gaya hidup tersebut. fenomena ini kemudian berkembang menjadi tren yang mendorong individu untuk menilai kesuksesan berdasarkan pencapaian material.
Dari pemaparan tersebut, fenomena flexing memiliki dampak yang signifikan bagi pelaku maupun khalayak umum yang melihatnya. Secara psikologis, dampak bagi pelaku flexing cenderung memiliki tujuan untuk menunjukkan eksistensi mereka dalam struktur sosial. Sehingga, apabila mereka menganggap tidak mampu untuk menunjukkan hal-hal yang dianggap ‘wah’ akan merasa tidak pantas dan kepercayaan diri akan menurun.
Bagi khalayak umum, flexing terkadang dianggap memiliki dampak positif dengan menjadikannya sebagai suatu inspirasi atau motivasi dalam melakukan suatu hal. Meskipun demikian, fenomena flexing cenderung lebih dapat menimbulkan sifat iri hati dan dengki yang dapat mendorong orang lain untuk melakukan pencapaian serupa dengan cara apa saja.
Agama Islam telah mengajarkan kepada kita akhlak yang mulia dan melarang perbuatan yang tercela, salah satunya adalah riya’. Riya’ merupakan perbuatan memperlihatkan sesuatu kepada orang lain baik yang berkaitan dengan ibadah, atau perkara duniawi dengan tujuan agar mendapatkan pengakuan dari orang lain dapat menjadi suatu perbuatan syirik kecil yang berpotensi menjadi dosa besar. Terlebih, jika kita kemudian menganggap diri sendiri lebih baik dan lebih mulia dari pada orang lain hingga merendahkan atau memandang rendah orang lain.
Dalam Al-Qur’an, istilah flexing merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan term kesombongan. Seperti yang tertera dalam QS. al-Isra’[17]: 37,
وَلَا تَمۡشِ فِی ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّكَ لَن تَخۡرِقَ ٱلۡأَرۡضَ وَلَن تَبۡلُغَ ٱلۡجِبَالَ طُولاً
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesunggunya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.”
Menurut Isma’il Haqqi dalam kitab tafsirnya Ruh al Bayan, ayat ini menjelaskan tentang larangan yang ditegaskan kuat melalui kata مَرَحًا yang berarti sombong. Kata مَرَحًا merupakan bentuk mas}dar yang digunakan sebagai kata keterangan keadaan yang berarti keangkuhan dan kesombongan. Lebih lanjut, Isma’il Haqqi kemudian menukil pendapat Al-Kasyaf yang mengatakan bahwa berjalan dengan sombong adalah sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang angkuh, sebagaimana mereka berjalan dengan penuh kebanggaan.
Melalui ayat ini, Al-Qur’an seakan menanggapi fenomena flexing dengan adanya larangan untuk berjalan di bumi dengan sifat angkuh dan sombong. Sebab bagaimana mungkin manusia merasa dirinya tinggi dan memandang rendah orang lain sedangkan manusia itu sendiri bahkan tidak dapat menembus bumi dan tidak mampu menyaingi tingginya gunung dengan kesombongannya. Secara implisit, ayat ini seolah memberi ejekan kepada orang yang sombong sekaligus larangan untuk menjauhi sifat tersebut.
Kontekstualiasasi penafsiran ayat tersebut kiranya dapat diaktualisasikan melalui penguatan karakter. Penguatan karakter ini merupakan suata upaya penting, mengingat besarnya pengaruh flexing terhadap kesehatan psikologis dan moral. Dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n, penguatan karakter yang bersifat internal dapat ditempuh melalui penanaman rasa rendah hati dengan menyadari bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan dari tanah.
Melalui kesadaran ini, manusia akan memiliki sifat rendah hati dan menyadari bahwa semua yang dimilikinya merupakan bentuk kasih sayang Allah yang diberikan untuk hambanya. Dengan demikian, ia akan memahami bahwa kenikmatan tersebut bukanlah semata-mata miliknya untuk kemudian disombongkan dan menganggap diri lebih baik dari orang lain. Selain itu, bersikap rendah hati juga akan menciptakan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT.