Keislaman

Asabiah dalam Islam

4 Mins read

Kuliahalislam. Asabiah (al-‘Asabiyyah) artinya adalah semangat fanatisme atau kefanatikan golongan atau ketertarikan seseorang yang sangat kuat terhadap kelompok atau jamaahnya untuk membela dan mempertahankan prinsip-prinsipnya.

Maka kemudian muncullah istilah al-‘asabiyyah al-Islamiyyah ( semangat keislaman), al-‘asabiyyah al-jinsiyyah ( fanatisme kesukuan atau kebangsaan) yaitu paham pemisahan suatu bangsa dengan bangsa lain, al-‘asabiyyah al-‘qaumiyyah ( fanatisme kebangsaan, semangat kebangsaan).

Bentuk lain yang juga populer adalah ta’assub yang artinya tidak menerima kebenaran yang tidak sesuai dengan pendiriannya. Kata ‘ta’assub” berasal dari bentuk kata “ta’assaba” ( berpegang kuat) dan ta’assaba fi dinihi ( sangat kuat mempertahankan agamanya).

Para penulis mengartikan kata Asabiah ke dalam bahasa yang populer. Osman Raliby ( cendekiawan muslim Indonesia) mengartikannya dengan rasa golongan. Muhsin Mahdi ( sejarawan dan pengamat politik Islam) mengartikannya sebagai sosial solidarity ( solidaritas sosial).

Frans Rosenthal ( orientalis, sejarawan) menerjemahkannya menjadi group feeling ( perasaan golongan), Charles Issawi dan Philip K. Hitti mengartikannya dengan tribal spirit ( semangat kesukuan) atau the spirit of the clan ( semangat suku atau kaum).

Bangsa Arab terutama sebelum Islam, menganut sistem dan hidup dalam kelompok kekerabatan yang besar. Struktur masyarakatnya didasarkan pada susunan klan (clan organization) yang keanggotaannya didasarkan pada hubungan darah. Sistem hubungan demikian menumbuhkan solidaritas kesukuan yang kuat dan lebih jauh dapat menimbulkan Chauvinism ( sifat patriotik yang berlebih-lebihan); suku lain dianggap musuh yang harus dibinasakan.

Akibatnya sering terjadi konflik dan pertumpahan dalam suku. Suatu suku yang mempunyai asabiah yang kuat dapat menaklukkan suku-suku lain yang asabiahnya lemah. Suku seperti ini dapat pula membentuk kekuasaan dan tampil sebagai pemimpin bagi suku-suku yang ditaklukannya.

Asabiah juga dapat mengikat beberapa suku untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu merebut kepemimpinan dan kekuatan kolektif di antara banyak suku yang ada. Istilah Asabiah dikembangkan oleh Ibnu Khaldun, sebagai konsep dan teori yang berkaitan dengan sosial politik dan pertumbuhan suatu agama dan negara.

Menurut Ibnu Khaldun, Asabiah timbul secara alamiah dalam kehidupan manusia karena adanya pertalian darah atau pertalian perkauman (silah ar-rahm). Dengan kata lain, Asabiah adalah rasa cinta setiap orang terhadap nasab ( asal keturunannya) dan golongannya. Perasaan cinta dan kasih tersebut menimbulkan perasaan senasib sepenanggungan,harga diri, kesetiaan dan kerjasama dalam menghadapi musuh, musibah dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Pertalian yang demikian melahirkan persatuan dan pergaulan (al-ittihad wa al-iltiham). Pertalian semacam ini bisa juga terjadi karena Mawali ( penolong, pelindung) dan sekutu-sekutunya, seperti hubungan pertalian senasab. Karena itu konsep dan teori Asabiah mempunyai pengertian sempit dan luas.

Di dalam nasab khusus terdapat pergaulan kuat karena mereka merupakan satu keluarga, inilah Asabiah yang jelas dan nyata. Pengertian luas mencakup nasab-nasab lain yang disebut nasab umum. Karena pergaulan dan hubungan dekat, diantara nasab khusus dan umum akan lahir cinta kasih, yang pada gilirannya menimbulkan hal-hal positif seperti sebutkan di atas.

Karena cinta yang dievaluasi itu, terjadi pula yang disebut (Keluarga yang diperluas” (al-‘ailah al-mumtaddah/extended family). Dengan kata lain, Asabiah tumbuh karena seketurunan dan hubungan dekat. Bisa pula karena bertetangga, persekutuan atau hubungan antara pelindung dan yang dilindungi ( suku yang kuat terhadap suku yang lemah), yang dapat melahirkan cinta kasih, senasib, sepenanggungan dan kerjasama dalam menghadapi suka dan duka.

Bila Asabiah umum berjalan secara efektif, anggota keluarga suku-suku yang ada telah berintegrasi karena perkawinan, hubungan kerja dan usaha, profesi, ideologi dan paham, maka mereka tidak lagi mengetahui asal-usul keturunannya karena mereka merupakan generasi baru.

Dalam hal ini, Asabiah mereka bukan lagi berdasarkan pertalian darah itu tetapi berdasarkan hubungan-hubungan lain yang ini Asabiah dalam pengertian luas. Menurut Ibnu Khaldun, proses ini berjalan secara alamiah sesuai dengan watak alami manusia yang cenderung bermasyarakat dan bergaul dengan siapa saja.

Proses ini dapat menghasilkan suatu bangsa yang multienik, yang berbaur dan berintegrasi. Ibnu Khaldun mendasarkan teorinya pada realitas masyarakat yang disaksikannya pada zamannya. Asabiah bertujuan mewujudkan kekuasaan yang digunakan untuk memberikan perlindungan, pemeliharaan dan mencapai tujuan anggota dan masyarakat sepersekutuan.

Untuk mencapai semua itu, manusia memerlukan pimpinan yang mengayomi, untuk menjaga agar tidak terjadi permusuhan antara sesama. Karena itu, prinsip pemegang kekuasaan harus mempunyai suprioritas terhadap yang lain. Jika tidak dia tidak dapat melaksanakan secara efektif.

Kekuasaan itu dapat diperoleh dengan berbagai cara. Suatu suku yang kuat Asabiahnya dapat menempuh cara kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada suku-suku lain yang lemah. Berbagai suku tunduk pada suku yang memiliki suprioritas, sehingga menjadi suatu koalisi.

Jika suatu Asabiah telah mempunyai superioritas terhadap rakyatnya maka dia akan mencari superioritas atas rakyat dari asabiah-asabiahnya yang lain tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya. Namun, jika satu Asabiahnya sama kuatnya dengan Asabiah lain, mereka masing-masing tidak mempunyai daerah dan rakyatnya sendiri, sebagaimana halnya kabilah-kabilah dan bangsa-bangsa seluruh dunia.

Pandangan ini sejalan dengan lahirnya bangsa-bangsa di dunia berdasarkan nasionalisme yang menghimpun berbagai etnik. Dalam hal ini, tampak faktor-faktor yang menyebabkan tumbuhnya Asabiah dalam pengertian luas dan nasionalisme terhadap kesamaan.

Jika suatu Asabiah yang menaklukkan Asabiah lain dan di antara keduanya terjalin hubungan akrab, maka pihak yang menang memperoleh tambahan kekuatan dari pihak yang kalah. Namun pihak yang kalah suatu saat akan menuntut hak yang lebih tinggi dari tujuan semula ( superioritas dan dominasinya), sehingga kekuatannya menyamai kekuatan pihak yang berkuasa.

Sebaliknya, jika Asabiah yang berkuasa sudah lemah dan berusia lanjut dan diantara pemuka seasabiah tak ada yang mempertahankan kekuasaan maka Asabiah baru akan muncul merebut merebutkan kekuasaan.

Pandangan Ibnu Khaldun mengenai jatuh bangunnya Asabiah menyerupai kehidupan partai politik dalam suatu negara di zaman sekarang. Partai politik yang kuat akan berkuasa dan memerintah tanpa mengikutsertakan partai-partai yang lemah dalam pemerintahan.

Tetapi bila ada dua atau lebih partai yang memiliki kekuatan berseimbang maka akan terbentuk pemerintahan koalisi. Bisa juga terjadi dua atau lebih partai bergabung menghadapi dominasi partai yang kuat dan sedang berkuasa. Dalam versi Ibnu Khaldun, keberhasilan partai gabungan tersebut sangat bergantung pada kualitas Asabiah mereka.

Berkaitan dengan relevansi Asabiah dan agama, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekuatan suatu Asabiah tidak cukup pada kekuatan fisik tetapi harus memiliki kekuatan moral yang disarankan pada agama dan akhlak. Karena manusia itu pada dasarnya cenderung pada kebaikan dan kejahatan, sementara kekuasaan politik bertujuan untuk kebaikan maka dia harus berpegang pada agama dan moral untuk membimbing pada kebaikan.

Menurut Ibnu Khaldun, politik dan kekuasaan bertujuan melindungi rakyat dan melaksanakan hukum-hukum Allah terhadap mereka yang bertujuan untuk kebaikan dan memelihara suatu kemaslahatan serta pemerintahan. Suatu pemeliharaan dapat tegak dan menjadi besar karena agama.

Dakwah agama bisa menambah kekuatan Asabiah yang menjadi dasar tegaknya kekuatan suatu negara karena agama dapat menghapuskan persaingan yang tidak sehat dan permusuhan di antara pendukung Asabiah dan membimbing mereka pada kebenaran serta persamaan diantara mereka.

146 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
Keislaman

Syahwat Manusia dalam Perspektif Islam: Antara Naluri Fitrah dan Pengendalian Diri 

4 Mins read
Syahwat Manusia dalam Perspektif Islam: Antara Naluri Fitrah dan Pengendalian Diri Dalam pembahasan sebelumnya kita telah mempelajari beberapa Nafsu yang bersemayam dalam…
Keislaman

Nafsu Manusia Apakah Kawan atau Lawan? Begini Kata Quraish Shihab

4 Mins read
Sudah mafhum bahwa manusia untuk meraih kesuksesan dalam hidupnya terlebih dahulu harus mengenal dirinya sendiri, mengenal potensi di dalam dirinya dan juga…
KeislamanSejarah

Bangkit dan Runtuhnya Kesultanan Delhi di India

4 Mins read
Kesultanan Delhi merupakan kerajaan Islam di India Utara yang berkuasa sejak awal abad ke-13 sampai dengan awal paruh abad ke-16. Kesultanan Delhi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights