Di era serba digital seperti sekarang, hampir semua hal telah berpindah ke layar (Afifah et al. 2025). Dari surat menjadi pesan instan, dari papan tulis menjadi presentasi PowerPoint, bahkan dari buku menjadi e-book.
Banyak yang beranggapan bahwa buku digital adalah masa depan dunia literasi: ringan, praktis, dan bisa diakses di mana saja. Namun bagi saya, secanggih apa pun teknologi berkembang, aroma kertas dan sensasi membalik halaman tetap memiliki pesonanya sendiri sesuatu yang tak bisa digantikan oleh cahaya layar.
Perubahan cara membaca sebenarnya adalah bagian dari kemajuan zaman. Kini, orang tak perlu lagi membawa tas berat berisi buku. Cukup satu gawai kecil, ribuan judul bisa dibawa ke mana pun. Dari sisi efisiensi, tentu buku digital unggul jauh. Tak hanya hemat ruang, e-book juga ramah lingkungan karena tidak membutuhkan kertas. Generasi muda yang tumbuh di era internet pun lebih akrab dengan membaca lewat layar, bukan lewat halaman kertas.
Namun, saya pribadi masih percaya bahwa ada nilai yang hilang ketika pengalaman membaca sepenuhnya dipindahkan ke dunia digital. Membaca buku fisik bukan sekadar proses memperoleh informasi, melainkan sebuah perjalanan yang melibatkan emosi dan pancaindra (Nurrohim 2024).
Dari mencium aroma khas buku baru, merasakan tekstur kertas di jari, hingga mendengar suara lembut ketika halaman dibalik semuanya menciptakan kedekatan emosional antara pembaca dan bacaan.
Selain itu, membaca buku fisik membuat saya lebih fokus. Tidak ada notifikasi yang tiba-tiba muncul, tidak ada godaan untuk membuka media sosial atau berpindah aplikasi. Ketika membaca lewat layar, gangguan-gangguan kecil seperti pesan masuk, panggilan, atau sekadar notifikasi iklan sering kali mencuri perhatian (Cita Aprilda Kirana 2024).
Akibatnya, proses membaca menjadi terputus dan makna bacaan tak sepenuhnya terserap. Di buku fisik, semua itu tidak terjadi. Saya bisa tenggelam sepenuhnya dalam cerita, tanpa distraksi dari dunia luar.
Faktor kesehatan juga menjadi pertimbangan penting. Membaca lewat layar dalam waktu lama membuat mata cepat lelah, kering, bahkan nyeri. Cahaya biru yang dipancarkan gawai bisa mengganggu pola tidur dan konsentrasi.
Sementara membaca buku fisik terasa lebih alami bagi mata; cahaya berasal dari lingkungan sekitar, bukan dari layar yang menyorot langsung ke retina. Dalam jangka panjang, kebiasaan membaca buku fisik jauh lebih aman bagi kesehatan mata dan kualitas tidur.
Tentu saya tidak menutup mata terhadap kelebihan buku digital. Di dunia akademik, e-book sangat membantu karena bisa diunduh dengan cepat dan disimpan tanpa batas. Fitur pencarian kata, highlight digital, dan kemampuan menyalin kutipan membuat pekerjaan menjadi lebih efisien.
Saya juga menggunakan e-book untuk referensi cepat atau membaca artikel ilmiah yang sulit ditemukan dalam bentuk cetak. Namun, untuk menikmati bacaan yang benar-benar ingin saya resapi novel, buku filsafat, atau karya sastra saya tetap memilih versi fisiknya.
Buku fisik juga memiliki nilai sentimental yang tak tergantikan. Setiap buku bisa menjadi kenangan: coretan kecil di pinggir halaman, lipatan di sudut kertas, atau bahkan bekas noda kopi di sampulnya.
Semua itu adalah jejak pribadi yang menunjukkan bahwa buku tersebut pernah hidup bersama pembacanya. Buku digital, sebaliknya, terasa datar dan seragam. Tak ada kehangatan di layar yang dingin, tak ada kenangan yang tertinggal setelah file ditutup.
Selain itu, keberadaan buku fisik menciptakan hubungan sosial yang unik. Kita bisa meminjamkan buku kepada teman, memberi tanda tangan penulis, atau sekadar memajangnya di rak sebagai kebanggaan pribadi.
Rak buku di rumah bukan hanya dekorasi, tetapi juga cerminan perjalanan intelektual seseorang. Hal-hal seperti ini tidak bisa dirasakan lewat file PDF atau aplikasi pembaca e-book.
Perbedaan ini terasa sangat nyata ketika membaca Al-Qur’an di gawai, mushaf digital memang praktis tinggal buka aplikasi, ayat langsung muncul. Tapi rasanya tidak sama. Saat membaca Al-Qur’an dari mushaf fisik, ada perasaan tenang dan khusyuk yang sulit dijelaskan.
Tangan yang menyentuh lembaran mushaf, gerakan membalik halaman, dan suara lembut bacaan yang mengalun membuat hati lebih terhubung dengan makna ayat-ayat suci. Di layar, pengalaman itu terasa datar dan mudah terganggu; notifikasi pesan atau panggilan bisa memutus kekhusyukan dalam sekejap. Membaca mushaf fisik membuat kita lebih sadar bahwa ini bukan sekadar teks, tapi firman Allah yang layak dihormati dengan penuh khusyuk.
Namun, saya tidak berpikir bahwa buku fisik dan digital harus saling meniadakan. Keduanya bisa berjalan beriringan, saling melengkapi sesuai kebutuhan. E-book memudahkan akses dan efisiensi, sementara buku fisik menjaga keintiman dan kedalaman pengalaman membaca.
Hanya saja, dalam keseharian, saya tetap merasa bahwa membaca buku fisik membantu saya lebih “hadir” dalam proses memahami isi bacaan bukan sekadar menatap kata-kata di layar, tetapi benar-benar menyelami maknanya.
Di tengah derasnya arus digitalisasi, mempertahankan kebiasaan membaca buku fisik mungkin terlihat kuno. Tapi justru di situlah keindahannya: sebuah bentuk perlawanan kecil terhadap dunia yang serba cepat dan instan.
Buku fisik mengajarkan kita untuk melambat, menikmati setiap paragraf, dan menghargai waktu yang berjalan lebih tenang. Dalam keheningan lembar demi lembar halaman, kita menemukan kedamaian yang sulit didapat dari layar yang terus menyala.
Akhirnya, pertanyaan “mana yang lebih baik, buku fisik atau buku digital?” mungkin tak perlu dijawab dengan angka atau statistik. Jawabannya tergantung pada apa yang kita cari dari membaca itu sendiri. Jika hanya sekadar informasi, buku digital bisa jadi pilihan utama. Tapi jika kita ingin pengalaman membaca yang lebih personal, mendalam, dan bebas dari gangguan buku fisik tetap menjadi rumah terbaik bagi kata-kata.
Karena pada akhirnya, membaca bukan hanya tentang apa yang kita baca, tetapi bagaimana kita merasakannya. Dan bagi saya, tak ada yang bisa menandingi hangatnya aroma kertas dan tenangnya waktu yang mengalir di antara halaman-halaman buku yang nyata.

