Penulis: Pramudya Dhiwangkara*
Salah satu tema paling terkenal dan penting dalam sejarah pemikiran manusia adalah pertanyaan tentang bagaimana akal dan wahyu berinteraksi. Itu tidak pernah kehilangan pesonanya, meskipun telah menjadi bahan perdebatan selama lebih dari dua ribu tahun dan masih terus menjadi topik perdebatan sampai sekarang. Salah satu topik yang paling sering diperdebatkan dalam wacana teologi Islam adalah hubungan antara tujuan wahyu dan daya nalar. Tentang mengenal Tuhan, mengetahui seseorang harus mengenal Tuhan, mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui seseorang harus berbuat baik dan meninggalkan yang buruk adalah empat masalah dasar yang muncul dalam kaitannya dengan pertanyaan tentang kemampuan akal dan tujuan wahyu. Seberapa jauh akal masuk dalam memahami masalah ini? Dengan kata lain, dapatkah akal mengetahui keempat hal ini, atau dapatkah akal hanya mengetahui sebagian darinya dan sisanya harus ditemukan melalui wahyu pengetahuan?
Al-Ghazali adalah seorang ulama terkenal di dunia Islam dan salah satu tokoh mazhab Asy’ariah, yang mencoba menggabungkan bentuk ekstrim dari ortodoksi dan rasionalisme untuk mempromosikan gagasannya tentang kekuatan akal dan wahyu. Kebenaran ilmu menurut Al-Ghazali dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu kebenaran ilmu mu’amalah, yaitu kebenaran konkrit yang dapat diamati dengan menggunakan panca indera dan dapat dinalar dengan menggunakan akal, dan kebenaran ilmu mukasyafah, yaitu kebenaran abstrak yang terkandung dalam pikiran, transenden, dan nyata, dan satu-satunya cara untuk memahami ilmu ini adalah wahyu.
Al-Ghazali menegaskan bahwa hakikat wahyu sesuai dengan tujuan yang diembannya, yaitu untuk mengarahkan seluruh umat manusia agar hidup sampai akhir zaman sesuai dengan perintah-perintah Allah. Fungsi wahyu ini dipenuhi oleh firman Allah yang diberikan kepada Nabi. Hal ini membuktikan bahwa wahyu bersifat universal, lengkap, dan terjaga. Sedangkan akal, dalam pandangan Al-Ghazali, merupakan pusat aktivitas logika dan pengetahuan, mengolah informasi yang diperoleh dari indera sejalan dengan tuntutan pengetahuan tersebut. Al-Ghazali menegaskan bahwa persinggungan indera dengan objek menghasilkan pengetahuan dasar (konsepsi sederhana), yang disebut sebagai pengetahuan tasyawwur, dan hasil dari menghubungkan konsep-konsep sederhana ini adalah pengetahuan tashdiq.
Di sisi lain, Al-Ghazali memberikan prioritas tinggi pada akal, terutama ketika mempelajari hal-hal baru. Dia menekankan pentingnya akal baik dalam tindakan berpikir dan penalaran maupun dalam kapasitasnya untuk menciptakan informasi baru dari pengetahuan yang ada. Alasan adalah sumber informasi yang kuat dan faktual karena memungkinkan orang untuk menemukan fakta-fakta tertentu. Namun, harus ada dasar untuk pembenaran akal, dan dari dasar inilah keyakinan akan keunggulan akal atas gagasan lahir. Sumber ilmu tertinggi menurut Imam Al-Ghazali adalah intuisi bukan indra karena intuisi memiliki kapasitas dan potensi akal yang mampu memberikan keyakinan akan kebenaran (membenarkan) segala sesuatu yang berada di luar realitas rasional (metafisik). yaitu wahyu Allah. Ketika akal belum mampu memberikan keyakinan akan kebenaran, maka kedudukan akal terbatas hanya untuk memperoleh pengetahuan indrawi.
Al-Ghazali memberikan gambaran tentang bagaimana pikiran teoretis bekerja dan apa fungsinya. Manusia memiliki kapasitas untuk pengetahuan, atau alasan teoretis, yang mendorong keinginan mereka untuk mempelajari hal-hal baru. Oleh karena itu, pikiran teoretis berusaha untuk mengembangkan konten immaterial dan abstraknya. Derajat dan pembagian nalar teoretis itu sendiri digunakan untuk mengkategorikan kumpulan informasi yang diperoleh melalui penalaran teoretis. Al-Ghazali membaginya menjadi empat tingkatan dalam hal ini, antara lain:
Akal hayulani (akal material), karena materi adalah indra awal untuk mempelajari lebih lanjut tentang sifat benda, alasan ini berguna untuk memahami dan mempelajari tentang realitas material yang ada secara esensial. Akan tetapi, untuk mendapatkan seluruh kebenaran dari nalar hayulani ini, seseorang harus menggunakan indranya.
Akal naluri, setelah orang memiliki pemahaman dasar tentang beberapa ilmu, alasan ini bekerja dan bekerja. Kecerdasan ini ingin tahu tentang sifat realitas sebagaimana adanya saat ini. Tugas nalar intuitif adalah mencari kebenaran di luar realitas material. Pengetahuan manusia akan maju melampaui pemahaman mendasar melalui intelek, dan itu akan mengilhami kepercayaan pada kebenaran yang ditemukannya.
Akal aktif (akal aktual), tujuan dari pemahaman ini adalah untuk mempelajari hal-hal yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Ia memiliki informasi teoretis yang diperlukan untuk menciptakan kembali bentuk-bentuk rasional yang diakui.
Akal mustafad, pemahaman ini berperan lebih efektif daripada pemahaman sebelumnya . Al-Ghazali sangat mengidentifikasikan pikiran mustafad ini sebagai pikiran tingkat tinggi. Menurut Al-Ghazali, nalar mustafad ini memiliki banyak potensi kekuatan karena memungkinkan manusia untuk memahami dan mengidentifikasi sesuatu sekaligus menghubungkannya dengan nalar kesepuluh (nalar fedal). Pada kenyataannya, itu mirip dengan dasar-dasar keberadaan.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam menempatkan akal pada posisi yang disebut dalil ‘aqly, dimana wahyu diposisikan sebagai dalil naqliy (nash), dan akal diposisikan sebagai dalil ‘aqly (aqly). Alhasil, nalar harus terbuka terhadap wahyu dan mampu menerka menggunakan indra dan intuisi karena positioning tersebut.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.