Artikel

Abu Yazid Al Bustami Sufi Pecipta Konsep Al- Ittihad dalam Tasawuf

4 Mins read

Abu Yazid Al-Bustami lahir di Bistam, wafat di
Iran tahun 261 H/874 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa bin
Surusyan. Dikenal juga dengan nama Bayazid. Bayazid Al-Bustami merupakan
seorang Sufi dan wali terkenal di Persia (Iran) pada abad ketiga hijriah. 

Ia
lahir di Bistam, wilayah Qum di Persia Barat Laut. Tahun dan kelahirannya tidak
diketahui. Dijelaskan bahwa ia berasal dari lingkungan keluarga terhormat dan
terpelajar. Ayahnya bernama Isa bin Surusyan adalah pemuka masyarakat di Bistam
sedangkan ibunya dikenal sebagai orang yang zuhud. Kakeknya sebelum masuk Islam penganut Majusi.


Pada mulanya Al-Bustami mempelajari fikih Mazhab
Hanafi. Kemudian mendalami tasawuf teru
tama mengenai tauhid dan hakikat (at-tawahid wa al-haqa’iq) di samping
pengetahuan tentang fana. Sebagian besar kehidupannya sebagai Sufi dan ahli
ibadah dijalaninya di Bistam. Ia terpaksa meninggalkan kota kelahirannya dalam
waktu yang lama untuk menghindari tekanan ulama teologi yang memusuhinya.

Al-Bustami tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia
mewariskan sejumlah ucapan diungkapan mengenai pengalaman tasawufnya yang
disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab klasik
seperti Ar-Risalah al-Qusyairiyyah,
Tabaqat as-Suffiyah
(Tingkatan-tingkatan Sufi), Kasyf al-Mahjub (Menyingkap Tabir), Tazkirah al-Auliya (Peringatan Para Wali) dan al-Luma’ (Yang Cemerlang).


Sebagian dari ungkapannya dipertanyakan kebenarannya
dan sebagian cerita mengenai kekeramatannya dianggap sebagai legenda. Di antara
ungkapannya disebut oleh kalangan Sufi dengan istilah Satahat (ecstatic utterances)
yaitu ucapan Sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad (Kesatuan Dengan Allah) ucapan dan ungkapannya yang
digolongkan satahat :

‘Maha suci aku
(subhani), alangkah agung kebesaranku

Tiada ada Tuhan
kecuali aku, maka sembahlah aku

Aku tidak heran
terhadap cintaku pada-Mu

Karena aku
hanyalah hamba yang hina

Tetapi aku heran
terhadap cinta-Mu padaku karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa”

Yang kukehendaki
dari Tuhan hanyalah Tuhan,

Manusia tobat dari
dosa-dosa mereka, tetapi aku tobat dari ucapanku,

Baca...  Jasad Nabi Danial Dimasa Khalifah Umar bin Khattab

Tiada Tuhan selain
Allah karena aku mengucap dengan alat dan huruf,

Semenjak tiga
puluh Tahun, Tuhan adalah cerminanku,

Sekarang aku
mrenjadi cermin diriku karena aku sekarang bukan aku yang dulu,

Ucapanku “aku” dan
“Tuhan” berarti meningkari Tauhid Tuhan,

Karena aku sama
sekali tidak ada, maka Tuhan yang hak adalah cerminan diri-Nya,

Lihatlah, Tuhan
adalah cerminan diriku dan Dia-lah yang berbicara melalui lidahku,

Sedang aku sudah
fana.

Ucapan dan ungkapan Al-Bustami menimbulkan
kontroversial di kalangan Ulama karena belum didengar dari Sufi sebelumnya.
Mereka yang berpegang pada ajaran syariat secara Zahir menuduhnya telah kafir
karena menyamakan dirinya dengan Allah. Sementara ada Ulama lain yang
mentoleransi ucapan semacam itu dan menganggapnya hanya sebagai penyelewengan (Inhiraf) bukan kekafiran.

Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang
menimbulkan ajaran fana dan baka untuk mencapai Ittihad dengan Tuhan. Dengan fana, ia meninggalkan dirinya dan
pergi ke hadirat Tuhan sedangkan dengan baka, ia tetap bersama Tuhan. 
Ajaran
fana dan baka terlihat dalam ucapan seperti ini

 “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana, kemudian aku tahu
pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup”
atau “Ia membuat aku gila pada diriku sehinggga aku mati, kemudian Ia
membuat aku gila pada-Nya dan aku pun hidup, maka aku berkata lagi, gila pada
diriku adalah fana dan gila pada-Mu adalah baka”.
Al-Bustami juga berkata :
Aku mimpi melihat Tuhan lalu bertanya :
“Aku bermimpi melihat Tuhan lalu aku bertanya : “Tuhanku, apa jalannya untuk
sampai kepada-Mu ?”. Tuhan menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah pada-Ku
”.

Pengalaman kedekatan al-Bustami dengan Tuhan hingga
mencapai Ittihad disampaikannya dalam
ungkapan : 

Pada suatu ketika aku
dinaikan kehadirat Tuhan. Lalu Tuhan berkata: ‘Abu Yazid, mahluk-mahluk-Ku sangat
ingin memandangmu?’. Aku menjawab : ‘kekasihku, aku tak ingin melihat mereka’.
Tetapi jika itu kehendak-Mu maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu, mereka
akan berkata : “Kami telah melihat-Mu”. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan
aku tidak berada dihadapan mereka itu.”

Baca...  Kafaah Dalam Membangun Keluarga (3): Pendapat Para Ulama

Puncak pengalaman kesufian Al-Bustami dalam Ittihad juga tergambar dalam ungkapan
berikut : “Tuhan berkata : “Abu Yazid,
mereka semua kecuali engkau adalah mahluk-Ku”. Aku pun berkata : “aku adalah
Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.
” Dalam Ittihad ini kelihatannya Tuhan berbicara
melalui lidah Al-Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada
lahirnya ia berkata demikian.

Meskipun Al-Bustami, pengalamannya sampai mencapai
Ittihad dicapai dengan latihan berat. Ia berkata: 

Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi bagi diriku.
Kulemparkan diriku dalam tungku riyadah (latihan). Kubakar dengan api Mujahadah
(perjuangan). Kuletakan di atas alas penyesalan. Kupukul dengan martil
pengutukan diri sehingga dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri. Lima
tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan
bermacam-macam ibadah dan ketakwaan. Setahun lamanya aku memandangi cermin
diriku dengan penuh perhatian. Ternyata kulihat diriku  terlilit sabuk takabur, kecongkakan, ria,
ketergantungan pada ketaatan dan membangga-banggakan amal. Aku lalu beramal
selama lima tahun sampai sabuk itu terputus dan aku memeluk Islam kembali.
Kupandangi para mahluk dan kulihat mereka semua mati sehingga aku bertakbir
empat kali untuk mereka dan aku kembali dari jenazah mereka semua. Aku sampai
pada Allah dengan pertolongan Allah sendiri tanpa perantaraan mahluk.

Mengenai Mujahadah,
Al-Bustami berkata : “Saya berusaha
dalam Mujahadah selama tiga puluh tahun. Tidak kudapati sesuatu yang amat berat
bagiku selain ilmu pengetahuan dan mengikutinya. Seandainya perbedaan Ulama
adalah rahmat kecuali dalam pengkonsentrasian diri pada Allah (Tajrid
at-Tauhid).

Al-Bustami sekalipun telah mencapai fana, baka dan Ittihad, ia
tetap melaksanakan syariat Islam. Pengamalan Tasawwuf tidak dibenarkan
meninggalkan perintah Allah.

Al-Bustami berkata : “Anda melihat seseorang dikaruniahi keramat-keramat sehingga dapat
terbang di udara, janganlah anda terperdaya olehnya sebelum melihat bagaimana
ia melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah, menjaga
ketentuan-ketentuan, dan melaksanakan syariat-Nya.

Baca...  Khilafah Hanya Khayalan Bagi Indonesia (2)

Tasawuf Al-Bustami kemudian dikembangkan
murid-muridnya dengan membentuk satu aliran Tarekat Taifuriyah. Nama itu
diambil dari nisbah Al-Bustami yaitu Taifur. Pengaruh Tarekat ini masih
didapati di Maroko, Aljazair, Tunisia, Bangladesh, dan negara Muslim lainnya.
Makam Al-Bustami berada di Kota Bistam. Pada tahun 713 H/1313 M, Sultan Mughal
yakni Muhammad Khudabanda membangun makam Abu Yazid Al-Bustami.

Konsep Al-Ittihad dalam
Ajaran Abu Yazid Al-Bustami

Prof. Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat dan
Mistisme dalam Islam” menyebutukan konsep Ittihad, Hulul dan Tawhid oleh Ulama
Syariat dalam Islam dipandang sebagai hal-hal yang bertentangan dengan Islam.
Al-Hallaj dihukum mati karena pemahaman Al-Hulul. Oleh karena itu kaum Sufi
menghindari menyebarkan konsep Ittihad, Hulum dan Tawhid. Penjelasan mengenai
konsep tersebut lebih banyak kita jumpai dalam tulisan-tulisan orientalis.

Yang dimaskud dengan Ittihad adalah seorang Sufi telah
merasa diri bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan
dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil
yang satu dengan kata-kata “Hai Aku”. 

A.R Al-Badawi menyatakan bahwa dalam
Ittihad yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang
berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu
wujud maka dalam Ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang
dicintai atau antara Sufi dan Tuhan.

Dengan ‘fana, Abu Yazid al-Bustami meninggalkan
dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Abu Yazid Al-Bustami mengucapkan “Subbhani,
Subbhani” artinya Maha Suci Aku, Maha Suci Aku. Pada waktu yang lain ia
menyatakan “ Yang ada dalam baju ini adalah Allah”. Paham Ittihad hampir sama
dengan Al-Hulul dalam Wahdatul Wujud (Manunggaling Kaulagusti) sebagaimana yang
pernah kami jelaskan sebelumnya.,

2366 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Artikel

Tidak Bisa Mengetik di Word karena "Selection is Locked", Ini Solusinya!

2 Mins read
Kompak – Salah satu masalah yang sering ditemui pengguna Microsoft Word adalah pesan “Selection is Locked” yang muncul saat mencoba mengetik atau…
Artikel

Ingin Rumah Lebih Sejuk? Coba Roster Jogja dari AM Roster

4 Mins read
Mendapatkan rumah yang sejuk merupakan impian bagi setiap orang, terutama di negara tropis seperti Indonesia. Salah satu cara untuk menciptakan suhu udara…
Artikel

Sekolah Bisnis Online dan Konsultan Feasibility Study: Meningkatkan Kualitas Bisnis di Era Digital

4 Mins read
Pendahuluan Di era digital yang terus berkembang, memulai dan mengelola bisnis bukan lagi hal yang sulit. Teknologi internet memberikan akses ke berbagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights