KULIAHALISLAM.COM- Hari ini kita kehilangan salah satu tokoh nasional, Surya Dharma Ali. Ayahanda Surya Dharma Ali atau yang dikenal dengan akronim SDA, bukanlah sekadar sosok politikus, melainkan representasi seorang Muslim modern yang mampu mengharmoniskan nilai-nilai keagamaan dengan kompleksitas sosial-politik Indonesia secara aktual. Berbekal pendidikan agama dari Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry dan ilmu hukum di Universitas Islam Jakarta, beliau membangun kepemimpinan yang kokoh berlandaskan integritas, moderasi, dan komitmen terhadap keberagaman bangsa.
Dalam perjalanan politiknya, ayahanda SDA menunjukkan sikap moderat dan inklusif, mengedepankan prinsip persatuan nasional dan menolak politik identitas sempit yang memecah belah. Sebagai tokoh utama Partai Islam legendaris: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), beliau konsisten memperkuat partai sebagai wadah Islam moderat yang mengedepankan keadilan sosial dan demokrasi plural.
Selama menjabat Menteri Koperasi pada periode 2004-2009 & Menteri Agama pada periode 2009-2014, Surya Dharma Ali meluncurkan kebijakan yang berdampak luas untuk ummat. Di kementrian koperasi & umkm, beliau mendorong profesionalitas pengelolaan UMKM serta memberikan akses kepada UMKM agar bisa bersaing di kancah global. Sementara di kementrian Agama beliau mencetuskan forum kerukunan umat beragama, tata kelola kementerian yang transparan, serta peningkatan layanan publik seperti pengelolaan haji dan pendidikan keagamaan berkualitas. Kebijakan penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) memperlihatkan hasil nyata dalam menurunkan konflik dan meningkatkan dialog antar agama. Pendidikan moderasi beragama yang beliau galakkan turut meminimalisasi intoleransi dan radikalisme di tengah masyarakat yang majemuk.
Kepemimpinan Surya Dharma Ali merefleksikan keseimbangan ilmu dan amal yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali, serta etika komunikasi yang sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: Jika tidak bisa berkata baik, hendaknya diam. Pendekatan ini menjadi fondasi penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan beradab.
Terlepas dari kasus bernuansa politis yang menimpanya, beliau menunjukkan sikap kenegarawanan dengan mengundurkan diri dari jabatan. Beliau juga tidak mendendam pada musuh-musuh politiknya, yang notabene menghancurkan pilar-pilar integritasnya.
Warisan kepemimpinan beliau, tidak hanya memperbaiki birokrasi dan tata kelola kementerian, namun juga mengokohkan pribadinya sebagai simbol politisi Islam moderat nasionalis yang mampu menjembatani agama dan negara dalam demokrasi Indonesia. Kepeduliannya pada integritas, keberanian, dan empati menjadi inspirasi bagi umat Muslim modern untuk menjalankan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, khususnya dalam konteks kebangsaan yang plural dan demokratis.
Kepergian beliau, menjadi cambuk pengingat kita untuk melanjutkan perjuangan kebijakan toleransi, keadilan, dan moderasi yang selama ini beliau perjuangkan—sebuah warisan berharga yang akan terus hidup dan menjadi penyemangat pribadi muslim modern dalam membangun Indonesia yang inklusif dan beradab.
Wallahu alam bishawab