Sudah mafhum bahwa, siwak yang berarti menggosok gigi sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Terutama dalam keadaan tertentu, seperti hendak salat, bau mulut, gigi menguning dan lainnya. Namun demikian, menurut mayoritas ulama siwak setelah matahari tergelincir ke arah barat dimakruhkan bagi orang yang berpuasa. Sedangkan menurut Imam An-Nawawi, secara mutlak tidak makruh, baik sebelum atau sesudah matahari tergelincir ke arah barat (zawal).
Namun, jika menggunakan pasta gigi, sebaiknya lebih berhati-hati agar tidak ada pasta gigi yang masuk ke dalam kerongkongan, sekalipun rasa sejuk dan manis yang terasa di dalam mulut tidak membatalkan puasa. Dalam kitab Fath al-Qarib dikatakan:
)فتح القريب ص ٤(
وَالسَّوَاكُ مُسْتَحَبُّ فِي كُلِّ حَالٍ، وَلَا يُكْرَهُ تَنْزِيهَا إِلَّا بَعْدَ الزَّوَالِ لِلصَائِمِ فَرْضًا أَوْ نَفْلًا وَتَزُولُ الكَرَاهَةُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ عَدَمَ الكَرَاهَةِ مُطْلَقًا.
Artinya: “Disunnahkan bersiwak di setiap keadaan, tidak dimakruhkan kecuali setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa, baik sunnah maupun fardhu. Kemakruhan ini hilang setelah terbenamnya matahari. Sedangkan menurut Imam an-Nawawi tidak ada kemakruhan secara mutlak.”
Demikian juga dalam kitab Dalil al-Thalib dikatakan:
(دليل الطالب ج ١ ص : ٧)
يُسَنُّ بِعُوْدٍ رَطْبٍ لَا يَتَفَتتُ وهو مَسْنوْنٌ مُطلَقًا إِلَّا بَعْدَ الزَّوَالِ لِلصَّائِمِ فَيُكْرَهُ وَيُسَنُّ لَهُ قَبْلَهُ بِعُوْدٍ يَابِسٍ وَيُبَاحُ بِرَطْبٍ.
Artinya: “Bersiwak disunnahkan dengan kayu yang basah dan tidak remuk. Siwak disunnahkan secara mutlak kecuali setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa. Dalam hal ini dihukumi makruh. Siwak disunnahkan bagi orang puasa sebelum matahari tergelincir dengan kayu yang kering dan diperbolehkan dengan kayu yang basah.”
Tidak berhenti di situ. Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab juga dijelaskan:
المجموع شرح المهذب (١/٢٦٥)
ولا يُكْرَهُ إِلَّا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ لِلصَّائِمِ بَعْدَ الزَّوَالِ لِمَا رَوَى أَبُو هُرَيْرَةً إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال لخلوف فمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَالسَّوَاكُ يَقْطَعُ ذَلِكَ فَوَجَبَ أَنْ يُكْرَهَ وَلِأَنَّهُ اثر عِبَادَةٍ مَشْهُودٌ لَهُ بِالطَّيِّبِ فَكُرِهَ إِزَالَتْهُ كَدَمِ الشُّهَدَاءِ
Artinya: “Siwak tidak dimakruhkan kecuali dalam satu keadaan, yaitu bagi orang yang berpuasa setelah matahari tergelincir karena riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda: “Bau mulut orang yang berpuasa ada lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak misik.” Sedangkan siwak dapat menghilangkan hal tersebut. Dengan demikian, wajib memakruhkan siwak (bagi orang yang berpuasa). Dan karena bau mulut adalah bekas ibadah yang dapat dijadikan saksi, jadi menghilangkan bau tersebut dimakruhkan sebagaimana darah para syuhada’.”
Lalu bagaimana jika sekarang berkumur dan menghirup air ke dalam hidung ketika wudhu’?
Syahdan. Berkumur (madhmadhah) dan menghirup air ke dalam hidung (intinsyaq) di waktu puasa hukumnya boleh. Namun, ada sebagian ulama menganjurkan untuk tidak berlebihan ketika berkumur dan menghirup air. Artinya, jika ada air yang masuk tanpa disengaja ketika berkumur dan menghirup air, maka tidak membatalkan puasa. Dalam kitab Fiqh al-Shiyam dinyatakan:
( فقه الصيام ص ٨٠)
لم يَنصُّ ( الحديث ) عَلَى أَنَّ الْمَاءَ إِذَا وَصَلَ الْجوْف مِنْ طَرِيقِ الْأَنْفِ يُفَطَّرُ بَلْ كُلُّ مَا فِيهِ النَّهْيُ عَنِ المبالغة في حَالَةِ الصَّوْمِ فَقَدْ يَدْخُلُ الْمَاءُ عِنْدَ الْمُبَالَغَةِ إِلى فَمِهِ وَمِنْ فَمِهِ إِلَى جَوْفِهِ وَقَدْ يُنْهَى عَنِ الشَّيْءِ وَإِنْ لم يُفْطِرُ وَقَدْ جَاءَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ فِي أَشْيَاءَ مُتَعَيَّنَةٍ قَالُوا لَا تفطر وَلَكِنْ يُنْهَى عَنْهَا. وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إِلى أَنَّ دُخُولَ الْمَاءِ بَعْدَ الإِسْتِنْشَاقِ وَإِنْ بَالَغَ فَيْهِ الْمُتَوَضيْ لَا يُبْطِلُ الصَّوْمَ مطلقا. ذكَرَ مِنْهُم النَّوَوِي فِي الْمَجْمُوع الحَسَنَ الْبَصْرِيَّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَأَبَا ثَوْرٍ.
Artinya: “Tidak ada nash (hadits) yang menyatakan bahwa air yang masuk ke jauf (rongga) melalui hidung adalah membatalkan puasa. Akan tetapi, dalam menghirup air dilarang berlebih-lebihan ketika puasa. Ketika berlebihan, terkadang air masuk ke mulut lalu dari mulut masuk ke perut. Terkadang, memang ada suatu perbuatan yang hanya dilarang, sekalipun tidak membatalkan puasa. Sebagian ulama salaf berargumen larangan hal-hal tertentu, namun tidak membatalkan puasa. Sebagian ahli fikih berargumen bahwa masuknya air setelah istinsyaq tidak membatalkan puasa secara mutlak, sekalipun berlebihan ketika melakukan istinsyaq. Yusuf al-Qardhawi menyebutkan sebagian dari ulama-ulama yang menyatakan pendapat ini, yaitu Imam an-Nawawiy dalam kitab Al-Majmu’ al-Hasan al-Basri, Imam Ahmad, dan Abu Tsaur.”
شرح ابن بطال – (ج ٧ / ص ٧٢)
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الصَّالِمِ يَتَمَضْمَضُ أو يَسْتَنْشِقُ أو يَسْتَبْشِرُ فَيَدْخُلُ الْمَاءُ فِي حَلْقِهِ، فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: صَوْمُهُ تَامٌ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، هذا قَوْلُ عَطَاءٍ وَقَتَادَةً فى الإستنَثارِ، وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقَ، وَقَالَ الْحَسَنُ: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِنْ مَضْمَضَ فَدَخَلَ الْمَاءُ فِي حلْقِهِ.
Artinya: “Ulama berselisih pendapat tentang orang berpuasa yang berkumur-kumur, menghirup air atau mengeluarkannya, lalu ada air yang masuk ke tenggorokan. Sebagian golongan menyatakan bahwa puasanya sempurna dan tidak terjadi apa-apa. Ini adalah pendapat Imam Atha’, Qatadah dalam bab istintsar (menyemburkan air), Imam Ahmad, dan Ishaq. Sedangkan Imam Hasan menyatakan: “Berkumur-kumur, lalu air masuk ke tenggorokan adalah tidak berdampak sama sekali (pada batalnya puasa).”
Wallahu a’lam bisshawaab.