Dalam tradisi intelektual Islam, ada tiga persoalan yang seringkali dibicarakan terkait kepemimpinan politik dalam negara. Pertama, soal pemimpin yang kurang layak (imamat al-mafdul). Kedua, soal pemimpin yang suka maksiat (imamat al-fasiq). Dan ketiga, soal pemimpin non Muslim (imamat al-kafir).
Persoalan-persoalan kepemimpinan politik ini muncul karena banyak kasus pemimpin dalam sejarah Islam, dengan beberapa pengecualian, umumnya kurang layak (mafdul) daripada yang layak (fadil), yang fasik daripada yang adil. Artinya, memang secara historis sering terjadi kesenjangan antara “apa yang semestinya” dan “apa nyatanya.”
Kecuali persoalan yang pertama dan kedua, persoalan pemimpin non-Muslim dalam fiqh klasik jarang dibicarakan, karena umumnya mereka menganggapnya tidak boleh, baik secara normatif maupun historis. Secara normatif, mereka merujuk ke sejumlah ayat Alquran yang melarang menjadikan mereka sebagai walî (pemimpin).
Secara historis, mereka merujuk kepada realitas bahwa Nabi Muhammad tidak pernah menunjuk non-Muslim sebagai gubernur ataupun panglima. Demikian juga para khalifah sejak Abû Bakr sampai kekhalifahan utsman, mereka tidak pernah mengangkat non-Muslim sebagai gubernur atau panglima militer.
Saat ini, isu utama di Indonesia masih berkaitan dengan pemilihan pemimpin dari kalangan nonmuslim. Kontroversi ini semakin memanas, terutama karena calon nonmuslim yang terlibat dalam pemilihan tersebut sedang menghadapi tuduhan penistaan agama. Isu ini menjadi perhatian besar dan menguras energi mayoritas umat Islam, mengingat keterkaitannya dengan politik, negara, dan agama.
Sebenarnya, politik dan Islam tidak dapat dipisahkan. Islam adalah agama yang memiliki sistem yang komprehensif untuk kehidupan, tidak hanya mengatur ibadah tetapi juga dasar-dasar pemerintahan. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya al-Thuruq al-Hukmiyyah Fi al-Siyasah al-Syariyyah menegaskan bahwa politik yang adil merupakan bagian dari ajaran Islam.
Sistem politik dalam Islam bersifat menyeluruh dan berlandaskan pada prinsip ketuhanan untuk mengatur kehidupan manusia serta menjaga agama dan negara di bawah kepemimpinan seorang muslim.
Tujuan dari sistem ini adalah untuk menerapkan syariat Islam, menyebarkan dakwah, dan mewujudkan kemuliaan Islam. Tujuan tersebut harus didukung oleh keyakinan terhadap akidah Islam dan hukum Allah SWT, seperti yang ditegaskan oleh Prof Ahmad Ghalus dalam bukunya al-Nizham al-Siyasy Fi al-Islam.
Lebih lanjut, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Min Fiqh al-Daulah Fi al-Islam menjelaskan bahwa aspek ibadah dalam fiqh juga memiliki hubungan dengan politik. Misalnya, dalam Islam disepakati bahwa mereka yang meninggalkan salat, enggan membayar zakat, atau terang-terangan makan di siang hari Ramadan dapat dikenakan sanksi.
Bahkan, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran serius jika dilakukan oleh kelompok tertentu dalam negara Islam, seperti yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar Shiddiq yang memerangi kelompok yang menolak membayar zakat.
Seorang muslim juga memiliki tanggung jawab politik untuk memilih pemimpin yang menerapkan syariat Islam. Jika seorang muslim mengabaikan hal ini, ia dianggap mati dalam keadaan jahiliyah (HR Imam Muslim).
Meskipun Alquran tidak secara eksplisit memerintahkan umat Islam untuk mendirikan negara atau menjadikannya sebagai rukun iman, banyak kewajiban dalam Alquran yang tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya negara. Contohnya termasuk pengumpulan dan distribusi zakat, pelaksanaan hukuman qishas (pidana pembunuhan), penerapan Majlis Syuro, serta kewajiban untuk taat kepada pemimpin (QS: al-Nisa’: 59).
Oleh karena itu, keberadaan negara Islam pada masa itu merupakan kewajiban politik untuk menerapkan peraturan zakat sebagai bagian dari rukun agama. Negara Islam juga berfungsi sebagai sarana untuk menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh. Prof Muhammad Imarah menjelaskan dalam bukunya Muhammad al-Rasul al-Siyasy tentang hal ini.
Selanjutnya, Prof Muhammad Rawas Qal’ahji dalam bukunya Qiraah Siyasiyah Li al-Sirah al-Nabawiyyah menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, Rasulullah SAW membangun kekuatan dengan penduduk Madinah melalui Baiat al-Aqabah dan hijrah ke Madinah.
Di sana, beliau mendirikan masjid sebagai pusat pemerintahan Islam dan menulis Piagam Madinah sebagai dasar negara. Piagam Madinah (Dustur al-Madinah) ditulis secara lengkap oleh Ibnu Ishaq dan dirawikan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya.
Teks lengkapnya juga dicatat oleh Muhammad Hamidullah dalam bukunya Majmu’ al-Watsa’iq al-Siyasiyyah. Kesahihan teks Piagam Madinah telah dikaji oleh Akram Dhia’ al-Umary dari Universitas Islam Madinah dalam bukunya al-Mujtama’ al-Madany Fi Ahd al-Nubuwwah.
Salah satu isi penting Piagam Madinah adalah penetapan Rasulullah SAW sebagai kepala negara dan penegakan hukum Islam di Negara Islam Madinah. Pasal 36 menyatakan bahwa Rasulullah SAW memegang kekuasaan tertinggi di negara tersebut.
Penjelasan lebih lanjut dapat ditemukan dalam buku Fi al-Nizam al-Siyasy Li al-Daulah al-Islamiyyah oleh Dr. Muhammad Salim al-Awwa. Akhirnya, Prof Dhiauddin al-Ris dalam bukunya al-Nazariyat al-Siyasiyyah al-Islamiyyah menegaskan bahwa negara (khilafah atau imamah) melanjutkan tugas Rasulullah SAW dalam menjaga agama dan mengatur politik dunia.
Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, agama harus terintegrasi dengan negara. Tanpa adanya negara, ajaran agama tidak dapat diterapkan secara efektif; sebaliknya, negara pun tidak akan berdiri tanpa landasan agama. Seringkali kita temui bahwa pemimpin yang tidak memahami atau menerapkan ajaran Islam justru menjadi musuh bagi umat Islam itu sendiri dan menjadi alat bagi musuh-musuh agama.
Perlu dipahami, bahwa khilafah, imamah, dan mulk (raja) dalam Alquran semua itu maksudnya adalah kepemimpinan secara umum, bukan menunjukkan sistem kepemimpinan tertentu. Contohnya, Nabi Daud dalam Alquran disebut sebagai khalifah (Shod: 26) dan Malik (raja) (a-Baqarah:251). Sebagaimana Nabi Ibrahim disebut Imam (al-Baqarah:124), dan beliau menyebutkan keluarganya sebagai raja (mulk) (al-Nisa’:54).
Substansi dasarnya, pemerintahan Islam itu berdiri di atas dua landasan. Pertama, menerapkan syariat Allah SWT. Kedua, syura. Suatu pemerintahan berdiri di atas dua landasan itu, maka sudah bisa disebut pemerintahan atau Negara Islam. Dan pemerintahan seperti itu bisa disebut khilafah, imamah, atau mulk.
Sebagaimana Rasulullah SAW itu sebagai Nabi, karena menerima wahyu. Rasulullah SAW juga sebagai khalifah, karena beliau kepala negara. Dan pemimpin setelah Rasulullah SAW itu disebut khalifah, karena berada setelah (khalf) Rasulullah SAW. Begitu penjelasan al-Syahid Abdul Qadir Audah dalam bukunya al-Islam wa Audha’una al-Siyasiyah.
Surah al-Hajj, ayat 41 menyatakan bahwa orang yang diberikan Allah SWT kekuasaan di bumi, mereka melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Hal ini merupakan bagian tujuan utama sebuah kekuasaan dalam pemerintahan Islam.
Untuk mencapai tujuan itu, maka umat Islam wajib memilih pemimpin Islam, dan dilarang memilih pemimpin kafir. Sebab, ayat 51 Surah al-Ma’idah itu sebagian dalil ulama menegaskan tidak boleh seorang Muslim mengangkat seorang kafir sebagai pemimpin mengurus urusan umat Islam. Begitu penjelasan Syaikh Muhammad Ali al-Shabuny dalam kitabnya Rawa’i al-Bayan Fi Tafsir Ayat al-Ahkam.
Dalam Surah Ali Imran, ayat 28 dengan tegas Allah SWT melarang umat Islam memilih pemimpin kafir. Jika umat Islam memilih pemimpin kafir, nicaya umat ini tidak memperoleh apapun dari Allah SWT. Jelasnya lagi, dalam tesis doktoralnya Ahkam al-Zimmiyyin wa al-Musta’minin Fi Dar al-Islam, Dr Abdul Karim Zaidan menjelaskan, jabatan utama dalam Negara Islam hanya boleh diemban oleh umat Islam yang layak mendudukinya. Di antaranya jabatan khalifah (kepemimpinan negara), kepala pimpinan jihad, dan lainnya.
Kemudian, Dr Mahmas al-Jal’ud al-Muwalat wa al-Mu’adat Fi al-Syariah al-Islamiyah juga menegaskan, dalam Negara Islam, jabatan kenegaraan hanya diduduki oleh umat Islam. Sebab, nonmuslim itu tidak aman dari sipat khianatnya.
Sebagaimana Surah Ali Imran ayat 118 menegaskan larangan menjadikan nonmuslim itu sebagai teman kepercayaan, karena mereka tiada hentinya menimbulkan kemudaratan bagi umat Islam. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar lagi.
Maka dari itu, kata Mahmas al-Jal’ud, para ulama Islam menegaskan, tidak boleh mempergunakan orang kafir dalam suatu jabatan, selagi masih ada umat Islam yang mampu mengembannya. Ini sudah menjadi kesepakatan umat Islam dahulu. Contohnya, Gubernur Yaman Abu Musa al-Asyary menjadikan seorang nonmuslim (Nasrani) sebagai sekretarisnya.
Lalu dia menceritakan hal itu kepada Khalifah Umar bin Khattab. Maka, dengan tegas Khalifah Umar tidak menerimanya. kemudian, Khalifah Umar membacakan Ayat 51 Surah al-Ma’idah (riwayat Imam Ahmad).