Cara malaikat menyampaikan wahyu kepada rasul. Sudah mafhum bahwa wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.
Kata al-wahy atau wahyu adalah kata masdar (infinitif); dan materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Karena itu, maka wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdar-nya. Akan tetapi, terkadang juga yang dimaksudkan adalah al-muha yaitu pengertian isim maf’ul, yang diwahyukan.
Wahyu dalam arti bahasa
Pertama, adalah ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa AS Allah SWT berfirman:
وَاَوْحَيْنَاۤ اِلٰۤى اُمِّ مُوْسٰۤى اَنْ اَرْضِعِيْهِ ۚ فَاِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَاَلْقِيْهِ فِى الْيَمِّ وَلَا تَخَافِيْ وَلَا تَحْزَنِيْ ۚ اِنَّا رَآ دُّوْهُ اِلَيْكِ وَجٰعِلُوْهُ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ
Artinya: “Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang Rasul.” (QS. Al-Qasas [28]: 7).
Kedua, adalah ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah. Allah SWT berfirman:
وَاَوْحٰى رَبُّكَ اِلَى النَّحْلِ اَنِ اتَّخِذِيْ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا وَّمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُوْنَ
Artinya: “Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia,” (QS. An-Nahl [16]: 68).
Ketiga, isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an. Allah SWT berfirman:
فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ مِنَ الْمِحْرَابِ فَاَوْحٰۤى اِلَيْهِمْ اَنْ سَبِّحُوْا بُكْرَةً وَّعَشِيًّا
Artinya: “Maka dia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia memberi isyarat kepada mereka; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.” (QS. Maryam [19]: 11).
Keempat, bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia. Dalam Alqur’an difirmankan:
وَلَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَاِنَّهٗ لَفِسْقٌ ۗ وَاِنَّ الشَّيٰطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ اِلٰۤى اَوْلِيٰۤـئِـهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ ۚ وَاِنْ اَطَعْتُمُوْهُمْ اِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ
Artinya: “Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik.” (QS. Al-An’am [6]: 121).
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا ۗ وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ
Artinya: “Dan demikianlah untuk setiap Nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am [6]: 112).
Kelima, apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.
اِذْ يُوْحِيْ رَبُّكَ اِلَى الْمَلٰٓئِكَةِ اَنِّيْ مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۗ سَاُلْقِيْ فِيْ قُلُوْبِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوْا فَوْقَ الْاَعْنَاقِ وَاضْرِبُوْا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ
Artinya: “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka pukullah di atas leher mereka dan pukullah tiap-tiap ujung jari mereka.” (QS. Al-Anfal [8]: 12).
Syahdan. Sedangkan wahyu Allah SWT kepada para nabi-Nya secara syara’ mereka definisikan sebagai “kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi.” Tentu saja, definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al-muha (yang diwahyukan).
Berbeda dengan definisi wahyu di dalam Risalah al-Tauhid, yaitu sebagai pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantara ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau tanpa suara samasekali.
Lalu bagaimana cara malaikat menyampaikan wahyu kepada Rasul?
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul. Pertama, datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasul.
Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Dan suara itu mungkin sekali suara kepakan sayap-sayap para malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadits Bukhari:
إِذَا قَضَى اللَّهُ لِأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ.
Artinya: “Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemercingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” Dan mungkin pula suara malaikat itu sendiri pada waktu Rasul baru mendengarnya untuk yang pertama kali.
Kedua: malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu lebih ringan dari cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar. Rasul merasa senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena merasa seperti seorang manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Keadaan Jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniannya. Dan tidak pula berarti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi, yang dimaksudkan adalah bahwa dia menampakkan diri dalam bentuk manusia untuk menyenangkan Rasulullah sebagai manusia.
Sudah pasti, bahwa keadaan pertama (tatkala wahyu turun seperti dencingan lonceng) tidak menyenangkan, karena keadaan yang demikian menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah yang seimbang dengan tingkat kerohanian malaikat. Dan inilah yang paling berat.
Kata Ibn Khaldun: “Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya. Sedang dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat berubah dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani.”
Keduanya itu tersebut dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa Haris bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah mengenai hal itu. Dan jawab Nabi:
أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ، وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَى. فَيَفْصِمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ. وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ.
Artinya: “Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dia katakan.”
Aisyah juga meriwayatkan apa yang dialami oleh Rasulullah berupa kepayahan, dia berkata:
وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ، فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا.
Artinya: “Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin. Lalu malaikat itu pergi, sedang keringat pun mengucur dari dahi Rasulullah.”
Di dalam Alqur’an Surat Asy-Syura Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَآئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِاِذْنِهٖ مَا يَشَآءُ ۗ اِنَّهٗ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura [42]: 51).
Mengenai hembusan di dalam hati, telah disebutkan di dalam hadis Rasulullah:
إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي أَنَّهُ لَنْ تَمُوتَ نَفْسٍ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا وَأَجَلَهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ.
Artinya: “Ruh Kudus telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan carilah rezeki dengan jalan yang baik.” (Hadis Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dengan sanad yang sahih).
Hadis ini tidak menunjukkan keadaan turunnya wahyu secara tersendiri. Hal itu mungkin dapat dikembalikan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut di dalam hadis Aisyah. Mungkin malaikat datang kepada beliau dalam keadaan yang menyerupai dencingan lonceng, lalu dihembuskannya wahyu kepadanya. Dan kemungkinan pula bahwa wahyu yang melalui hembusan itu adalah wahyu selain Qur’an.
Wallahu a’lam bisshawaab.