Relevansi Alqur’an dan Hadis dalam konteks kontemporer. Alqur’an dianggap sebagai mukjizat bukan hanya sebagai firman Allah kepada Nabi SAW tetapi juga sebagai sesuatu yang melemahkan atau menyimpang dari kebiasaan (amru khariju lil’adah).
Dikatakan sebagai mujkizat karena masyarakat Arab Jahiliyah sangat mahir dalam membuat sastra Arab (syair), yang sangat populer pada saat itu. Orang-orang berlomba-lomba menulis syair, dan syair terbaik ditempel di dinding Ka’bah, membuat orang-orang merasa sombong.
Setelah Nabi SAW menerima Alqur’an, masyarakat Arab terkagum-kagum dan mengatakan bahwa al-Qur’an dibuat oleh Nabi saw daripada firman Allah. Mereka mengatakan ini karena Nabi adalah ummi (tidak dapat membaca dan menulis) dan Alqur’an membantahnya. Jika itu benar, Alqur’an adalah syair buatan manusia (Muhammad SAW), (Jaya, 2019: 205).
Alqur’an tidak hanya dianggap sebagai landasan filosofis, tetapi juga merupakan landasan budaya, yang berfungsi sebagai standar untuk hubungan bangsa, negara, dan masyarakat. Hal ini sudah ada sejak pendelegasian Nabi Muhammad SAW dan berlanjut sampai masa Khulafur Rasyidin.
Secara umum, kebudayaan dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan agama. Sekularisme berasal dari konflik budaya dan agama. Namun, di Islam, perbedaan itu diintegrasikan (dijadikan kebulatan yang utuh), di mana agama memancarkan kebudayaan dan membuatnya takluk kepadanya. (Fathurrohman, 2017 : 21-22).
Oleh karena itu, penting bagi umat muslim untuk memahami dan menanamkan pemahaman yang mendalam tentang Alquran dan hadis sejak kecil, agar anak-anak dapat memahami dan mengamalkan makna agama dalam kehidupan sehari-hari.
Hadis dan Alqur’an memberikan pedoman etika dan moral yang dapat digunakan dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain. Misalnya, nilai-nilai seperti kasih sayang, kesabaran, dan kejujuran dapat diterapkan dalam segala sesuatu yang Anda katakan atau lakukan.
Alqur’an dan Hadis menawarkan panduan untuk meningkatkan spiritualitas seseorang, seperti melalui ibadah, doa, dan introspeksi diri. Ini membantu seseorang menjaga hubungan dengan Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam Alqur’an dan Hadis dapat diterapkan untuk menciptakan kedamaian dan persaudaraan saat menangani konflik atau mendidik anak.
Religius adalah nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan yang menunjukkan bahwa pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang selalu berdasarkan nilai-nilai dan ajaran agama Tuhan.
Pendidikan umumnya bertujuan untuk menghasilkan generasi yang cerdas secara kognitif, tetapi sangat penting bagi sekolah untuk dapat menghasilkan siswa yang juga cerdas secara batin dan lahiriah. (Munawwaroh, 2022: 55).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikultural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam.
Berkaitan dengan multikultural, Soekarno juga pernah menegaskannya, saat ditanya mengenai siapa bangsa Indonesia. “Bangsa Indonesia adalah semua suku yang mendiami wilayah bekas jajahan hindia-belanda, baik keturunan maupun siapa pun yang memiliki kesamaan watak, hasrat kuat bersatu padu dan rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan,” tegas Soekarno yang gemar mengadopsi perkataan Ernest Renan dan Otto Bauer.
Sehingga jika bertumpu pada perkataan Soekarno tersebut maka jelas bahwa bangsa Indonesia terbentuk bukan karena kesamaan warna kulit, golongan, ras, ataupun agama melainkan karena rasa kesatuan yang kuat atas dasar kedamaian dan kemerdekaan sejati.
Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakan-gerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan dan berbagai simbol-simbol yang digunakan, ia akan diidentifikasi dalam suku bangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh orang lain. Bila ciri-ciri tersebut tidak dapat dipergunakan maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya. (Mubit, 2016: 172).
Jika kita melihat dengan cermat bagaimana Alqur’an hadir dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, kita akan melihat banyak makna yang berbeda untuknya sebagai sebuah kitab yang berisi sabda-sabda Allah SWT dalam bahasa Arab, ditulis dengan huruf Arab.
Makna utama dari kehadiran Alqur’an sebagai kitab adalah dasar dari kegiatan belajar tentangnya, seperti yang terlihat di pondok-pondok pesantren, di sekolah-sekolah, dan di universitas-universitas di seluruh Indonesia.
Karena Alqur’an adalah kitab yang berisi firman-firman Allah SWT dalam bahasa Arab, yang tidak selalu jelas bagi manusia, bahkan bagi mereka yang fasih berbahasa Arab, maka sangat penting untuk berusaha memahami dan memahami firman-firman tersebut.
Supaya ayat-ayat tersebut tidak “disalahgunakan” oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu yang bertentangan dengan ajaran Alqur’an itu sendiri, atau agar ayat-ayat tersebut tidak disalahpahami, yang dapat menyebabkan tindakan atau kegiatan yang “tidak sesuai” dengan apa yang dimaksudkan oleh sabda-sabda Tuhan dalam Alqur’an tersebut. (Putra, 2012: 242-243).
DAFTAR PUSTAKA
Jaya, Septi Aji Fitra. 2019. Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. INDO-ISLAMIKA. 9(2). 204-2016.
Fathurrohman, Azhari. 2017. Landasan dan Nilai Islam Rahmatan Lil Alamin. Ta’dib. 15(2). 15-28.
Annisa Qotrunnada Munawwaroh, Muhammad Aufal Minan. 2022. Implementasi Nilai Al-Quran Hadis dalam Kegiatan One Day One Thousand di MAN 1 Sleman. MA’ALIM: Jurnal Pendidikan Islam. 3(1). 54-66.
Mubit,Rijal. 2017. Peran Agama Dalam Multikulturalisme Masyarakat Indonesia. Episteme. 11(1). 163-184.
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2012. The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi. Jurnal WaliSongo. 20(1). 235-260.