KH Hasyim Asyari, Dari Era Kolonial Hingga Persoalan Pemikiran (Sumber gambar tangkapan layar Kanal YouTube Dari Langit) |
KULIAHALISLAM.COM – KH Hasyim Asy’ari merupakan seorang
penulis yang handal. Beliau menulis dalam bahasa Arab. Tema-tema yang dibahaspun
dari berbagai bidang seperti tasawuf, fikih dan hadis. Sampai sekarang
kitab-kitab yang ditulisnya masih dipelajari di berbagai pesantren.
Diantara kitabya;
At-Tibyan in Nahi’an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Akhawan, Adabul Alim
walMuta’alim, Al-Risalah Al-Jami’ah, Al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlah
al-Ulama, Al-Mawa’iz, Hadits al-Mawt wa Ashrah al-Sa’ah, Al-Durar
Al-Muntathirah fit Tis Asyarah, Al-Risalah At-Tauhidiyyah.
Sebenarnya karya-karyanya masih banyak
selain yang di atas. Pidato-pidatonya banyak diterbitkan dalam surat kabar.
Pemikiran Keislamannya terbagi kebeberapa bidang ilmu Islam seperti tasawuf,
teologi dan fikih.
Dalam pemikiran Keislaman, KH Hasyim Asy’ari menggunakan
corak Islam tradisional (corak Islam tradisional dipandang sebagai ajaran yang
telah diajarkan dan dibawah oleh Wali Songo). Beliau tetap mempertahankan corak Islam tradisional ini. Sebab, paham
ini sudah mulai tergerus oleh paham-paham modernis.
Pertama, tasawuf. Pemikiran KH Hasyim Asy’ari
mengenai tasawuf dijelaskan dalam karyanya yaitu kitab berjudul Ad-Durar
Al-Muntathirah fil Masa’il At-Tis Asyarah dan kitab At-Tibyan fin
Nahi’an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Akhawan. Dalam tulisannya, beliau
mengecam keras terhadap penyimpangan-penyimpangan ajaran sufi.
Misalnya, dalam
kitab Ad-Durar, KH Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa dalam penyimpangan
ajaran sufi adalah para sufi itu sendri. Karenanya, KH Hasyim Asy’ari membuat
terobasan hal-hal yang menyimpang itu untuk dilakukan dengan perilaku yang
biasa saja (tawasuth).
Seperti dalam memuliakan guru, KH Hasyim Asy’ari memberikan contoh terhadap santri-santrinya kalau dirinya tidak bersedia
dipanggil sebagai guru sufi, jadi harus bersikap sederhana. Bahkan beliau melarang
santrinya untuk mengikuti persaudaraan sufi.
Semuanya dilakukan bermaksud
supaya tidak meninggalkan pelajaran. Konsep ajaran sufi yang dituliskan KH Hasyim Asy’ari telah mengajarkan bahwa, dalam ajaran sufi tidak boleh berlebihan
terhadap apapun, tetapi beliau menganjurkan untuk biasa-biasa saja. Tujuannya
adalah supaya sufisme dalam Islam tidak dianggap radikal.
Pemikiran tasawuf KH Hasyim Asy’ari
bertujuan untuk memperbaiki perilaku umat Islam secara umum dalam banyak hal,
dalam hal ini semuanya perulangan prinsip-prinsip sufisme yang telah diajarkan
oleh Al Ghazali dalam Ihya ulumuddin.
Menurut KH Hasyim Asy’ari, ada
empat peraturan yang harus dilakukan jika seseorang ingin disebut sebagai
pengikut suatu tarekat yaitu, menghindari penguasa yang tidak melaksanakan
keadilan, menghormati mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh meraih
kebahagiaan di akhirat, menolong orang miskin dan melaksanakan shalat
berjama’ah.
Corak dan pemikiran sufistik KH Hasyim
Asy’ari sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dan sangat berbeda dengan
sufisme yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Abd Rauf As-Sinkili dan
Syamsudin As-Sumatrani di Nusantara abad ke 13 M.
Menurut Fazlur Rahman, Sufi
Islam murni ini berkembang setelah adanya gerakan pembaruan neo-sufisme
yang berpusat di Makkah dan Madinah pada akhir abad 19 M, yang bertujuan
membersihkan sufisme dari ajaran-ajaran asketik dan metafisik untuk digantikan
dengan ajaran-ajaran Islam murni dalam sufisme.
Pembaruan dalam ajaran sufi ini
telah diterima oleh KH Hasyim Asy’ari pada akhir abad 19 M. KH Hasyim Asy’ari telah mendasarkan
pemikiran sufismenya kepada ajaran sufi Islam murni yang dipraktikan oleh
Al Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali.
Berbeda dengan muslim modernis yang
cenderung menolak segala jenis praktik sufisme yang dianggap menyimpang dari
kemurnian Islam, sebab membuat bid’ah dalam ibadah dan mendorong kepada
kemusyrikan. Sedangkan muslim tradisional menganggap sebagian persaudaraan sufi
masih dalam bingkai Islam, artinya membolehkan jenis praktik sufisme.
Persaudaraan-persaudaraan sufi ini
diakui dalam struktur organisasi Nahdlatul Ulama sebagai badan otonom dalam At-Tariqat
Al-Mu’tabarah Al-Nahdliyah, badan ini sebagian besar terdiri atas sufi
Qadariyah dan Naqsyabandiyah.
Kebanyakan pesantren di Jawa telah mengembangkan
Islam murni selama berabad-abad, dan menghindari paham sufi yang sesat. Bahkan,
pesantren-pesantren di Jawa ini merupakan pusat dari pengembangan Islam murni
sampai saat ini, sedangkan di luar Jawa, doktrin-doktrin sufi spekulatif masih
berkembang.
Dari sini kita bisa tahu bahwa,
pemikiran KH Hasyim Asy’ari di bidang tasawuf mengikuti sufi yang telah
dirumuskan oleh Imam Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali. Sufi ini
penekanannya terhadap peningkatan nilai-nilai moral dan kesalehan dengan jalan
melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Sufi yang diajarkan
beliau bukanlah yang menjurus ke panteisme dan syirik, melainkan sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam Sunni.
Kedua, Fikih. Pemikiran KH Hasyim Asy’ari
tentang fikih yang paling menonjol adalah tentang ijtihad dan taqlid.
Menurutnya, hal yang sangat penting yaitu mengikuti salah satu dari empat
mazhab sunni. KH Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang ini dan hal-hal lainnya di
dalam Muqaddimat al-Qanun al-Asasi al-Nahdlah al-Ulama.
Kitab tersebut merupakan hasil dari ijtihad KH Hasyim Asy’ari bersama ulama lainnya, yang
berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Ijtihad disini merupakan sarana paling
efektif untuk mendukung agar tetap tegak dan eksistensinya hukum Islam, serta
menjadikan sebagai tatanan hidup yang up to date agar dapat menjawab
tantangan zaman.
Sedangkan taqlid adalah mengikuti
pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Seperti seseorang
telah mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui hujjahnya (orang seperti
ini disebut Muqallid). Keduanya harus berkaitan.
Taqlid untuk mengisi
kekosongan ketika ijtihad tidak bisa diterapkan. Kalau tidak, akan menjadi
beban yang tidak semestinya untuk meminta semua orang menjadi seorang mujtahid. Dengan demikian, taqlid disini awalnya
dilarang.
Menjadi boleh apabila seseorang tidak mampu untuk berijtihad dan
menggunakan potensi akalnya dalam memahami nash-nash Al-Quran dan
Sunnah. Hal ini sejalan dengan pemikiran KH Hasyim Asy’ari mengenai larangan
taqlid hanya ditujukan kepada seseorang yang mampu melakukan ijtihad, meskipun
kemampuannya hanya pada satu bidang, sehingga berpendapat bagi siapa saja yang
tak mampu melakukan ijtihad, maka harus mengikuti salah satu dari empat mazhab.
Pendapat tersebut dipegang oleh NU yang
terus menekankan bahwa persyaratan melakukan ijtihad tidaklah sederhana. Meski
demikian, NU menganjurkan para anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan agama
mereka agar meningkat dari status taqlidnya.
NU menganggap bahwa untuk orang
biasa yang tidak mampu melakukan ijtihad, diperbolehkan bertaqlid pada salah
satu dari empat mazhab Sunni, sebab sebagaimana yang disabdakan Rasul bahwa
perbedaan pendapat dikalangan masyarakat muslim adalah rahmat dan memaksakan suatu
pendapat dibenci Tuhan.
KH Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa
mengikuti salah satu empat mazhab Sunni itu bermanfaat bagi umat Islam, karena
setiap generasi ulama mengambil manfaat dan mengembangkan pemahaman Keislamannya dari usaha generasi pendahulunya.
Seperti para tabi’in bersandar
kepada para sahabat, sementara para tabi’at tabi’in bersandar kepada tabi’in
dan seterusnya. Karena itu, penyandaran terus menerus dan penerimaan ilmu
pengetahuan dan generasi pendahulu ini merupakan sumber informasi yang tak
habisnya bagi para ilmuwan muslim.
Ini terutama mengingat ajaran Islam tidak
dapat dipahami kecuali dengan wahyu atau sistem pengambilan hukum tertentu (istinbath).
Wahyu harus secara terus-menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui teks, sedangkan istinbath harus dilaksanakan dengan
bantuan ajaran-ajaran mazhab hukum.
Sementara pemikiran KH Hasyim Asy’ari
dalam fikih siyasah, bahwa fikih siyasah bisa dikatakan sebagai ilmu
politik pemerintahan dan ketatanegaraan dalam Islam yang mengkaji aspek-aspek
yang berkaitan dengan dalil umum dalam Al-Quran dan Hadis serta tujuan dalam
syariat.
Saat itu KH Hasyim Asy’ari aktif ikut campur dalam urusan kenegaraan,
sebab ia khawatir terhadap bangsa Indonesia yang akan terpecah belah. Maka,
sikap yang diambil KH Hasyim Asy’ari adalah ajakan kepada seluruh umat Islam
Indonesia untuk bersatu dalam aksi bersama.
Menurutnya, perpecahan merupakan
penyebab kelemahan, kekalahan, dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal
kehancuran dan kemacetan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan.
Ketiga, Kebangsaan. Pemikiran kebangsaan KH Hasyim Asy’ari sebenarnya mengarah ke ide politik (fiqh Siyasah). Secara
umum pemikiran politik KH Hasyim Asy’ari sejalan dengan doktrin politk Sunni
sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Al Mawardi dan Al Ghazali.
Pada
dasarnya doktrin ini sangat akomodatif terhadap penguasa, hal ini dikarenakan
saat dirumuskannya doktrin ini ketika dunia politik Islam mengalami kemunduran
yang pada gilirannya akan memunculkan anggapan bahwa, posisi rakyat sangat
lemah dan mereka harus tunduk terhadap penguasa.
Awalnya, KH Hasyim Asy’ari bukanlah
seorang aktivis politik dan bukan pula musuh penjajah. Ketikanya beliau belum untuk menyebarkan ide-ide doktrin politik dan bahkan tidak keberatan
dengan kebijakan-kebijakan penjajah, dalam hal ini selama tidak membahayakan
keberlangsungan ajaran-ajaran Islam.
KH Hasyim Asy’ari tidaklah seperti tokoh-tokoh
nasionalis-sekuler, Soekarno sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia dan
Presiden, Cokroaminto dan Agus Salim pemimpin Sarekat Islam yang memfokuskan
diri pada isu-isu politik dan bergerak secara terbuka selama beberapa tahun
untuk kemerdekaan Indonesia. Meski demikian, KH Hasyim Asy’ari dapat dianggap
sebagai pemimpin spritual bagi sebagian tokoh politik.
Wallahu A’lam