Sudah sejak lahir agama lahir dari sebuah pembangunan nilai-nilai kebaikan yang seharusnya diterapkan. Terlebih pembiasannya merupakan bentuk kewajiban atas apa yang diberikan tuhan yang maha esa. Sehingga pelajaran berharga sesuatu prestasi membanggakan demi terciptanya toleransi.
Benar sekali, semua agama mengajarkan toleransi bersifat moderat. Tidak condong ke kiri, ke kanan, tapi ditengah-tengah. Tidak juga memiliki rasa berlebihan seperti layaknya terlalu agamis. Kebanyakkan orang-orang awam berpikiran orang ‘alim adalah orang yang terlalu kaku dikehidupan nyata. Cenderung anggapannya mempunyai segala daya tarik untuk kembali kebenaran.
Begitu juga anggapan masyarakat sekitar kita masih tidak adanya kepercayaan bahwasannya orang agamis tidak cocok dengan kultur budaya masyarat.
Mengapa demikian? Apakah kita sebagai kaum agamis wajib mengajarkan kekakuannya? Atau malah menjerumuskan.
Mengapa demikian? Apakah kita sebagai kaum agamis wajib mengajarkan kekakuannya? Atau malah menjerumuskan.
Itulah kenapa moderasi penting dalam sudut agama masing-masing. Selama kita lupa dengan ajaran moderasi yang justru lebih penting dikehidupan. Pertanyaan mendasar adalah benarkah semua agama wajib mengajarkan moderasi? Lalu bagaimana langkah-langkahnya? Pertanyaan ini sudah dijawab dalam sesi dialog agama yang diadakan DEMA UIN Raden Mas Said, Selasa (07/06/22).
Dialog tersebut, ada 5 pemateri berbeda-beda mulai sudut pandang : Kristen, Hindu, Budha,Konghucu, dan Islam.
Pdt. Novembri Choeldahono selaku pemuka agama Kristen mengatakan “kekecewaan terhadap keagamaan dan ketidakmampuan merumuskan ajaran-ajaran agama yang tidak mampu menjadi kekuatan inspiratif dan inovatif”, Selasa (07/06/22).
Pdt. Novembri Choeldahono selaku pemuka agama Kristen mengatakan “kekecewaan terhadap keagamaan dan ketidakmampuan merumuskan ajaran-ajaran agama yang tidak mampu menjadi kekuatan inspiratif dan inovatif”, Selasa (07/06/22).
Ini menandakan perspektif moderasi adalah pengambaran yang sama dengan agama lainnya. Sementara dari perspektif Konghucu bahwa “yang pertama kita harus mengakui agama Indonesia adalah negara plural “, ujar WS. Adjie Chandra. Ia pun juga menambahkan prinsip moderasi agama Konghucu dengan prinsip COSU (kemanusiaan).
Harmonisasi agama ini sangat memberikan kesadaran kita sebagai umat Islam pentingnya memandang agama bukan soal teologisnya, namun sisi perilaku agama yang kerap disalahgunakan zaman ini. Apalagi benar yang dikatakan WS Adjie, Indonesia ini adalah negara ramah agama. Semua agama harus mempunyai sifat agamisnya melalui keberagamaan dalam kebinekaan.
Melihat pengambaran diskusi ini, ide Bagus Komanang Suawarman pemuka Hindu menyinggung kebinekaan dengan perkataanya “perbedaan itu jangan dijadikan perpecahan, tapi perbedaan itu sangat indah“. Prinisp perbedaan ini diperkuat Doni Santoso Seorang tokoh Budha “perbedaan itu bersifat alami, ketika kita lakukan sifat alami ada akan sesuatu proses, setelah itu ya sudah.“
Gagasan yang menurut saya sangat menarik tentang makna perbedaan di sudut agama. Tentu sekaligus pukulan telak kita selaku Islam mengaku sejati perlu adanya perbaikan mendalam secara gembleng dan penuh ketekunan. Jika kita menilik lebih jauh tentu tak berbeda dengan pandangan Islam mengenai moderasi agama.
Gus Musta’in pada dialog tersebut yakni “Islam itu sudah selesai dengan moderat, dan Islam adalah agama terdepan dari semua agama, sama halnya Kristen, Budha, Hindu yang menginginkan agamannya selalu terdepan.“
Beliau juga menambah banyak referensi beberapa kitab yang dikajinya. Sungguh luar biasanya mencerminkan Islam selalu mendapat jawaban kuat terhadap moderasi agama.
Mari kita berkaca penjelasan pengalan ayat mengenai moderasi beragama versi Islam.
Mari kita berkaca penjelasan pengalan ayat mengenai moderasi beragama versi Islam.
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui (Surat Al-Baqarah ayat 256).
Jelas bukan ? bahwa Islam tidak memaksakan kehendaknya, kecuali dia yakin pada Islam sediri. Itupun sudah ditegaskan kembali oleh Gus Musta’in Islam punya batas-batasan mengenai toleransi teruntuk kepada agama lain.
Gus Musta’in ingin menghadirkan Islam kalau ajarannya representasi sebab akibatnya berkembangan moderasi beragama. Maka dari sinilah, Gus Musta’in tidak hanya mendakwahkan Islam melalui kapasitas keilmuannya seolah-olah kecerdasannya, melainkan Islam bisa memposisikannya sebagai master of moderasi.
Saya menyebutnya rajanya semua agama yang memperjuangkan rahmatalil ’alamin. Sedangkan ceritannya mengenai Nabi Muhammad SAW menyadarkan kita wajibnya mengikuti nilai-nilai kebinekaan dalam keberagaman.
Terima kasih sudah berbagi wawasan yang bermanfaat
Salam Literasi,
walisongo.ac.id