Syed Muhammad Naquib al-Attas, lahir di Bogor, Jawa Barat 5 September 1931. Ia sejarawan, ahli Filsafat, dan seniman berkenegaraan Malasiya. Dalam dunia akademis, ia dikenal sebagai sejarawan yang mengkhususkan diri pada sejarah Islam di Melayu. Ia adalah pendiri The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malasiya.
Nenak moyang Naquib berasal dari Hadramaut. Keluarga ibunya merupakan bangsawan Sunda, ia memperoleh pendidikan agama Islam.
Dari keluarga lingkungan ayahnya sebagai bangsawan Johor, ia diperkenalkan dengan bahasa, kekusasteraan dan budaya Melayu. Sejak masa mudanya, Naquib telah memiliki perhatian besar pada aspek-aspek budaya Islam Melayu, khususnya yang berhubungan dengan Tasawuf.
Pada usia lima tahun, ia dikirim oleh orangtuanya untuk bermukim di Malasiya dan menempuh pendidikan Dasar di Ngee Heng Primariy School (1936-1941).
Ia kembali ke Indonesia ketika Jepang menduduki Malaya untuk belajar ilmu-ilmu keislaman tradisional di Madrasah al-Urwatul Wutsqa, Sukabumi, Jawa Barat (1941-1945).
Setelah itu, ia memasuki ketentaraan Malasiya dan sempat dikirim untuk belajar di sekolah militer di Inggris termsuk Royal Military Academy, Sandhurst (1952-1955).
Pada tahun 1957, ia keluar dari dunia militer dan belajar di University Malasiya selama dua tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada (1959-1962) hingga meraih gelar Master dengan tesis berjudul : Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.
Gelar Doktornya diperoleh dari Scholl of Oriental and African Studies, University of London (1963-1965), dengan Desertasi berjudul : “ The Mysticism of Hamzah Fansuri”.
Sekembalinya ke Malaysia tahun 1966 ia memegang beberapa jabatan penting dilingkungan jurusan kajian Melayu di University Malaya.
Ia sempat mendapat tantangan kelas ketika mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa pengajaran universitas, yang ketiga itu menggunakan bahasa Inggris.
Pada tahun 1970 ia menjadi salah seorang pendiri University kebangsaan Malaysia yang akan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya yang besar pada bahasa dan budaya Melayu ini tampak pula ketika ia menentang keras usulan untuk menghilangkan pengajaran bahasa Melayu Jawi di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan Malaysia.
Mulai awal tahun 1980 ia berusaha mempraktikkan gagasannya mengenai konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Hal ini antara lain dikemukakan dalam konferensi dunia pendidikan Islam pertama di Mekah pada tahun 1977.
Sebagai tindak lanjut konferensi tersebut Organisasi konferensi Islam (OKI) bersedia membantu pemerintah Malaysia mendirikan suatu Universitas Islam internasional di Malaysia, yang kemudian diberi nama International Islamic University pada tahun 1984.
Konsep Universitas ini adalah universitas biasa, namun dengan tambahan pengajaran dasar-dasar Islam dan bahasa Arab. Pengetahuan dasar tentang Islam diberi cukup mendalam agama siswa dapat menyayangi konsep-konsep Islami dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya.
Artinya, Islamisasi terjadi dalam diri mahasiswa yang mempelajari ilmu modern itu dan bukan sesuatu yang dilakukan terhadap disiplin ilmu itu sendiri.
Belakangan ah konsep Universitas ini berubah menjadi lebih dekat dengan konsep Universitas Islam versi internasional Institute of Islamic Thought (IIIT) sebuah lemaga pendidikan yang berpusat di Washington D.C serta diilahmi oleh pemikiran Prof. Ismail Raji al-Faruqi yaitu Islamisasi disiplin ilmu itu sendiri.
Merasa tidak sejalan dengan arah baru Universitas ini, Naquib berusaha mendirikan sebuah lembaga pengajaran dan penelitian yang mengkhususkan diri pada pemikiran Islam khususnya filsafat sebagai jantung dari Proses islamisasi yang dibayangkannya itu.
Gagasannya tersebut terwujud dengan berdirinya ISTAC di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Februari 1987.
Pada bulan Desember 1987, ia diangkat menjadi Profesor bidang pemikiran dan peradaban Islam pada lembaga tersebut. Ia juga merancang gedung ISTAC dan diresmikan tahun 1991.
Selain itu ia juga memperoleh penghargaan Al Ghazali Chair of Islamic Thought pada bulan Desember 1993 dari lembaga ini atas sumbangannya dalam pemikiran Islam kontemporer.
Dalam kajian tentang sejarah Melayu ia berpendapat bahwa jati diri Melayu tidak terpisahkan dengan Islam titik bukti-bukti yang diajukannya bukan berdasarkan peninggalan-peninggalan fisik tetapi terutama yang berkaitan dengan pandangan dunia Melayu.
Metodologi yang digunakannya adalah penelitian teks-teks Melayu dan Medan semantik dari kata-kata kunci yang menunjukkan aspek-aspek pandangan dunia peradaban Melayu.
Dalam bukunya Prelimenary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago (1969), ia mengatakan bahwa dakwah Islam datang ke wilayah Melayu sebagai peroses Islamisasi.
Peroses ini berjalan dalam tiga periode dan tahap yang serupa dengan etika Islam mempengaruhi Abad Pertengahan Eropa.
Naquib sering dikaitkan dengan gagasan tentang Islamisasi Ilmu. Ia menjelaskan bahwa masalah ilmu berhubungan dengan epistimologi.
Masalah ini muncul ketika sains modern diterima di negara-negara muslim modern di saat kesadaran epistemologi muslim amat lemah.
Menguatnya anggapan bahwa sains modern adalah salah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan Islam mengenai ilmu.
Ini khususnya berlaku dalam hal sumber-sumber ilmu di mana Islam mengakui adanya sumber-sumber kebenaran mutlak seperti Alquran dan otoritas dan metodologi ilmu dimana Islam mengakui institusi sebagai salah satu jalan terpenting mengenai realitas.
Menurutnya, pada dasarnya tidak ada keberatan besar terhadap hasil-hasil praktik sains namun perlu dilengkapi dengan etika.
Tetapi ia menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains yang hanya berhubungan dengan realitas empirik hanya dalam arti ini sains dapat bertentangan dengan agama.
Menurutnya dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini program Islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan masalah ilm. Ia telah menulis sekitar 24 buku dan sejumlah monograf.
Dalam A Commentary on the Hujjat as-Sidiq of Nur ad-Din ar-Raniri (1986), ia menunjukan adanya gagasan Metafisika di Dunia Islam dan pandangan sistematik realitas (Tuhan, Manusia, Alam Semesta dan Ilmu) dapat diungkapkan dalam bahasa rasional dan teoritis sehingga dapat menjadi dasar dari suatu Filsafat Sains Islam.
Naquib juga menyunting dan menterjemahkan Manuskrip teolog Islam terkemuka an-Nafasi dalam judul The Oldest Known Malay Manuscript : A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id of an-Nafasi (1988).
Penelitiannya tentang batu Nisan di Trengganu Inscription yang ditulis dalam The Corret Date of Trengganu Inscription (1972) menjawab umur batu Nisan tersebut sehingga dapat membantu penentuan masuknya Islam di wilayah ini.
Karya-karya selanjutnya lebih menekankan pembahasan sendi-sendi ajaran Islam dan menjawab tangangan dunia modern. Makalahnya dalam Konfrensi Dunia Pendidikan Islam pertama di Mekkah (1977) diterbitkan dalam bukunya berjudul Aims and Objectives of Islamic Education (1979). Makalah ini diterbitkan kembali dengan judul Islam and Secularisme (1978).