Kita tahu, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan memerintah Damaskus pada abad kelima Hijrah. Selama pemerintahannya, hidup seorang yang bernama Khuzaimah bin Bisyr al-Asadi, ia tinggal di wilayah Jazirah, propinsi antara sungai Eufrat dan Tigris.
Khuzaimah adalah seorang hartawan dan berpengaruh. Ia mempunyai selera sastra yang tinggi, tetapi di atas semua itu, ia adalah “patron” ilmu pengetahuan dan teman sejati orang-orang yang membutuhkan dan tengah dilanda kesusahan. Para penyair, sarjana dan orang-orang bijak berdatangan dari wilayah yang jauh dan menikmati keramahannya.
Ia dikelilingi banyak sahabat dan pengagum yang senantiasa mengikutinya ke mana pun ia pergi. Keberuntungan, selera sastra yang tinggi dan kedermawanan, ketiga sifat itu berpadu dalam diri Khuzaimah dan memberinya kedudukan paling terhormat di senatero Jazirah.
Suatu hari musibah yang tak dikira datangnya menimpa Khuzaimah. Harta bendanya ludes, pengaruhnya menyusut dan teman-teman serta pengagumnya hilang satu per satu. Mereka yang telah lama menikmati keramahan clan kedermawanannya kini pelan-pelan menjauh dan meninggalkannya.
Kini hidupnya dililit kefakiran dan ia tidak bisa pergi ke propinsi lain untuk mencari keberuntungan. Disamping itu, sikap tak tahu terima kasih teman-temanya membuat hatinya terluka. Oleh karena itu ia lebih memilih untuk memutus semua hubungan dengan dunia luar dan menghabiskan hari-hari yang tersisa dengan mengasingkan diri di rumah.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun dan Khuzaimah hidup dalam derita berkepanjangan. Akhirnya ia tiba di ambang kelaparan dan tidak mampu bertahan lagi. Saat itu, yang menjadi gubernur Jazirah adalah Ikrimah, seorang yang berhati emas dan mempunyai karakter luhur. Suatu hari saat berlangsung diskusi di majelisnya, nama Khuzaimah tiba-tiba mengemuka dan Ikrimah pun menanyakan kondisinya.
Salah seorang dari hadirin menceritakan keadaan Khuzaimah yang memprihatinkan. Ikrimah teringat akan kedermawanan Khuzaimah, oleh karena itu ia ingin segera mengetahui keadaannya yang kurang beruntung. Tetapi ia memilih diam dan mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lain.
Saat tengah malam, ketika seluruh penduduk kota terlelap dalam tidur, Ikrimah mengajak seorang budak yang paling ia percaya. Mereka dengan sembunyi-sembunyi meninggalkan istana dengan mengendarai kuda sambil membawa sebuah pundi-pundi berat. Ketika tiba di dekat rumah Khuzaimah, Ikrimah meminta budaknya untuk menunggu di tempat itu dan menjaga kudanya. Dengan begitu Ikrimah berharap agar si budak tidak mengetahui apa yang terjadi kemudian.
Ikrimah melangkah ke rumah Khuzaimah, lalu ia mengetuk pintu. Khuzaimah terbangun dari tidurnya dan bertanya-tanya siapa gerangan yang muncul di pintu yang telah lama ditinggalkan orang dan di malam-malam seperti ini? Khuzaimah keluar dan membukakan pintu.
“Assalamualaikum,” kata Ikrimah sembari menyerahkan pundi-pundi kepada Khuzaimah lalu berbisik, “Kawan, terimalah uang ini untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Ikrimah bergegas hendak pergi. Namun Khuzaimah menahan kain jalabiyahnya. “Hidupku berhutang budi padamu. Bolehkah aku mengetahui siapakah gerangan dirimu?” tanya Khuzaimah.
“Sobat, jika ingin engkau mengetahui siapa diriku, niscaya aku tidak akan datang pada malam-malam seperti ini?” jawab Ikrimah.
“Aku bersumpah demi Allah tidak akan menerima pemberian ini hingga aku mengetahui siapa orang yang memberiku.”
“Kalau begitu engkau boleh menyebutku pembela kaum papa.”
“Tolong ceritakan lebih banyak tentang dirimu!” tukas Khuzaimah. Tetapi Ikrimah tiba-tiba menarik galabeyya (Pakaian khas lelaki kawasan Timur Tengah, sejenis jubah) Khuzaimah dan pergi menghilang dari pintu.
Istri Ikrimah terbangun dari tidur dan sangat gelisah melihat suaminya tidak ada di sampingnya. la menjadi tenang kembali ketika sang suami kembali ke kamar. Sang istri pun menanyakan kepergian suaminya yang misterius itu.
Ikrimah menjawab, “Maafkan aku sayang, jika aku bisa mengatakannya padamu pasti akan kukatakan padamu.”
Namun sang istri tidak mau menerima jawaban seperti itu. Akhirnya Ikrimah menyerah kepada kekerasan sikap istrinya dan menceritakan padanya semua yang telah terjadi. Tetapi ia berpesan kepada istrinya, “Namun ingat sayang, jangan ada seorang pun yang tahu tentang masalah ini kecuali Allah, engkau dan aku.”
Di lain pihak, Khuzaimah bergegas menutup pintu dan menuju kamar istrinya dengan membawa hadiah yang tak terduga itu. Ia meminta istrinya agar menyalakan lampu agar ia bisa melihat isi pundi-pundi. Tetapi sayang minyak lampu sudah kering dan mereka harus menunggu hingga esok hari. Keesokan harinya, mereka sangat bersuka-cita melihat empat ribu dinar didalam pun di-pundi.
Khuzaimah segera melunasi hutang-hutangnya, mencukupi semua kebutuhan sehar-hari, membeli pakaian mewah dan kemudian pergi ke Damaskus. Khalifah Sulaiman menerimanya dengan penuh hormat dan menanyakan mengapa ia absen begitu lama dari ibukota. Khuzaimah menceritakan kepada khalifah semua kesulitan ekonomi yang ia alami dan pertolongan yang tak dinyana-nyana dari seseorang yang misterius.
Khalifah terkagum-kagum terhadap keikhlasan sang penolong misterius itu dan berseru, “Betapa mulia hatinya! Dia berhak mendapatkan semua hadiah dan penghormatan! Jika kamu mengetahui siapakah penolongmu, hadapkan dia ke sini agar aku bisa menyampaikan penghormatanku padanya.”