Penulis: Nuril Lailatul Maf’ulah*
Kufur berasal dari kata kafara-yakfuru-kufran. Secara bahasa, kata kufur memiliki makna menutupi, kata kufur dikenal dengan arti menutupi nikmat. Kufur juga menjadi lawan kata dari iman. Namun beberapa ulama’ berbeda pendapat mengenai pengertian kufur.
Imam Ghazali berpendapat bahwa kufur adalah mengingkari apa yang diperintahkan oleh Allah serta utusan Allah. Sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengingkari Nabi Muhammad, bahkan mereka juga menyekutukan Allah dengan menyembah berhala.
Imam Fakhrudin ar-Razi berpendapat bahwa kufur adalah mengingkari suatu kebenaran yang telah dibawa atau diajarkan oleh para rasul Allah. Sedangkan iman yang menjadi lawan katanya merupakan meyakini seorang utusan dan membenarkan apa yang telah diajarkan olehnya.
Dalam Alqur’an, ditemukan banyak kata kufur yang memiliki perbedaan makna, namun sebenarnya kufur hanya memiliki empat macam arti yang berbeda.
Dalam surah An-Nisa’ ayat 167 kata kufur memiliki arti yang menjadi lawan kata dari iman. Dalam surah Ali ‘Imran ayat 97 kata kufur memiliki arti seseorang yang menentang hukum wajib melaksanakan ibadah haji. Dalam surah Al-Baqarah ayat 152 kata kufur memiliki arti yang menjadi lawan kata dari syukur.
Dalam surah al-‘Ankabut ayat 25 kata kufur memiliki arti terbebas. Dalam surah an-Nisa’ dan surah Ali ‘Imran, memiliki kandungan makna yang sama yaitu pendustaan. Berbeda dengan surah Al-Baqarah dan surah Al-Ankabut yang tidak memiliki kandungan makna pendustaan.
Dalam kitab al-Lubab Ibn Khazin menyimpulkan bahwa kufur terbagi menjadi empat:
- Kufur ingkar, yaitu tidak mempercayai sama sekali eksistensi Tuhan di dunia ini, seperti kufurnya Firaun.
- Kufur juhud, yaitu membenarkan dengan hati, tetapi lisan tidak membenarkan apa yang dibenarkan oleh hati, seperti kufurnya iblis.
- Kufur ‘inad, yaitu hati dan lisan membenarkannya, tetapi tidak masuk pada agama yang dibenarkannya, seperti Umayyah bin Abu as-Shalti dan Abu Thalib.
- Kufur nifaq, yaitu lisan membenarkannya, tetapi hati tidak meyakininya, seperti orang munafik.
Menurut Ibn Khazin, empat macam kufur di atas merupakan termasuk orang yang mengingkari Allah, mengingkari sifat ke-Esaan Allah, mengingkari ajaran yang dibawa oleh utusan Allah, dan mengingkari kenabian Nabi Muhammad.
Beliau juga berkata bahwa barangsiapa yang wafat dalam keadaan seperti yang telah disebutkan, maka akan kekal hidup di dalam panasnya api neraka dan Allah tidak akan mengampuninya.
Orang-orang munafik tetap dianggap sebagai muslim dan berhak mendapatkan legalitas perlindungan syariat. Seperti para sahabat tetap menshalatkan jenazah orang-orang munafik.
Dalam kitab Fath al-Bari, Imam Ibn Hajar mengatakan bahwa kekhususan mampu mengetahui sifat-sifat batiniah seperti sifat munafik, tidaklah dimiliki orang sembarangan. Hanya beberapa orang saja yang memiliki kekhususan tersebut, seperti sahabat Hudzaifah.
Imam al-Baghawi dalam karangannya yang berjudul al-Ma’alim yang juga diikuti oleh Ibn Khazin, menyatakan bahwa semua golongan itu sama dan tidak akan mendapat ampunan dari Allah.
Golongan yang dimaksud merupakan kelompok atau seseorang yang mengingkari Allah, mengingkari sifat ke-Esaan Allah, dan mengingkari ajaran yang dibawa utusan Allah.
Penjelasan al-Baghawi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat Ibn Khazin yang merujuk pada pendapat al-Baghawi terkesan menyamaratakan hukum akhirat yang akan diterim oleh golongan atau orang melakukan kufur.
Juga tidak mengkhususkan hukum akhirat tersebut dalam kategori kufur yang bersifat hakiki. Padahal kufur yang berakibat demikian hanyalah kufur yang bersifat hakiki, yaitu kufur yang disebabkan oleh adanya pengingkaran terhadap utusan Allah.
Salah seorang ulama’ penulis kitab al-Mawaqif berpendapat bahwa kufur ialah tidak adanya pembenaran terhadap ajaran yang dibawa oleh utusan Allah. Seperti perintah shalat, puasa, zakat, dan lainnya yang diajarkan oleh para nabi dan rasul.
Imam al-Kazaruni memberi pendapat mengenai pengertian ini dengan menyatakan tidak adanya pembenaran itu terkesan lebih umum daripada kufur yang diartikan dengan mendustakan atau mengingkari para utusan Allah. Sehingga menurut beliau pemahaman di atas lebih baik daripada yang lainnya.
Beliau juga menyimpulkan bahwa tidak adanya pembenaran, sudah pasti mendustakan,, maka sesorang yang tidak membenarkan ajaran para utusan Allah dapat dihukumi kufur, sekalipun tidak mengingkarinya.
Bahwa kesimpulan dari pendapat Imam Kazaruni yaitu jika tidak adanya pembenaran, maka sudah pasti mendustakan dan tidak bisa dianggap benar.
Karena jika demikian, maka orang-orang yang tidak tersampaikan dakwah atau tidak menerima dakwah juga dihukumi kufur (secara hakikat). Padahal hukum pembenaran atau pendustaan terhadap suatu ajaran yang itu diberlakukan jika dakwah sudah tersampaikan.
Selain itu, pendapat yang disebutkan oleh Imam Kazaruni telah menyimpang dari hukum yang telah disepakati oleh para ulama’ asy’ariah.
Para ulama’ asy’ariah tidak menghukumi kufur hakikat kepada orang yang tidak menerima dakwah atau tidak tersampaikannya dakwah. Seluruh ulama’ asy’ariah juga sepakat untuk tidak boleh memerangi orang-orang yang tidak menerima dakwah ajaran para utusan Allah.
Imam Ghazali menyebut orang-orang yang tidak menerima dakwah dengan sebutan fi ma’na muslim. Karena mereka meliki kesamaan dengan orang-orang yang telah memeluk agama Islam.
Oleh karena itu, para ulama’ asy’ariah tidak menghukumi kufur hakikat kepada orang-orang yang hidup di zaman tidak adanya Nabi dan Rasul.
Pada zaman sekarang, banyak ditemukan akidah dan ideologi menyimpang. Para penganutnya mudah mengkafirkan orang lain tanpa memiliki ilmu serta pemikiran yang memadai dalam memahami esensi yang terkandung dalam Alqur’an dan hadits. Oleh karena itu, diharapkan agar orang-orang ke depannya tidak menghakimi seseorang dengan sembarangan.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Editor: Adis Setiawan