Penulis: Febriansyah Lazuardi Ahmad*
Dalam Islam, perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku secara umum dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya.
Berbicara mengenai perkawinan sejati pada prinsipnya akan berbicara tentang pilihan pasangan hidup yang benar-benar dari hati yang paling tulus walaupun dalam pemilihan itu banyak terjadi tantangan akan tetapi bagi mereka yang telah benar-benar yakin adalah mereka yang ingin segera meresmikan ikatan itu dalam ikatan perkawinan yang sah dimata agama dan Negara.
Selain harus siap berkonflik dengan keluarga, pasangan berbeda agama juga perlu mendiskusikan agama apa yang kelak diajarkan kepada anak.
Nikah beda agama adalah sulit mewujudkan tujuan nikah, karena membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah dan barokah membutuhkan visi yang sama, tujuan yang sama, dan seagama (yakni sama-sama beragama Islam).
Pernikahan dalam Islam itu adalah Ibadah, oleh karena itu, maka seagama (agama Islam) antara suami istri adalah sebuah keniscayaan.
- Dampaknya adalah ibadah nikahnya menjadi tidak sah.
- Tidak dapat mewujudkan hifdh al-nasl (menjaga keturunan).
- Menimbulkan ketidaknyamanan.
- Menimbulkan permasalahan, terutama bagi anak.
- Hubungan suami-istri menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina.
- Pertalian nasab bapak biologis dengan anaknya terputus.
- Hukum nafkah bagi bapak biologisnya juga tidak ada.
- Antara bapak biologis dan anak biologisnya tidak ada hubungan waris, dan jika bapak biologis itu menjadi wali anaknya yang merupakan hasil nikah beda agama, maka status kewaliannya juga tidak sah.
- Dampaknya, akad pernikahan anak itu juga tidak sah, dan hubungan suami-istrinya pun tidak sah
Hukum Islam terhadap nikah beda agama dalam Kitab Tafsir al-Ahkam Karya Syaikh Aly al-Shabuny adalah haram.
Hal ini didasarkan pada tafsir Alqur’an Surah Al-Maidah ayat 221. Tafsir ayat dalam kitab yafsir Al-Ahkam Karya Syekh Aly Al-Shabuny ini juga dikuatkan oleh beberapa pandangan ulama’ Nusantara, bahwa nikah beda agama hukumnya adalah haram dan tidak sah.
Rasulullah SAW telah menganjurkan untuk menikahi seseorang berdasarkan agamanya. Hal tersebut dikatakan dalam sebuah hadits, yakni:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرُ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya:
“Nikahilah seorang wanita itu karena empat hal, hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya, dan utamakan dia yang beragama (menjalankan agama), kamu akan beruntung.” (HR Bukhari Muslim).
Maka dari itu, dalam Islam tidak diperbolehkan menikah beda agama karena hukumnya haram, terlebih jika suaminya non-muslim. Apabila tetap dipaksakan untuk dilakukan, maka hukumnya tetap tidak sah dan perbuatan mereka tergolong zina.
Ayat Alqur’an tentang Menikah Beda Agama
Dalam Alqur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan mengenai menikah beda agama.
Surat Al-Baqarah Ayat 221,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
Artinya:
“Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Berdasarkan tafsir Tahlili Kementerian Agama (Kemenag) ayat ini telah menegaskan bagi seorang muslim yang menikah dengan perempuan musyrik dan larangan mengawinkan perempuan mukmin dengan lelaki musyrik, kecuali mereka telah beriman atau memeluk agama Islam. Walaupun keduanya memiliki wajah yang cantik, rupawan, gagah, kaya, dan sebagainya.
Dalam ajaran Islam telah ditetapkan mengenai larangan perkawinan beda agama, tetapi dalam pergaulan hukumnya biasa saja. Karena pernikahan hubungannya erat dengan keturunan, dan keturunan erat kaitannya dengan harta warisan, makan dan minum, serta hubungan dengan pendidikan dan pembangunan Islam.
Surat Al-Maidah Ayat 5,
اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
Artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) Ahlul kitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
Dalam tafsir Tahlili Kemenag menyatakan bahwa ayat ini menjelaskan tiga macam hal yang dihalalkan bagi orang mukmin, salah satunya mengawini perempuan-perempuan merdeka dan perempuan mukmin.
Surat Al-Mumtahanah Ayat 10,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih tahu tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui (keadaan) mereka bahwa mereka (benar-benar sebagai) perempuan-perempuan mukmin, janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu membayar mahar kepada mereka. Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir. Hendaklah kamu meminta kembali (dari orang-orang kafir) mahar yang telah kamu berikan (kepada istri yang kembali kafir). Hendaklah mereka (orang-orang kafir) meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Menurut tafsir Tahlili Kementerian Agama (Kemenag), dalam ayat ini telah ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang istri telah masuk Islam, maka pada waktu itu juga telah bercerai dengan suaminya yang masih kafir.
Terkait hal ini, berarti seseorang yang sudah masuk Islam maka haram hukumnya untuk kembali pada suami yang masih kafir. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang perempuan muslim kawin dengan laki-laki kafir.
Simpulanya bahwa ajaran Islam telah mewajibkan seorang muslim menikahi sesama umat muslim dan mengharamkan menikahi seseorang yang berbeda agama.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Prodi Studi Agama-agama
Editor: Adis Setiawan