Dalam kehidupan ini yang diwarnai dengan hiruk pikuk modernitas yang menuntut segalanya serba cepat, fokus kita sering kali terpaku pada pencapaian eksternal seperti mengejar karir cemerlang, stabilitas finansial atau validasi media sosial.
Kita berpacu seolah takut tertinggal dari orang lain. Namun di tengah hiruk pikuk perlombaan ini, Al-Qur’an menyajikan sebuah peringatan singkat namun fundamental, layaknya sebuah “alarm Kehidupan” yang pendek, padat, tetapi mengguncang kesadaran siapapun yang memahaminya.
Itulah Surat Al-Asr, tiga ayat yang disebut oleh Imam Syafi’i sebagai surat yang cukup untuk keselamatan manusia jika mereka benar-benar memikirkannya.
Surat Al-Asr tidak dimulai dengan kalimat lembut melainkan dengan seruan kuat yang menembus perhatian terdalam: وَالْعَصْرِۙ ”demi masa”. Dalam ilmu balaghah, ini disebut qasam, sebuah sumpah yang berfungsi layaknya ketukan palu hakim: tegas, tak bisa diabaikan dan menandai bahwa yang datang sesudahnya bukan kalimat biasa.
Allah memilih membuka dengan sumpah karena pesan yang datang setelahnya اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ ”Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian,” adalah penilaian menyeluruh atas seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Pesan itu seolah sirine semesta yang menghentikan langkah kita sejenak dan memaksa kita untuk merenung ”Apa sebenarnya yang sedang diperingatkan?”
Sumpah tersebut seolah suara yang berkata, ”perhatikan dengan baik, apa yang diungkapkan bukan sekedar pendapat atau dugaan tapi fakta hidup yang tidak dapat ditawar.” Dengan menghadirkan waktu sebagai saksi allah menegaskan bahwa setiap detik yang kita lewati menjadi bukti nyata keraguan manusia
Keistimewaan surat ini tampak dari pilihan objek sumpahnya. Qasam dalam Surat Al-Asr terletak pada adanya satu qasam tunggal yang merujuk pada ‘Asr (waktu sore), yang melambangkan perjalanan hidup manusia dari pagi hingga petang, yang terus bergerak dan perlahan mengikis umur manusia.
San ini berbeda dari qasam lainnya yang sering melibatkan unsur alam seperti langit atau bumi. Allah tidak bersumpah dengan sesuatu yang diam, tetapi dengan waktu yang merupakn satu-satunya modal dasar yang Allah berikan kepada setiap manusia, dan sekaligus hakim paling jujur yang mencatat semua perjalanan hidup kita.
Ketika Allah bersumpah dengan waktu, itu berarti waktu memiliki kedudukan penting dan sarat pesan. Waal-‘Asr seakan mengingatkan kita bahwa waktu bukan hanya durasi, tapi hakikat kehidupan itu sendiri.
Artinya, siapapun yang menyia-nyiakan modal waktu yang tidak bisa diputar ulang atau diperbaiki sebenarnya sedang menandatangani kerugian tanpa sadar.
Dan karena status kerugian ini sudah pasti, empat solusi keselamatan yang muncul setelah sumpah tersebut berubah dari sekadar anjuran menjadi tuntutan yang harus dijalani agar manusia tidak tenggelam dalam kerugian yang Allah tegaskan sejak awal.
Setelah sumpah wal-’Ashr menetapkan bahwa status manusia adalah merugi, Allah segera menyajikan kriteria pertama yang membedakan kelompok selamat dari kelompok yang merugi yaitu اٰمَنُوْا (orang-orang beriman).
Inilah resep utama, pondasi awal dari seluruh jalur keselamatan manusia. Tetapi, iman yang dimaksud bukan sekadar pengakuan lisan atau identitas yang tercantum di KTP.
Yang dimaksud adalah iman yang mengakar yakni keyakinan yang tertanam kuat hingga ke relung hati terdalam, dan yang secara alami mendorong seseorang berbuat benar. Iman seperti ini adalah kompas batin yang menuntun kita di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang penuh gangguan dan ilusi.
Ketika dunia menuntut kita untuk percaya hanya pada apa yang terlihat seperti uang, jabatan, atau validasi media sosial, justru iman sejati menuntut kita untuk yakin pada yang ghaib.
Artinya, kita harus memegang teguh fondasi akidah yakni meyakini Allah sebagai satu-satunya pengendali, percaya bahwa setiap peristiwa berjalan sesuai ketetapan-Nya, serta yakin sepenuhnya akan hari akhir dan janji-janji-Nya.
Tanpa kompas ini, kita akan terus berlayar tanpa tujuan, terombang-ambing oleh gelombang tren dan ketakutan duniawi. Hanya Iman yang benar-benar kuat dan telah teruji yang mampu menjadi penyangga ketika situasi hidup memaksa kita memilih antara kenyamanan sesaat atau tetap berpegang pada kebenaran.
Namun, Al-Qur’an tahu bahwa iman yang disimpan hanya di dalam hati rentan layu. Oleh karena itu, resep keselamatan ini tidak berhenti pada keyakinan internal. Ia harus dibuktikan.
Inilah yang membawa kita pada resep kedua yaitu وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ (beramal saleh). Resep ini adalah wujud cinta yang diterjemahkan dalam aksi nyata. Bila iman ibarat akar yang tersembunyi di dalam tanah, maka amal saleh adalah buah yang tampak dan dapat dirasakan.
Makna الصّٰلِحٰتِ sendiri sangat penting: ia mencakup sesuatu yang “baik,” “tepat,” dan “memberi perbaikan.” Artinya, amal saleh adalah segala perbuatan yang membawa manfaat dan perubahan positif baik untuk diri sendiri, bagi orang-orang di sekitar, maupun bagi alam.
Ini tidak hanya mencakup ibadah ritual seperti salat atau puasa, tetapi juga aspek horizontal kehidupan seperti bekerja dengan jujur meski tanpa pengawasan, berinteraksi dengan empati, memberi kontribusi nyata dalam masyarakat, hingga menjaga lingkungan sebagai amanah.
Meskipun iman yang kuat dan amal saleh yang konsisten adalah dasar keselamatan pribadi, Al-Qur’an menyadari satu hal penting yaitu kita tidak bisa selamat sendirian.
Berjuang melawan gelombang kerugian (خُسْرٍۙ ) di zaman modern adalah pertarungan yang terlalu berat untuk dihadapi individu. Karena itu, Surat Al-‘Asr menghadirkan dimensi sosial yang tak boleh diabaikan, yaitu resep ketiga: وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ (saling menasihati dalam kebenaran).
Resep ketiga ini menegaskan perlunya membangun jaringan pendukung yang mendorong pada kebaikan. Karena kita perlu orang lain yang saling tarik-menarik dan memastikan kita semua tetap berada di jalur yang benar.
Inti dari nasihat بِالْحَقِّ atau kebenaran sejati yang memiliki prinsip-prinsip pokok dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta nilai-nilai universal yang adil dan benar.
Menerapkan prinsip ini di era media sosial bukanlah perkara mudah. Banyak orang cepat tersinggung, sehingga nasihat sering dianggap sebagai serangan pribadi atau bentuk penghakiman di ruang publik.
Tantangan kita hari ini adalah bagaimana menyampaikan al-haqq tanpa terlihat menggurui atau justru terjebak dalam toxic positivity yang menutup mata dari kenyataan pahit.
Cara menasihati yang efektif bukanlah tentang menyerang, merasa paling suci, atau menuntut kesempurnaan instan, melainkan tentang mengajak dengan kasih sayang, mengingatkan dengan penuh hikmah, dan membantu sesama kembali ke peta jalan spiritual di tengah keriuhan digital.
Pada akhirnya, وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ adalah kerja bersama satu komunitas untuk memastikan kita semua tetap berada di jalur keselamatan, bukan hanya menyelamatkan diri sendiri.
Setelah fondasi iman, bukti amal, dan komitmen komunitas ditegakkan, Allah menutup peta jalan keselamatan ini dengan pilar terakhir: kesabaran. Inilah resep keempat yakni وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِࣖ (saling menasehati untuk kesabaran).
Kesabaran bukan sikap pasrah atau sekadar menunggu waktu berlalu. Ia adalah kekuatan bertahan yang menjaga tiga resep sebelumnya agar tetap bisa dijalankan secara konsisten hingga akhir hayat.
Tanpa kesabaran, iman kita akan goyah saat diuji, amal saleh kita akan terhenti karena kebosanan, dan nasihat kebenaran kita akan patah saat ditolak. Islam mengajarkan bahwa sabar memiliki tiga dimensi utama yang harus kita tegakkan.
Pertama, sabar dalam menjalankan ketaatan, seperti melawan rasa berat saat harus bangun subuh atau menahan diri dari maksiat yang menggiurkan.
Kedua, sabar dalam menghadapi musibah, yaitu keteguhan hati saat menghadapi ujian hidup, kehilangan, atau kegagalan. Dan yang paling relevan dengan resep ketiga, sabar dalam berjuang di jalan kebenaran, terutama saat menyampaikan al-Haqq dan disambut dengan penolakan, cemoohan, atau bahkan permusuhan.
Saling menasihati dalam kesabaran berarti kita harus menjadi ‘benteng’ bagi satu sama lain, menyuntikkan semangat agar tidak ada yang menyerah di tengah jalan menuju keselamatan.
Setelah tuntas membedah sumpah agung dan empat formula ringkas dari tiga ayat Surat Al-Asr, kita menemukan kejelasan bahwa surat ini adalah “alarm kehidupan yang sempurna,” sebuah kurikulum utuh yang dirancang khusus untuk menghadapi kerugian di zaman apa pun, terutama di tengah hiruk pikuk modernitas saat ini.
Keempat resep ini adalah iman yang mengakar, amal saleh yang terbukti, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran, ini bukanlah pilihan menu yang bisa dipilih salah satu tetapi mereka adalah satu paket utuh, empat pilar yang harus berjalan berbarengan dan saling menguatkan.
Iman tanpa amal saleh adalah janji tanpa isi, sedangkan amal dan iman tanpa komunitas serta kesabaran akan mudah runtuh diterpa cobaan hidup.
Sungguh, apa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i adalah benar: tiga ayat ini sudah cukup untuk keselamatan manusia jika mereka benar-benar memikirkannya.
Surat Al-Asr adalah peta jalan spiritual terpendek dan terlengkap yang diberikan Allah. Ia mengingatkan bahwa waktu terus bergerak, dan kondisi dasar manusia adalah berada di tepi kerugian. Kini, tugas kita bukan lagi sekadar membaca ayat-ayatnya, tetapi mulai menjalankannya dalam langkah nyata.
Mari kita jadikan peringatan ini sebagai rutinitas harian. Setiap kali azan Asar berkumandang mari kita ambil jeda sejenak. Renungkan: “sejauh mana saya telah menjalankan empat resep ini hari ini? Apakah waktu yang berlalu ini membawa saya pada keuntungan abadi, atau justru pada kerugian?”
Dengan merenungkan dan mengamalkannya, Insya Allah kita akan keluar dari lingkaran khusr dan termasuk dalam golongan yang beruntung.

